NovelToon NovelToon
Meluluhkan Hati Tuan Ferguson

Meluluhkan Hati Tuan Ferguson

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Anak Kembar / Pengantin Pengganti Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Pengasuh
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Sang_Imajinasi

Isabella Rosales mencintai Alex Ferguson dan ketiga anak kembar mereka—Adrian, Eren, dan Alden—lebih dari hidupnya sendiri. Namun, kebahagiaan mereka direnggut secara paksa. Berasal dari keluarga Rosales yang merupakan musuh bebuyutan keluarga Ferguson, Isabella diancam oleh keluarganya sendiri: tinggalkan Alex dan anak-anaknya, atau mereka semua akan dihancurkan.

Demi melindungi orang-orang yang dicintainya, Isabella membuat pengorbanan terbesar. Ia berpura-pura meninggalkan mereka atas kemauannya sendiri, membiarkan Alex percaya bahwa ia adalah wanita tak berperasaan yang memilih kebebasan. Selama lima tahun, ia hidup dalam pengasingan yang menyakitkan, memandangi foto anak-anaknya dari jauh, hatinya hancur setiap hari.

Di sisi lain kota, Celine Severe, seorang desainer yatim piatu yang baik hati, menjalani hidupnya yang sederhana. Jiwanya lelah setelah berjuang sendirian begitu lama.

Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang tragis. Sebuah kecelakaan hebat terjadi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

Pukul delapan pagi kurang lima belas menit, Isabella, dalam balutan blus sederhana dan rok panjang milik Celine, berdiri di depan pintu masuk karyawan Ferguson Tower. Pintu kaca otomatis yang megah untuk para eksekutif dan tamu penting berada seratus meter di kanannya, berkilauan angkuh di bawah sinar mentari pagi Kekaisaran Matahari. Dulu, pintu itu adalah gerbang menuju kehidupannya yang gemerlap. Hari ini, ia harus melewati pintu baja tanpa hiasan di sisi gedung, sebuah portal menuju dunia yang terasa asing sekaligus begitu familier.

Perasaan gugup yang dingin mencengkeram perutnya saat ia menunjukkan kartu identitas sementara yang diberikan rumah sakit kepada penjaga keamanan yang bertubuh tegap. Setelah pemeriksaan singkat yang terasa seperti interogasi, ia diizinkan masuk. Lorong di baliknya begitu berbeda dari lobi utama yang berlapis marmer dan dihiasi karya seni abstrak seharga miliaran. Lorong ini steril, fungsional, dicat putih bersih dengan lantai abu-abu yang mengkilap. Baunya seperti pembersih beraroma lemon dan ambisi yang tertahan dari para staf yang berlalu-lalang. Ini adalah urat nadi tak terlihat yang membuat jantung istana modern ini tetap berdetak.

Seorang wanita berseragam dengan senyum profesional menyambutnya dan mengantarnya ke lift khusus staf. "Nyonya Diana sudah menunggu Anda di lantai penthouse," katanya singkat, nadanya efisien. "Selamat datang di Ferguson Corp."

Perjalanan lift ke atas terasa seperti selamanya, sebuah pendakian vertikal yang mengukur jarak antara kehidupan lamanya dan kehidupannya yang sekarang. Setiap meter yang ia naiki meningkatkan detak jantungnya hingga terasa memukul-mukul tulang rusuknya. Ini nyata. Ia benar-benar kembali. Bukan sebagai nyonya rumah yang dihormati, tetapi sebagai staf rendahan. Bukan sebagai Isabella yang anggun, tetapi sebagai Celine yang sederhana.

Pintu lift terbuka langsung ke area servis di belakang dapur utama penthouse. Aroma roti panggang yang baru diangkat dari oven dan kopi arabika segar—aroma yang sama persis seperti pagi-pagi bahagianya dulu bersama Alex—menyeruak, membawa gelombang nostalgia yang begitu kuat hingga hampir membuatnya terhuyung. Nyonya Diana sudah menunggunya di sana, memegang sebuah tablet digital, penampilannya sama kaku dan sempurna seperti kemarin.

"Selamat pagi, Nona Severe," sapanya tanpa senyum, matanya yang tajam seolah memindai untuk mencari kecacatan. "Tepat waktu. Saya menghargai ketepatan waktu. Mari, saya akan tunjukkan area Anda dan menjelaskan peraturan dasarnya."

