NovelToon NovelToon
Cinta Suci Aerra

Cinta Suci Aerra

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:785
Nilai: 5
Nama Author: manda80

Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mengakhiri Hubungan dengan Mantan Pacar

Ponsel di tanganku terasa seberat bongkahan es. Pesan singkat dari Aldo,dari pria yang berada hanya beberapa langkah dariku di dapur, terasa lebih dingin dan menusuk daripada tatapannya beberapa menit yang lalu. Perintah itu , tidak menyisakan ruang untuk negosiasi atau pembelaan. Telepon dia di depanku.

Jantungku yang tadinya berpacu kencang kini terasa seperti berhenti berdetak, digantikan oleh kekosongan yang dingin dan hampa. Aku menatap layar ponsel, membaca ulang kalimat itu berkali-kali seolah berharap huruf-hurufnya akan berubah makna. Tapi tidak. Perintah itu tetap sama, tajam dan tanpa kompromi.

Aroma makanan yang dipanaskan mulai menyebar dari dapur, seharusnya menjadi aroma yang menenangkan di rumah baru kami, namun kini terasa seperti bau racun yang mencekik. Aku mendengar suara piring diletakkan di atas meja makan, diikuti langkah kaki Aldo yang mendekat.

“Makanannya sudah siap, Ra.” Suaranya kembali terdengar normal, seolah tidak ada pesan mengerikan yang baru saja ia kirimkan. Seolah kami hanyalah pasangan suami istri normal yang akan memulai makan malam pertama mereka.

Aku mengangkat kepala, berusaha memasang ekspresi senetral mungkin, meski aku yakin wajahku sepucat mayat. “Iya, Mas.”

Kami duduk berhadapan di meja makan yang terasa terlalu besar untuk kami berdua. Makanan yang dibelinya tampak lezat, tapi kerongkonganku terasa tersumbat. Setiap suap nasi terasa seperti menelan kerikil. Kami makan dalam keheningan yang memekakkan. Hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang memecah kesunyian.

“Kenapa nggak dimakan sayurnya?” tanya Aldo, memecah keheningan. Tatapannya lurus, mengamatiku.

“Ah… iya, Mas.” Aku segera menyendok sedikit capcai ke piringku, memaksanya masuk ke dalam mulut. Rasanya hambar.

“Habiskan makananmu. Kamu butuh tenaga,” lanjutnya, nadanya datar. Kalimat itu terdengar seperti perhatian, tetapi aku tahu ada makna lain di baliknya.

Aku hanya bisa mengangguk kecil, tak berani menatap matanya lebih lama. Aku mempercepat makanku, ingin semua ini segera berakhir. Pikiranku campur aduk, menyusun ribuan skenario. Apa yang harus kukatakan pada Windu? Bagaimana caranya mengakhiri semuanya di depan Aldo tanpa terdengar seperti aku sedang dipaksa?

Selesai makan, Aldo membereskan piring-piring kotor dan meletakkannya di wastafel. Ia tidak mencucinya. Ia hanya membasuh tangannya, mengeringkannya, lalu berbalik menatapku yang masih terpaku di kursi makan.

“Ke ruang tamu sekarang,” perintahnya, kali ini tanpa kelembutan sama sekali.

Aku mengikutinya. Jantungku kembali berdebar kencang, begitu keras hingga aku yakin Aldo bisa mendengarnya. Ia duduk di sofa tunggal, menyisakan sofa panjang untukku, tepat di seberangnya. Posisi kami seperti seorang interogator dan tersangka.

“Ponselmu,” katanya singkat.

Dengan tangan gemetar, aku mengambil ponselku dari saku dan meletakkannya di atas meja kopi di antara kami.

“Aku nggak minta kamu meletakkannya. Aku minta kamu menggunakannya,” koreksi Aldo, tatapannya sedingin es. “Telepon dia. Sekarang.”

“Mas… tolong…,” bisikku memohon. “Nggak bisakah kita selesaikan ini dengan cara lain? Aku janji, aku yang akan selesaikan. Tapi jangan seperti ini.”

“Cara lain?” Aldo tertawa kecil, tawa tanpa humor yang membuatku merinding. “Cara lain seperti apa, Aerra? Seperti kamu yang terus-terusan menangis diam-diam di belakangku? Seperti kamu yang menyimpan harapan untuk pria lain di hari pernikahan kita? Aku sudah memberikanmu kesempatan untuk jujur tadi. Sekarang, giliranku menentukan cara penyelesaiannya.”

“Tapi, Mas…”

“Tidak ada tapi!” bentaknya, suaranya naik satu tingkat, membuatku terlonjak kaget. Ini pertama kalinya aku mendengar ia meninggikan suara. “Atau kamu mau aku yang telepon dia pakai ponselku?”

Ancaman itu berhasil. Aku lebih baik menghadapi ini sendiri daripada membiarkan Aldo yang melakukannya. Entah apa yang akan ia katakan pada Windu.

