Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5 / THTM
Sudah beberapa hari ini Nayara tinggal di rumah Elara, alasannya membantu sahabatnya belajar. Sebenarnya, Nayara tidak keberatan. Sejak dulu ia sering menginap di rumah itu, lebih tepatnya di kamar Elara.
Meski ia memiliki rumah sendiri, pekerjaan ibunya sebagai pembantu dan ayahnya sebagai tukang kebun membuat keluarga Elara tidak mempermasalahkan keberadaannya.
Hanya saja, akhir-akhir ini Nayara merasa tidak nyaman. Kehadiran seorang pria, yang baru saja ia ketahui adalah kakak Elara, membuatnya tegang. Pria itu adalah Alaric — sosok yang telah mengubah hidup Nayara, dan rahasia yang ia sembunyikan kini terasa terancam.
Nayara berjalan keluar, mencari ibunya yang masih sibuk membereskan peralatan makan di dapur.
“Bu…” panggil Nayara pelan.
“Eh, Nay, kenapa di sini? Gak ikut menemani Elara?” tanya ibunya.
“ Aku capek, Bu. Makanya aku keluar, mau bantuin ibu,” jawab Nayara.
“Iya, udah selesai, kan?” sang ibu membalas sambil membersihkan meja.
“Oh iya, Nay… tadi Nyonya bilang, kalau kamu mau, kamu bisa tinggal terus di sini,” kata ibunya.
“Maksudnya, Bu?” Nayara heran.
“Mereka senang Elara punya teman di rumah ini,” jelas ibunya. “Dan lagi, setelah lelah seperti ini, sepertinya jalan pulang bakal melelahkan juga.”
Nayara menunduk sebentar. “Tapi aku tetap ingin tinggal di rumah sendiri, Bu.” Hatinya lebih tenang di rumah sederhana mereka, bukan karena rumah Elara tidak nyaman, tapi kehadiran Alaric membuatnya tegang.
“Tumben, kemarin-kemarin kamu tidak seperti ini,” sang ibu menatapnya heran.
“Gak apa-apa, Bu. Aku cuma merasa tidak enak kalau terus-terusan di sini. Hidup enak di sini, padahal aku bukan siapa-siapa,” gumam Nayara.
“Nayara, jangan bicara seperti itu. Kami senang kalau kamu ada di sini. Tidak peduli statusmu, kamu tetap manusia yang harus diperlakukan baik. Jangan merasa rendah diri,” tiba-tiba terdengar suara lembut Nyonya rumah. Kehadiran beliau membuat Nayara terharu, tapi detik berikutnya ia merasakan ketegangan baru: Alaric berdiri di samping, menatapnya dengan senyum misterius.
“Jangan berpikir seperti itu lagi, sayang. Kami tidak pernah merasa kamu jadi beban. Kami justru bersyukur kamu mau menemani Elara dan membantu belajarnya,” kata Nyonya.
Nayara hanya bisa tersenyum tipis, merasa lega sejenak. Namun tatapannya tak lepas dari Alaric, yang menimpali dengan suara tenang tapi penuh tekanan:
“Yah… itu bagus,” ucap Alaric sambil menatap mata Nayara. Tatapannya begitu intens, seolah menyimpan jutaan permainan di dalam pikirannya. Hanya satu yang jelas bagi Nayara: ia merasa kelimpungan sendiri di hadapan pria ini.
———
Malam itu, kamar besar Alaric sepi. Lampu temaram hanya menyorot buku-buku yang tertata rapi di rak, tapi pikirannya kacau. Ia duduk di tepi ranjang, tangan menggenggam rahang, mata menatap kosong ke jendela.
Bayangan Nayara terus muncul di kepalanya. Wajahnya, tatapannya, cara ia menunduk sopan… semuanya mengusik ketenangan Alaric.
Ingatan malam itu di hotel kembali menghantam. Bagaimana ia menatap gadis itu, dan bagaimana gadis itu menatapnya—takut, namun ada keberanian yang tersembunyi.
Alaric menghela napas panjang. “Kau akan tetap di sisiku… aku pastikan itu,” gumamnya pelan, seolah mengunci tekad dalam dirinya sendiri.
Keesokan harinya, ia memberi alasan sederhana pada keluarga: ia bosan tinggal di rumah pribadinya dan ingin kembali sementara ke rumah besar. Tidak ada yang curiga, kecuali Nayara.
Sejak pagi, gadis itu merasa gelisah. Setiap langkah kakak Elara di lorong, setiap suara langkah berat di lantai atas, membuatnya menahan napas. Ia mencoba berpura-pura biasa, tapi bayangan Alaric selalu terasa di mana pun.
Di sisi lain, Alaric berjalan santai di taman belakang rumah, mata menatap jauh ke pepohonan. Di balik ketenangan itu, pikirannya hanya satu: kali ini, Nayara tidak akan bisa menjauh. Ia bertekad, gadis itu harus menjadi miliknya—entah bagaimana caranya.
–——
Saat pagi, Nayara sengaja bangun lebih awal. Ia ingin menyelinap ke dapur untuk membantu ibunya menyiapkan sarapan, berharap bisa menghindari tatapan kakak Elara.
