Selina harus menerima kenyataan bahwa dirinya ternyata menjadi istri kedua. Tristan suaminya ternyata telah menikah siri sebelum ia mempersuntingnya.
Namun, Selina harus berjuang untuk mendapatkan cinta sang suami, hingga ia tersadar bahwa cinta Tristan sudah habis untuk istri pertamanya.
Selina memilih menyerah dan mencoba kembali menata hidupnya. Perubahan Selina membuat Tristan perlahan justru tertarik padanya. Namun, Selina yang sudah lama patah hati memutuskan untuk meminta berpisah.
Di tengah perjuangannya mencari kebebasan, Sellina menemukan cinta yang berani dan menggairahkan. Namun, kebahagiaan itu terasa rapuh, terancam oleh trauma masa lalu dan bayangan mantan suami yang tak rela melepaskannya.
Akankah Sellina mampu meraih kebahagiaannya sendiri, atau takdir telah menyiapkan jalan yang berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Tembok penghalang.
Laporan itu menghantam Tristan seperti palu godam.
"Limit," kata asistennya di ujung telepon, sebuah kata yang sederhana namun membawa beban finansial dan konflik keluarga yang siap meledak.
Kepala Tristan langsung berdenyut. Udara di sekitarnya terasa menipis. Belum lagi ia menandatangani kontrak tender baru yang ia impikan, kini ia harus menelan pil pahit setumpuk tagihan kartu kredit.
Angka-angka itu bukan sekadar biaya, melainkan ancaman. Perusahaan ini adalah mimpinya, tapi bukan sepenuhnya miliknya. Ada investor, ada keluarga, dan jika mereka mencium bau kegagalan finansial yang disebabkan oleh 'seseorang', posisinya akan goyah.
Ia mendekatkan ponsel ke mulut, suaranya tajam dan rendah, nyaris seperti desisan yang hanya ditujukan kepada penelfon di seberang sana.
"Apa sih yang dia lakukan, sampai limit gini kartu kreditnya," bisik Tristan, urat di lehernya menegang. "Urus semua selagi aku masih di sini. Batasi belanjanya. Kalau perlu, potong aksesnya."
"Baik, Bos," jawab asistennya singkat.
Tristan segera mengakhiri panggilan. Baru ditinggal sehari, Reykha, sudah menghabiskan uang yang diberikannya hingga batasnya. Ia meraup wajahnya dengan tangan, merasa frustrasi.
Perubahan Reykha yang sangat mencolok. Dulu, Reykha adalah pelabuhan tenangnya. Sabar, penyayang, dan mengerti. Sekarang, ia menjadi sosok yang susah diatur, semakin cerewet, dan penuh curiga. Kehangatan itu seakan hilang, digantikan oleh bara api yang siap membakar setiap sudut rumah tangga mereka.
Tiba-tiba, ketegangan di wajahnya yang mengeras tadi melunak, seperti es yang mencair. Pandangannya beralih ke arah Sellina, yang duduk di depannya, sibuk menikmati makanan di piringnya.
Sellina. Wajah ayu itu. Ada aura kedamaian dan ketenangan yang memancar darinya, kontras sempurna dengan kekacauan yang baru saja ia rasakan. Melihatnya fokus, dan tidak menuntut apa pun, membuat Tristan merasa tenang.
Tristan mendapati dirinya tersesat dalam keheningan, fikirannya mulai pro kontra.
"Apa aku benar-benar goyah?" batinnya berkecamuk. "Apa aku beneran suka dengan wanita di depanku itu, setelah semua tahun bersama Reykha? Lalu, gimana dengan Reykha, yang meskipun kini berubah, tetaplah istriku, dan aku udah janji hanya ada dia di hatiku."
Konflik itu membelah kepalanya menjadi dua. Di satu sisi, ada janji yang harus ia jaga tapi di sisi lain hatinya tidak bisa bohong kalau dia benar-benar mulai punya rasa.
Ketika ia tenggelam dalam pikirannya, mencari semacam resolusi, ia menyadari sesuatu. Sellina tak ada lagi di tempat.
Matanya menyisir area kolam renang, tempat Sellina menikmati makanannya.
Kosong.
Pandangannya beralih cepat ke tempat acara syukuran yang masih ramai, mencari sosok ayu yang selalu menjadi titik fokusnya belakangan ini. Sellina tak ada di mana-mana.
Rasa cemas yang aneh menyergapnya. Ia mulai bingung mencari, pergerakannya menjadi gelisah.
Tiba-tiba, sebuah tangan lembut menepuk pundak Tristan pelan. Jantungnya melonjak, ia refleks langsung berbalik, berharap melihat wajah yang ia cari.
"Eh, Bude Lilis," ujar Tristan, nada suaranya mengandung sedikit kekecewaan yang gagal ia sembunyikan sepenuhnya. Ia menutupi keterkejutannya dengan senyum yang dipaksakan.
