Entah wanita dari mana yang di ambil kakak ku sebagai calon istrinya, aroma tubuh dan mulutnya sungguh sangat berbeda dari manusia normal. Bahkan, yang lebih gongnya hanya aku satu-satunya yang bisa mencium aroma itu. Lama-lama bisa mati berdiri kalau seperti ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika komalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
lamaran 2
Ku tatap wanita yang sudah menjauh dariku tersebut, sebaiknya aku memang harus berhati-hati. Bersandiwara tak ada salahnya juga di sini.
Aku segera beranjak, menyusul ibu dan mas Rama yang tengah duduk di depan sana. Jangan sampai ibu dan Maas Rama curiga, tapi ku pastikan dengan perlahan aku akan. Membongkar kedok keluarga sialan ini.
"sudah sayang?" ucap ibuku seraya melihatku.
" iya buk sudah."
"anak jeng Romlah rajin ya, beruntung loh jeng Romlah punya anak secekatan Laras "
ibuku tersenyum simpul, berbanding terbalik dengan ku yang mulai muak dengan wanita setan itu. Ih, ingin rasanya ku remas mulut bau nya itu.
"oh iya jeng, jadi kapan nih, Rama mau melamar Sinta?" ucap ibu mbak Sinta seraya melihatku.
"kalau kami sih sesiapnya nak Sinta saja, iya kan Rama?"
" iya buk, kalau Rama tersenyum dek Sinta saja "
Hoeeekkk, dek Sinta? Dih, sejak kapan mas Rama bicara seromantis itu. Mendengar nya saja. perutku mual.
"bagaimana jika tiga hari lagi," ucap bapak mbak Sinta.
" apa? Tiga hari?" ceplosku spontan.
"iya, setelah lamaran s Minggu kemudian langsung kita mengadakan resepsi. Bagaimana?"
Ha! Gak salah denger ini, jangan-jangan mbak Sinta hamil duluan lagi. Makanya mereka minta di buru.
"apa tidak terlalu cepat pak?" ucap ibu ya mbak Sinta, sok sekali wanita ular ini. Padahal dia lah yang paling ngebet di sini. Aku yakin dia tengah berkamuflase di sini.
"loh, ya enggak dong buk. Ngapain coba nunggu terlalu lama, toh akhirnya mereka akan menikah juga."
Aku sebenarnya tidak masalah, tapi ada keraguan di hati ini tentang keluarga mbak Sinta yang terkesan seperti pemuja iblis ini.
"nak Rama bagaimana, tiga hari lagi kalian lamaran, lalu setelahnya seminggu kemudian kalian akan langsung mengadakan resepsi. Apa sanggup?"
Mas Rama terdiam, tapi matanya menjurus pada ibuku. Seperti tengah meminta pendapat.
"gimana buk?"
"ya, ibu ikut kamu saja. Apapun keputusan yang kamu ambil, ibu dan Laras ikut. Iyakan sayang?"
"iya buk" ucapku dusta. Aku sangat berharap, pernikahan ini gagal mengingat apa yang telah ku alami di dapur tadi.
Mas Rama menghela nafasnya sejenak, lalu menatap kami semua yang ada di sini dan tatapan nya terakhir jatuh pada mbak Sinta.
"baiklah, saya akan melamar Sinta tiga hari lagi."
Semuanya tersenyum termasuk ibuku. Tapi senyuman ibu mbak Sinta yang paling mengerikan di sini. Apalagi gigi kuning nya, menambah kesan aneh di wajah tua nya.
Setelah cukup berbincang, akhirnya kami pamit undur diri. Tak lupa mereka bawakan kamu buah tangan, entah apa isinya aku pun tak tau.
"tidak usah repot-repot jeng," ucap ibuku menolak buah tangan tersebut.
"gak repot kok jeng, ini sudah di persiapkan Sinta." ucapnya sembari tersenyum lebar bahkan saat dia melirikku ada rasa puas tersendiri di wajahnya itu.
Kamipun segera berlalu, di tengah perjalanan otakku masih berseliweran kata-kata ibu nya mbak Sinta. Jangan-jangan mas Rama di pelet lagi oleh mereka. Mana tinggal sepuluh hari lagi waktu ku. Ya, tuhan apa yang harus ku lakukan.
