NovelToon NovelToon
Janji Di Atas Bara

Janji Di Atas Bara

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Balas Dendam / Cinta Terlarang / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Miss Ra

"Janji di Atas Bara" – Sebuah kisah tentang cinta yang membakar, janji yang teringkari, dan hati yang terjebak di antara cinta dan dendam.

Ketika Irvan bertemu Raisa, dunia serasa berhenti berputar. Cinta mereka lahir dari kehangatan, tapi berakhir di tengah bara yang menghanguskan. Di balik senyum Raisa tersimpan rahasia, di balik janji manis terselip pengkhianatan yang membuat segalanya runtuh.

Di antara debu kota kecil dan ambisi keluarga yang kejam, Irvan terperangkap dalam takdir yang pahit: mempertahankan cintanya atau membiarkannya terbakar menjadi abu.

"Janji di Atas Bara" adalah perjalanan seorang pria yang kehilangan segalanya, kecuali satu hal—cintanya yang tak pernah benar-benar padam.

Kita simak kisahnya yuk, dicerita Novel => Janji Di Atas Bara
By: Miss Ra

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 5

Raisa, yang berdiri tak jauh dari sana, hanya bisa menatap punggung Irvan dari jauh. Ada sesuatu dalam cara pria itu bergerak__penuh tenaga, tegas, dan tidak gentar meski baru saja menghadapi situasi berbahaya.

Entah kenapa, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menelan ludah pelan, matanya tak lepas dari sosok itu hingga benar-benar menghilang di balik pagar panti.

"Dia-- luar biasa," gumamnya hampir tanpa suara.

Raisa bukan hanya kagum karena keberanian Irvan, tapi juga karena ketegasannya__pria yang bertindak tanpa ragu untuk melindungi orang yang ia sayang. Ada sisi agresif dalam diri Irvan yang bagi Raisa bukan menakutkan, melainkan memikat: ketegasan yang lahir dari keberanian dan naluri melindungi.

Dharma yang berdiri di samping putrinya sempat melirik, lalu menepuk lembut bahu Raisa. "Anak itu punya hati yang kuat. Tapi semoga dia tidak tenggelam dalam amarahnya."

Raisa mengangguk, masih menatap ke arah Irvan. "Aku harap begitu juga, Ayah--" ucapnya pelan, senyum samar menghiasi wajahnya.

Namun di balik senyum itu, ada sesuatu yang lebih dalam__perasaan yang mulai tumbuh, perlahan tapi pasti.

***

Dua hari berganti, matahari pagi menyorot tajam di atas lokasi pembangunan masjid yang sedang digarap oleh Darwis. Suara palu dan gergaji yang biasanya ramai, kini nyaris tak terdengar. Hanya beberapa tukang yang duduk di bawah pohon, mengipas-ngipas wajah mereka dengan topi lusuh sambil bercakap pelan.

Darwis, dengan kemeja putih sederhana yang lengannya digulung, melangkah masuk ke area itu bersama sahabat Irvana yang bernama Gilang Aditya. Alisnya berkerut begitu melihat keadaan yang tak biasa.

"Kenapa kalian semua santai begini?" suaranya tegas tapi tak membentak. "Kenapa tidak bekerja?"

Para tukang itu saling pandang, ragu-ragu. Salah satu dari mereka, pria tua dengan wajah penuh keringat dan topi lusuh, akhirnya angkat bicara dengan hati-hati.

"Maaf, Pak Darwis-- kami bukannya malas. Tapi batu kerikilnya sudah habis. Kami mau ambil di tempat biasa, di sungai kecil dekat jalan besar itu-- tapi, katanya sekarang harus bayar."

Darwis menatapnya tajam. "Harus bayar? Maksudmu?"

Pria itu menunduk, suaranya makin pelan. "Iya, Pak-- waktu anak-anak akan mengambil, mereka dihentikan sama orang-orang yang katanya suruhan Tuan Dharma. Disuruh membayar kalau mau ambil lagi."