Bude Lilis, dengan matanya yang hangat dan penuh pengalaman, menatap Tristan lurus. Ada nuansa mengamati dalam tatapan itu.
"Kamu lagi cari istrimu, to?" tanya Bude Lilis, nada suaranya lembut. "Bude liat dia udah masuk kamar. Kayaknya dia kecapean seharian bantu-bantu. Wajahnya pucat lho."
Lilis tersenyum penuh arti. "Sana susulin. Suami harus perhatian sama istri. Jangan biarin dia sendirian, apalagi lagi capek begitu," perintahnya sambil mendorong Tristan pelan ke arah sayap rumah.
Tristan mengangguk kaku. "Iya, Bude. Makasih."
Di dalam kamar yang mewah dan asing itu, Sellina yang lelah segera membaringkan tubuhnya di atas kasur putih yang empuk.
Sensasi menekan kelembutan kasur itu seketika membuatnya merasa hidup kembali. Punggungnya yang awalnya menegang karena seharian sibuk mempersiapkan acara syukuran perlahan melemas. Beban tanggung jawab itu seolah lenyap terhisap bantal yang ia rengkuh.
Ia menghela napas panjang, menguap lebar sambil meregangkan kedua otot tangannya. Diambilnya bantal tebal untuk menopang kepalanya.
"Nyamannya," gumamnya pelan, menikmati momen jeda yang langka.
Sellina mulai memejamkan mata. Jilbabnya masih ia kenakan dengan rapi.
Ia tak ingin kejadian waktu itu terulang, di mana Tristan melihatnya tanpa penutup kepala. Walaupun status mereka adalah suami-istri di mata hukum, baginya, Tristan tetaplah orang asing. Keintiman di antara mereka hanyalah formalitas di hadapan orang lain.
Saat sayup-sayup kesadarannya mulai hilang, ia tersentak. Suara derit pintu terbuka memecah keheningan. Jantungnya berdebar kencang. Ia segera bangkit, duduk tegak sambil memeluk bantal erat di dada.
Matanya bertemu dengan Tristan. Raut wajah pria itu terlihat kusut. Tristan memasuki kamar, pandangannya langsung tertuju pada Sellina yang duduk waspada di tepi ranjang.
Perlahan, Sellina mulai turun dari ranjang, langkahnya mantap menuju sofa. Ia harus menjaga jarak. Saat melewati Tristan, ia mempercepat langkahnya, berharap pria itu akan mengabaikannya.
Namun, Tristan, justru bertindak impulsif. Ia meraih tangan Sellina, menahannya. Sentuhan itu ringan, namun cukup kuat untuk membuatnya terhenti.
"Kau mau ke mana?" tanya Tristan, nada suaranya berat. Ada nuansa kepemilikan yang tiba-tiba muncul.
Sellina menarik napas, sedikit kesal. "Aku mau tidur di sofa. Biasanya aku juga kan tidur di sofa saat kita menginap di sini," jelasnya, menatap lurus ke arah lengan yang menahan pergelangannya. Matanya memancarkan keengganan yang jelas.
Tristan tidak melepaskan. Justru genggamannya sedikit mengerat, menahan pergelangan tangan Sellina yang terasa dingin dan kaku.
"Tidak bisakah kau tetap tidur di ranjang?" ucapnya, suaranya sedikit mendesak. "Lagian kita suami istri."
Kata-kata itu terasa aneh di lidahnya sendiri, sebuah pengakuan status yang selama ini ia abaikan.
Bibir Sellina tersungging tipis, sebuah senyum sinis yang penuh ironi. Senyum itu tidak mencapai matanya, yang justru tampak tajam dan penuh penilaian.
Ia melepas paksa genggaman tangan Tristan.
Wajahnya mendongak, menatap Tristan lurus-lurus. Jarak fisik mereka kini hanya beberapa inci.
"Suami istri?" tanya Sellina, mengulang kata itu dengan nada yang mencibir. "Anda lagi sadar, kan? Atau tadi gak sengaja kepentok apa gitu."
Bahasa formalnya sengaja ia gunakan, bukan untuk menghormati, melainkan untuk memagari.
"Sejak kapan status itu berarti apa-apa bagi Anda, Pak Tristan?" tuntutnya. "Bukannya, selama ini aku tu cuma bayangan yang gak pernah ada, bahkan lebih rendah statusnya dari seorang babu. Anda sendiri yang mendirikan tembok-tembok ini. Jangan sekarang, hanya karena Anda lelah atau merasa sepi, Anda mencoba menghancurkannya."
Tristan tersentak mundur, seolah Sellina baru saja menamparnya dengan kenyataan pahit. Semua yang Sellina katakan adalah kebenaran, cerminan dari ego dan arogansinya di awal pernikahan. Ia merasa malu sekaligus terpojok. Ia ingin menjelaskan bahwa perasaannya telah berubah, tetapi lidahnya kelu.
ditunggu kelanjutannya❤❤