“Baik,” sahutku lirih, menyerah. “Aku akan telepon.”

Aku meraih ponselku. Jari-jariku terasa kaku saat mencari nama Windu di daftar kontak. Setiap detik terasa begitu lambat.

“Nyalakan loudspeaker-nya,” tambah Aldo, seolah bisa membaca niatku untuk berbicara secara pribadi.

Napas tertahan di dadaku. Ini lebih buruk dari yang kubayangkan. Aku menekan tombol panggil dan segera menekan ikon speaker. Nada sambung yang terdengar dari ponsel memenuhi ruangan, setiap bunyinya seperti ketukan palu hakim yang akan segera menjatuhkan vonis.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

“Halo? Ra?”

Suara Windu terdengar dari seberang. Penuh kekhawatiran dan kelegaan di saat yang bersamaan. Mendengar suaranya membuat hatiku terasa diremas.

“Ra, kamu di sana? Kamu baik-baik aja? Kenapa tadi nggak jawab teleponku?” rentetnya dengan cepat.

Aku melirik Aldo. Wajahnya datar tanpa ekspresi, matanya terpaku pada ponsel di atas meja, mendengarkan dengan saksama.

Aku menelan ludah, mencoba mengumpulkan suaraku. “Win…”

“Syukurlah kamu telepon, Ra. Aku khawatir banget. Apa suamimu tahu? Dia nyakitin kamu?”

Pertanyaannya membuat situasi semakin runyam. Aku bisa melihat rahang Aldo mengeras dari tempatku duduk.

“Nggak! Dia… dia baik,” jawabku terbata-bata. “Win, aku telepon cuma mau bilang sesuatu.”

“Bilang apa, Sayang? Bilang kalau kamu mau ikut aku? Aku udah bilang, kan? Aku bisa jemput kamu sekarang juga. Kita bisa pergi dari sana. Kita mulai semua dari awal,” katanya penuh harap.

Setiap kata-katanya adalah paku yang ditancapkan ke peti matiku. Aku memejamkan mata sejenak, berdoa memohon kekuatan.

“Windu, dengerin aku,” kataku, berusaha membuat suaraku terdengar tegas dan dingin, sebuah tugas yang hampir mustahil. “Semuanya sudah berakhir.”

Hening sejenak di seberang sana.

“Apa… apa maksud kamu, Ra? Berakhir gimana?” Suaranya terdengar bingung.

“Hubungan kita. Angan-angan kamu. Semuanya. Aku sudah menikah, Win. Aku sekarang istrinya Mas Aldo,” lanjutku, menyebut nama Aldo dengan penekanan, berharap pesannya sampai tidak hanya kepada Windu, tapi juga pada pria yang kini mengawasiku.

“Nggak… Nggak mungkin. Kamu nggak cinta sama dia, kan? Kamu cuma terpaksa!” seru Windu, suaranya mulai terdengar panik. “Ra, jangan bohong sama perasaan kamu sendiri. Jangan bohong sama aku!”

“Aku nggak bohong,” desisku, air mata mulai menggenang di mata. Aku harus menyelesaikannya sekarang. “Aku bahagia sama suamiku. Jadi aku minta, tolong jangan hubungi aku lagi. Jangan ganggu rumah tanggaku. Anggap saja kita nggak pernah kenal.”

Kata-kata itu terasa seperti asam sulfat yang membakar lidah dan tenggorokanku. Aku menyakiti Windu, dan di saat yang bersamaan, aku membunuh sebagian dari diriku sendiri.

“Aerra… jangan…” Suara Windu terdengar lirih, hancur.

Tanpa sanggup mendengar lebih lama lagi, aku segera menekan tombol merah di layar. Panggilan berakhir. Keheningan yang menyusul terasa seratus kali lebih berat dari sebelumnya.

Aku mengangkat wajahku yang basah oleh air mata, menatap Aldo. Aku tidak tahu apa yang kuharapkan. Kemarahan? Kepuasan? Atau mungkin sedikit kelegaan? Aku siap menerima apapun.

Namun, ekspresi Aldo sama sekali tidak terbaca. Ia tidak terlihat marah, tidak juga puas. Ia hanya menatapku dengan sorot mata yang tajam, seolah aku adalah sebuah teka-teki rumit yang sedang coba ia pecahkan.

Ia terdiam cukup lama, membiarkanku terombang-ambing dalam ketidakpastian yang menyiksa. Akhirnya, ia menghela napas pelan dan sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. Senyum yang tidak memberikan kehangatan sama sekali.

“Bagus,” ucapnya pelan.

Aku menatapnya dengan bingung. Bagus?

Ia lalu melanjutkan kalimatnya, dan kalimat itu meruntuhkan seluruh dunia yang baru saja coba kubangun kembali dengan susah payah.

“Aktingmu bagus sekali, Aerra. Nyaris sempurna. Tapi sayangnya, aku sama sekali nggak percaya.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!