Terus dan terus akhirnya kamipun tiba di rumah, aku yang penasaran tak sabar ingin membuka apa yang di berikan oleh keluarga mbak Sinta tadi.
"ayo buk di buka." ucaoku tak sabar.
"dih, tadi sok nolak." ucap mas Rama seraya mendaratkan bokongnya di sebelah ku.
"nafasmu bau banget si mas sana gih gosok gigi." omelku.
" bau dari mana, wangi gini kok. "
Ku cabikkan mulut ini, sementara ibu hanya menghela nafas melihat aku mengomel pada anak sulungnya itu.
"apa itu buk?" ucapku sembari memajukan tubuh ke depan.
"entah, kayaknya cermin deh." ucap ibu sembari membuka kotak tersebut.
Ya, isinya cermin dan sebuah cincin. Tapi cincin ini mirip cincin milik bapak-bapak yang lagi musiman itu. Yang bermata giok.
Mas Rama lantas mengambil cincin itu, dan langsung memakai nya. Aura rumah ini seketika berbeda, angin sejuk menyentuh tengkukku.
"cocok kan buk," ucapnya seraya memperlihatkan cicin bermata giok hijau itu.
"cocok tapi kok agak gimana gitu ya Ram."
" gimana, apanya buk?"
" gak tau lah, ini hanya merasakan ada hawa yang berbeda di sini."
Aku sependapat dengan ibu, walaupun tidak secara langsung aku yakin pasti ada sesuatu dengan cincin itu.
Mas Rama lalu membawa cincin itu masuk kedalam kamarnya, sementara kaca berbingkai hijau itu masih berada di tanganku.
"buk, apa ibu merasakan sesuatu!"
"sesuatu apa!?"
" keanehan yang terjadi di keluarga nya mbak Sinta."
Ibu terdiam, semoga saja apa yang ku rasakan ini ibu juga merasakannya.
"sedikit sih, tapi selebihnya biasa saja."
Ku buang nafas ini dengan kesal, ternyata dugaanku benar, hanya aku yang bisa merasakan semuanya itu.
"buk, apa ibu tidak mencium apapun di sana tadi?" ucapku seraya berbisik takut kalau kedengaran oleh mas Rama.
"enggak, malah rumah mereka harum. Harum bunga melati."
" ibu yakin harum bunga melati?"
" iya, ibu saja betah berlama-lama di sana."
" tapi buk, rumah mereka itu bau bangkai, apalgi nafas mereka bau banget buk. Bahkan mbak Sinta dan ibunya bau badan mereka buk mampu membuat semua makanan tadi keluar dari perut ku." ucapku serius tapi pelan.
Ibuku terdiam, dia bahkan tak berkedip melihatku.
"kau tidak bercanda kan Lastri?"
"enggak buk, keluarga mbak Sinta itu aneh buk. Apalgi adiknya, itu sangat aneh di mata Laras buk. Bayangkan aja, gigi mereka semuanya kuning buk kecuali mbak Sinta."
" kuning? Tapi ibu melihatnya biasa saja."
Ku raup wajah ini, ku tatap ibuku ada raut khawatir di mataku. Entahlah, aku tidak tau meminta tolong pada siapa, jika aku seorang diri yang melawan mereka rasanya itu tidak mungkin. Tapi, aku juga tidak mungkin membiarkan keluargaku celaka.
"buk berhati-hatilah, kita bertiga dalam bahaya saat ini."
Ibu hanya diam, tapi matanya terus menatap ku. Aku juga tak tau arti tatapan nya itu.
"kau seperti ayahmu Laras."
"ayah?"
"hmmm, sepertinya kau mewarisi apa yang ayahmu miliki nak, ibu jadi khawatir dengan keselamatan mu."
" ibu serius?"
Ibuku mengangguk, bahkan seketika dia memegang tanganku yang sudah dingin.
"jika yang kau katakan semuanya benar, itu artinya kau mirip seperti ayahmu nak. Dan ibu takut jika mereka melukaimu."
" buka aku yang harus ibu khawatirkan, tapi mas Rama buk. Dia sudah masuk perangkap keluarga mbak Sinta. Jadi sebaiknya pernikahan mereka kita batalkan saja."
" apa di batalkan!" ucap seseorang yang langsung membuat kami berdua menoleh.
Deg, ternyata mas Rama. Sejak kapan dia berdiri di sana. Jangan bilang dia tau semua yang ku ucapkan tadi.