Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Mata Umar perlahan terbuka, menyesap cahaya lembut pagi pukul tujuh lewat sedikit. Tubuh pria itu terasa hangat dalam pelukan erat Citra, istrinya yang kedua, yang masih terlelap di sampingnya. Kulit mereka berdua bersentuhan, tak terhalang sehelai kain pun, hanya bedcover bermotif bunga-bunga yang menutupi setengah badan mereka.
Napas Umar tiba-tiba terhenti, dada terasa sesak. Apa sebenarnya yang dia cari dari hubungan ini? Kebahagiaan? Ataukah hanya usaha menambal kesepian yang tak kunjung terobati?
Mata Umar mengamati wajah Citra, tertidur pulas dengan senyum kecil yang membuatnya tampak begitu damai. Tapi dalam kepala Umar, pertanyaan itu terus berputar, seperti bayangan yang tak mau pergi. Pria itu menghela napas pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahan itu saat suaranya serak memecah keheningan.
“Mas, kamu sudah bangun, Mas? Maaf aku kesiangan. Aku akan buatkan sarapan,” gumam Citra sambil memaksakan tubuh nya bangkit dari tempat tidur.
Tubuh Citra masih terasa lelah saat wanita itu menggenggam handuk, cepat-cepat menutupinya di dada. Di sudut matanya, Citra menangkap tatapan Umar yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. Matanya terpaku pada bercak merah di atas seprai biru muda itu, darah yang mengikat janji semalam, darah milik Citra. Wajahnya membeku, sorot matanya sulit dia pahami, antara gelisah dan hampa.
Ia menjambak rambutnya sendiri pelan, seperti menekan rasa sesal yang tak terucapkan. Hati Umar bergetar, ingin bertanya apa yang sebenarnya memenuhi pikirannya, tapi kata-kata macet di tenggorokan. Apakah dia menyesal? Atas apa yang mereka jalani bersama semalam? Atau dia yang salah terlalu mudah menyerahkan diri? Rasanya berat kalau hanya Umar yang dibebani kecemasan dan tanya tanpa jawaban.
Keheningan itu menggerogoti, suaranya sunyi dan tajam. Hanya tatapan kosong dari pria yang sekarang menjadi suami Citra, membuat hati wanita itu seolah tertikam ragu dan kesepian..
Citra duduk terdiam, napas tersengal pelan dalam dada, menatap kosong ke arah lain.
"Apakah ini akan mengubah segalanya, Mas?" pikir Citra, suaranya tak berani terucap. Tangannya dia genggam erat di pangkuan, mencoba menahan gemuruh di hati yang tak henti berbisik gelisah. Bayangan malam itu terus mengitari kepalanya seperti bisu yang tak mau hilang.
"Kenapa aku bisa melakukan ini dengan Citra?" pikir Umar, bibir mengatup keras, nyeri menusuk setiap kali mengingatnya.
Perasaan bersalah mencengkram kuat, membuat jantung berdebar tak beraturan. Pria itu mengingat senyum Nay yang lembut, kehangatan yang selalu menenangkan hatinya saat dia ada di sampingnya. Namun sekarang, bayangan itu hancur berkeping, tajam menyayat sepi dalam dadanya.
"Aku mengkhianati Nay... Aku mengkhianati semua janji yang pernah kubuat," suara hati Umar pecah dalam hening yang mencekam. Entah harus merasa bahagia atau takut, Umar hanya tenggelam dalam pergulatan rasa yang tak kunjung menemukan jawab.
Umar memejamkan mata, napas memburu dan tangan gemetar tak menentu.
"Bagaimana aku bisa sejauh ini terjatuh?" gumam Umar suara hati bergemuruh dalam kebingungan yang pekat.
Bukan sekadar salah langkah, ini bencana yang rasanya terlalu berat untuk diperbaiki. Matanya panas, ingin melepaskan air mata, tapi pria itu menahannya. Tangisan takkan menyembuhkan luka yang sudah pria itu perbuat.
Dalam hening, Umar terdiam, menatap kehancuran yang dia rancang dengan tangan sendiri. Di balik pintu, Umar tiba-tiba masuk ke kamar mandi. Dia tak mengucap sepatah kata, wajahnya tertunduk, enggan bertemu tatapanku. Suara air dingin mengalir deras, membasahi wajahnya yang penuh kegelisahan seperti pelarian dari kekacauan yang menggerogoti pikirannya pagi itu.
Di dapur, Citra tetap sibuk menyiapkan sarapan, tak tahu betapa retaknya dunia mereka sekarang.
Umar menatap kosong ke cermin kamar mandi, wajahnya pucat tanpa sedikit pun cahaya kebahagiaan.