Seketika, mata Darwis menyipit. Udara pagi terasa makin panas. "Anak buah Dharma?" ulangnya perlahan, suaranya dingin namun berbahaya.

Beberapa tukang hanya mengangguk cepat, jelas ketakutan menyebut nama besar itu.

Darwis menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan amarah yang mulai naik ke dada. Ia menatap ke arah tumpukan bata yang separuh jadi, lalu kembali pada para tukang.

"Baik. Kalian istirahat dulu. Biar aku yang urus," katanya datar, tapi sorot matanya tajam seperti baja.

Ia melangkah keluar dari lokasi, langkahnya tegap dan mantap. Dari kejauhan, Irvana yang baru datang dengan mobil jeep berhenti di pinggir jalan, menatap ayah angkatnya yang berjalan cepat dengan rahang mengeras.

"Ada apa, Dad?" tanya Irvana begitu menghampiri.

Darwis berhenti sejenak, menatap putranya. "Kita akan bicara dengan Dharma."

Nada suaranya rendah, tapi cukup untuk membuat Irvana tahu__seseorang baru saja menyinggung harga diri ayahnya.

Irvan hanya mengangguk pelan, menyalakan mesin mobilnya lagi. "Ayo, aku antar."

Dan di bawah terik matahari pagi itu, keduanya melangkah menuju kediaman Dharma__dengan diam yang padat, dan niat yang jelas: menuntut keadilan.

Suasana pagi menjelang siang itu terasa tegang begitu Darwis melangkah masuk ke taman belakang yang megah milik Dharma. Aroma kopi dan kertas baru menyeruak.

Dharma duduk di meja besar penuh map dan dokumen, mengenakan kemeja rapi. Pena di tangannya bergerak cepat menandatangani satu demi satu berkas tanpa sedikit pun menoleh ketika langkah kaki Darwis dan beberapa tukang memasuki taman.

Darwis menunduk sedikit, mencoba menjaga sopan santun meski nadanya menahan bara.

"Maaf, Dharma," ucapnya pelan namun mantap. "Aku ingin bertanya-- apa benar, orang-orangku tidak boleh lagi mengambil kerikil di ujung sungai sana? Katanya harus bayar sekarang?"

Dharma tetap menulis, suaranya tenang tapi dingin. "Ya. Semuanya tidak ada yang gratis kali ini," katanya sambil menutup salah satu map. "Semua harus pakai uang. Aturan baru."

Hening beberapa detik. Hanya suara angin yang berhembus perlahan.

Darwis menarik napas panjang, menatap pria di depannya dengan sorot yang menahan kecewa.

"Tapi ini untuk pembangunan masjid, Dharma," katanya berat. "Masjid untuk masyarakat. Apa tidak ada sedikit saja toleransi untuk hal seperti itu?"

Dharma meletakkan penanya, akhirnya menatap Darwis__tatapannya tenang, tapi ada jarak di sana, seolah mereka bukan lagi sahabat lama yang pernah berdiri di barisan yang sama.

"Justru karena untuk masyarakat, semuanya harus tertib. Tidak boleh seenaknya mengambil. Aturan tetap aturan," jawabnya datar.

Sebelum Darwis sempat membalas, salah satu tukang yang berdiri di belakangnya, lelaki berkulit gelap dengan baju penuh debu semen, tiba-tiba bersuara keras, emosinya meledak.

"Iya, Pak Dharma! Kami semua dulu yang dukung Bapak waktu pemilihan! Kami percaya Bapak orang baik, orang yang peduli rakyat! Tapi sekarang, kenapa Bapak jadi sombong begini?"

Beberapa tukang lain ikut bersuara, nada mereka campuran antara marah dan kecewa.

"Betul itu! Kami cuma mau bangun masjid, bukan minta makan gratis!"

"Batu di tanah sendiri aja sekarang disuruh bayar!"