Namun, saat ia melewati lorong panjang rumah, langkahnya terhenti. Dari ujung tangga, sosok tinggi itu berdiri—Alaric. Matanya menatap lurus ke arahnya, tidak bergerak, hanya menunggu.
Nayara menelan ludah, mencoba tersenyum sopan. “Pagi, Kak…”
Alaric tidak menjawab. Ia hanya melangkah pelan, tepat di depannya, seolah ingin mengukur reaksinya. Hati Nayara berdebar kencang. Semua yang ia pelajari tentang menjaga jarak dan sopan santun kini terasa tidak berguna.
“Jadi… kau benar-benar akan tetap di sini?” tanyanya akhirnya, suaranya rendah tapi tegas.
“Ya… iya… aku… ya,” jawab Nayara terbata-bata, mencoba menjaga nada biasa.
Alaric mencondongkan tubuh sedikit, tatapannya menusuk. “Bagus. Karena aku ingin kau tidak kemana-mana lagi. Aku ingin kau ada di dekatku.”
Nayara mundur satu langkah, punggungnya hampir menyentuh dinding. Napasnya cepat, tapi ia menahan diri agar tidak panik.
Tanpa kata lagi, Alaric berbalik dan berjalan ke ruang makan. Tapi aura kehadirannya tetap menyelimuti Nayara. Ia sadar satu hal: tidak peduli seberapa banyak ia berusaha menghindar, Alaric selalu ada, selalu mengawasi.
Elara muncul dari kamar, tersenyum riang. “Nay, cepat sarapan! Kakakku sudah menunggu di meja,” katanya polos.
Nayara tersenyum kaku, memaksa dirinya mengikuti langkah Elara, tapi tatapan Alaric yang baru saja menyingkir masih membekas di pikirannya.
Meja makan di rumah besar itu penuh aroma kopi, roti panggang, dan selai buah segar. Nayara duduk di samping Elara, mencoba tersenyum seolah biasa, tapi dadanya sesak setiap kali matanya tak sengaja bertemu dengan Alaric.
Elara riang mengambil sepotong roti, tanpa sadar memperlihatkan betapa nyaman Nayara berada di sisi sahabatnya. “Nay, coba makan yang ini, enak banget!”
Nayara tersenyum tipis, mencoba fokus pada roti di piringnya. Tapi matanya selalu tertuju pada sosok pria di seberang meja. Alaric duduk tegak, tangan di atas meja, menatapnya diam-diam. Senyum tipisnya tidak pernah sampai ke matanya, tapi cukup untuk membuat Nayara merasa tidak bisa bernafas tenang.
Ia menelan ludah, mencoba menyingkirkan rasa gelisah. “Aku… aku lapar,” gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.
Elara tersenyum lega. “Lihat? Aku bilang kan, kamu nggak perlu canggung di sini.”
Alaric memiringkan kepalanya, nadanya rendah tapi terdengar jelas oleh Nayara:
“Kau akan belajar banyak hal di sini… termasuk tentang bagaimana menghadapi seseorang yang selalu ada di sekitarmu.”
Nayara menunduk, napasnya tercekat. Ia sadar satu hal: tidak peduli seberapa ia berusaha menghindar, Alaric selalu ada, selalu mengawasi.
Saat sarapan selesai, Alaric berdiri pelan, menatap Nayara sekali lagi. Tanpa sepatah kata pun, ia berjalan keluar, meninggalkan gadis itu yang jantungnya berdegup tak karuan.
Siang itu, Nayara duduk di ruang belajar, menatap buku dengan konsentrasi palsu. Elara sibuk mencatat hal-hal penting di papan tulis kecil di sampingnya.
Namun, setiap kali pintu ruang belajar terbuka, jantung Nayara berdegup kencang. Bayangan kaki yang masuk, suara langkah yang berat, selalu membuatnya menoleh—dan benar saja, Alaric muncul, berdiri di ambang pintu.
“Belajar lagi?” tanyanya, nada tenang tapi penuh arti.
Nayara menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Iya… hanya ingin mempersiapkan diri untuk ulangan minggu depan,” jawabnya, suaranya bergetar tipis.
Alaric melangkah lebih dekat, menatap buku-buku yang terbuka di meja. Senyumnya samar, tapi matanya tidak pernah lepas dari Nayara.
“Kau serius… tapi aku rasa, beberapa hal tidak bisa diajarkan di buku,” ucapnya, nada datar tapi sarat makna.
Nayara menunduk, napasnya tercekat. Setiap kata Alaric terdengar seperti bisikan yang menekan, mengingatkannya akan malam itu.
Elara sama sekali tidak curiga. Ia menoleh sebentar, tersenyum pada kakaknya. “Kak, mau minum teh?”
Alaric hanya mengangguk, menatap Nayara sekali lagi sebelum mengambil kursi di sisi lain meja.
Meskipun duduk agak jauh, aura kehadirannya tetap membuat Nayara merasa terperangkap.
Saat Elara pergi sebentar ke dapur, Alaric mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Nayara.
“Jangan khawatir… aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja,” gumamnya rendah, hampir tidak terdengar.
Nayara menelan ludah, mencoba menguasai rasa panik yang mulai menyelimuti dirinya. Ia tahu, kehadiran Alaric hanyalah permulaan dari sesuatu yang tidak bisa ia hindari lagi.