“Apa yang sudah aku lakukan?” gumamnya dengan suara serak, seperti mencuri napas dari diri sendiri.
Tangannya gemetar, seolah menahan guncangan hati yang makin tajam, membakar setiap sudut pikirannya. Bercengkrama dengan Citra bukanlah keinginannya, tapi momen itu terjebak begitu saja di antara mereka, seperti perangkap yang tak mampu dia hindari.
“Aku mencintai Nay... hanya Nay,” bisiknya lirih sambil menundukkan kepala, mencoba merangkai kata-kata sebagai pelipur lara.
Bayangan kemungkinan punya keturunan dari Citra seperti bayangan tajam yang menusuk jantungnya berulang kali. Ini bukan mimpi biasa, ini mimpi buruk yang menyesakkan. Suara air dari shower tak mampu membasuh rasa bersalah yang membanjiri dadanya, malah membiarkannya berderu semakin deras.
Dalam hati Umar tahu, seberapa pun rumit keadaan ini, jalan satu-satunya adalah menjaga cintanya pada Nay. Dengan napas berat, ia bertekad menghentikan semua yang tak seharusnya terus berlanjut. Nay adalah arah hidup yang tak boleh tergantikan.
Setelah mengganti pakaian dengan tangan yang gemetar, dia menyisir rambut seadanya, tanpa niat merapikannya. Aroma parfum pria itu semprotkan berulang kali, seakan wangi itu bisa menenggelamkan kekacauan yang bergelora di dalam kepala. Langkah Umar berat, setiap kali kaki melangkah memasukkan sepatu seolah ada beban tak kasat mata menahan.
Umar tahu, dia harus segera pergi dari kamar ini. Ruang tidur dan seluruh rumah seolah berubah jadi ruang penyiksa, udaranya begitu pekat dan menyesakkan napas. Saat melewati ruang makan, dia tidak mengangkat pandang. Di meja sudah tersaji sarapan sederhana, nasi hangat, lauk seadanya, dan segelas teh manis yang mengeluarkan uap harum.
Wewangian teh itu sekejap menembus benak Umar, menyiratkan harapan Citra, bahwa dia mau duduk dan berbicara, membuka semua yang terpendam. Tapi Umar terlalu terjerat penyesalan, dada seperti diikat tali kuat, tercekik oleh memori semalam yang berulang terus di kepala. Kata-kata untuk menjelaskan semua ini, Umar tak punya. Bahkan untuk menyelamatkan hubungan mereka.
Mesin mobil Umar berderum kasar, suaranya seperti dentang terakhir yang memaku rasa pengecut dalam dada. Tangannya menggenggam setir begitu erat, seolah bisa menahan gelombang penyesalan yang menghantam. Rumah ini, yang dulu Umar anggap tempat damai, kini berubah menjadi labirin luka dan kebodohan.
"Apa yang sudah aku lakukan?" gumam Umar pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh deru mesin.
Umar tahu jawabannya sudah terpahat jelas di relung hati; semua ini salahnya. Bayangan Citra muncul tanpa diundang, matanya yang penuh kekecewaan membuat dada pria itu semakin sesak.
"Mas Umar, jangan pergi! Sarapan dulu, mas!" Citra berteriak, mengejar langkahnya yang kian menjauh di ambang pintu. Tapi suara Citra hilang, tak mengusik langkah tegarnya sama sekali. Dia berlalu, tanpa sekalipun menoleh.
Tenggorokan Citra tercekat. Wanita itu mengusap dada, mencoba meredam rasa sesak yang menusuk. Apa salahnya? Apa dia belum cukup baik menjadi istri?
Mata Citra melirik ke meja makan yang telah dia atur dengan penuh harap pagi ini. Sepiring bubur ayam hangat terhidang, lengkap dengan secangkir teh manis favorit Umar. Namun, udara di sekitarnya terasa dingin, seperti semua usaha kecil Citra hilang tanpa jejak. Wanita itu menarik napas pelan, bibirnya bergumam lirih,
"Mas, apa yang sebenarnya kau pikirkan? Kenapa jarak ini semakin melebar di antara kita?"
Kata-kata itu tercekat sebelum sempat Citra genggam penuh keberanian untuk diucapkan langsung. Hati nya berat, terasa terbuang di sudut ruangan saat wanita itu duduk kembali. Tubuhnya seperti kehilangan energi, matanya kosong menatap bayangan cinta yang dulu hangat, kini perlahan menghilang dalam kabut kesunyian.
" Apakah cara aku mencintainya salah? Atau diamnya adalah pintu yang menutup, mengisyaratkan aku bukan lagi yang dia butuhkan?" batin Citra yang saat ini merasakan sesak dada nya karena sikap Umar, suaminya yang dingin setelah semalam bercengkrama bersama diatas ranjang.