Dharma menegakkan tubuhnya di kursi, pandangannya tajam beralih ke arah mereka. Kalian lupa diri?" katanya pelan tapi menekan. "Aturan dibuat untuk semua, bukan untuk dilanggar karena alasan belas kasihan."

Darwis menoleh ke para tukang, memberi isyarat dengan tangannya agar mereka diam. Suaranya kemudian rendah tapi jelas, menahan gejolak yang hampir meledak.

"Tidak bisa begitu, Dharma-- Satu hal yang kau perlu tahu__aku tidak butuh belas kasihanmu, hanya keadilan sesama."

"Diam!" suara yang cukup menggelegar itu adalah pendamping Dharma, musuh Irvana sejak kecil, lalu langkahnya maju mendekat. "Sudah cukup. Ini rumah Tuan Dharma, bukan tempatmu mengatur."

Darwis menoleh tajam, matanya menyala. Ia tak gentar sedikit pun.

"Kau yang harus diam!" bentaknya, menunjuk dada pria itu dengan jari yang bergetar menahan emosi.

Taman yang luas milik Dharma yang semula hanya diisi ketegangan kini mendadak berubah menjadi medan panas.

Pendamping Dharma yang bernama Roy mendengus marah. "Berani kau__!" serunya, lalu tangannya terangkat hendak menghantam wajah Darwis.

Namun sebelum tinju itu sempat mendarat, sebuah bayangan cepat melesat dari pintu.

Bugh !

Tinju Irvana menghantam rahang pria itu keras, membuatnya terhuyung mundur dan menabrak kursi tamu di belakang.

"Irvana!" seru Darwis, terkejut sekaligus khawatir.

Namun Irvana sudah kehilangan kesabaran. Ia maju, mencengkeram kerah baju Roy dan menghajarnya lagi tanpa ragu.

"Jaga mulutmu kalau bicara dengan Ayahku!" bentaknya dengan napas berat.

Dharma berdiri kaget, sementara para tukang panik, sebagian mencoba melerai tapi tak berani mendekat. Roy bangkit dan berusaha membalas, tapi Irvana lebih cepat__ satu tendangan keras menghantam perutnya hingga ia tersungkur lagi.

"Berhenti, Irvan!" teriak Darwis. Tapi anak muda itu tak mendengar.

...----------------...

Next Episode...

1
Deyuni12
dikit amaaaaat
Miss Ra: siaaaap
total 3 replies
Deyuni12
complicated
oh cintaaaa
Deyuni12
sungguh memilukan
Deyuni12
hadeeeeh
kumaha ieu teh atuh nya
Kutipan Halu
mampir kak, mampir jg ya ke karyaku "DIMANJA SAHABAT SENDIRI"☺☺
Deyuni12
lanjuuuut
Jee Ulya
Tapi kalau kebanyakan naratifnya, aku nggak bisa nafas. hihi😁
Jee Ulya
Nyampeee, Aromanyaaa nyampe siniii kaaaak😍😍😍
Jee Ulya: luv banyaak banyaaak
total 4 replies
Jee Ulya
😭😭😭😭 bagus bangettt
Jee Ulya
Aaah diksinyaaaa bikin meleleeeh 😭😭😭
Deyuni12
agaiiiiiin
Deyuni12
lagiiiiii
Deyuni12: d tungguuuu
total 2 replies
Deyuni12
makin penasaran dengan kisah cinta mereka n juga mungkin dendam d masa lalu antara kedua org tua mereka,,hm
lanjut
Deyuni12
hancurkaaaaan
Deyuni12
cinta 🥺🥺🥺
Deyuni12
huft 🥺🥺
Deyuni12
pertikaian dua sahabat kental,berujung kepahitan yg d dapat irvana,,hm
Deyuni12
jeng jeng jeeeng
badai akan segera d mulai
Deyuni12
memadu kasih
hm
lanjut
Deyuni12
hm
haruskah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!