Nyonya Diana membawanya dalam tur singkat yang terasa seperti inspeksi militer. Dapur baja tahan karat yang berkilauan, ruang cuci yang dipenuhi mesin-mesin canggih, lalu melalui sebuah pintu tersembunyi, mereka melangkah ke area utama. Jantung Isabella berdebar begitu keras saat ia melangkah ke ruang keluarga yang luas. Semuanya masih sama persis. Sofa beludru besar berwarna biru malam yang ia pilih sendiri dari seorang desainer ternama, lukisan abstrak raksasa di dinding yang merupakan hadiah ulang tahunnya untuk Alex, bahkan vas bunga kristal di sudut ruangan yang selalu ia pastikan terisi lili putih segar, bunga favoritnya. Rasa sesak yang menyakitkan memenuhi dadanya. Ini adalah rumah yang ia bangun dengan cinta, kini ia memasukinya sebagai orang asing yang diawasi.

"Peraturan utama di rumah ini adalah efisiensi dan privasi," jelas Nyonya Diana, suaranya yang tegas menarik Isabella kembali ke kenyataan. "Anda di sini hanya untuk anak-anak. Tanggung jawab Anda dimulai saat mereka bangun pukul tujuh dan berakhir saat mereka tidur pukul delapan malam. Anda tidak diizinkan memasuki area pribadi Tuan Ferguson, yang meliputi seluruh sayap kanan penthouse: ruang kerja dan kamar tidur utama. Area tersebut sakral. Jam makan Anda diatur bersama staf lain di dapur belakang. Semua komunikasi dengan Tuan Ferguson harus melalui saya, kecuali dalam keadaan darurat yang mengancam nyawa. Apakah saya sudah jelas?"

"Sangat jelas, Nyonya," jawab Isabella dengan suara yang lebih mantap dari yang ia duga. Jiwa Isabella yang terbiasa memberi perintah kini harus belajar untuk patuh.

"Bagus. Sekarang, mari kita temui anak-anak. Mereka sedang sarapan di ruang bermain."

Inilah saatnya. Momen yang telah ia impikan selama lima tahun yang menyiksa, momen yang menjadi bahan bakar hidupnya. Nyonya Diana membukakan pintu kayu ek yang berat ke ruang bermain, sebuah ruangan luas dan cerah yang jendelanya setinggi langit-langit, menghadap ke seluruh penjuru kota dari ketinggian yang memusingkan. Dan di sana, di sebuah meja kecil berbentuk awan, duduklah ketiga dunianya, tiga kepingan hatinya.

Adrian, si sulung yang selalu serius, dengan rambut gelapnya yang sama persis seperti Alex, sedang dengan cermat memotong panekuknya menjadi kotak-kotak kecil yang presisi, seolah sedang melakukan operasi bedah. Eren, putrinya yang manis, sedang mengaduk-aduk serealnya hingga menjadi bubur sambil menyenandungkan lagu kecil, dua kuncir kudanya bergoyang-goyang mengikuti irama imajinernya. Dan Alden, si bungsu yang paling aktif, sudah memiliki noda selai cokelat di pipi dan dahinya, meskipun sarapan baru saja dimulai.

"Anak-anak," kata Nyonya Diana dengan nada yang dibuat selembut mungkin. "Ini Nona Celine, pendamping baru kalian."

Ketiganya mengangkat kepala serempak. Tiga pasang mata yang identik dengan mata tajam Alex menatapnya. Untuk sesaat, Isabella lupa cara bernapas. Udara seolah tersedot dari paru-parunya.

Alden yang pertama memecah keheningan. "Halo!" serunya riang. "Kau mau cokelat?" Ia menunjuk noda di pipinya dengan bangga.

Eren tersenyum malu-malu, mengingat wanita baik hati yang kemarin memberitahunya tentang persembunyian kelinci Bona.

Hanya Adrian yang menatapnya dengan tatapan tajam dan penuh selidik. Tatapan seorang pewaris Ferguson. "Pengasuh kami yang lama pergi," katanya datar, nadanya lebih seperti pernyataan fakta daripada pertanyaan. "Dia bilang kami terlalu banyak menuntut."

Isabella menemukan kembali suaranya, mendorong ke samping rasa sakit yang menusuk. Ia melangkah maju perlahan, berlutut agar sejajar dengan mereka, menempatkan dirinya di dunia mereka. "Aku tidak berpikir kalian banyak menuntut," katanya lembut, matanya tertuju langsung pada Adrian, menantang dinding pertahanannya. "Aku pikir kau hanya suka jika segala sesuatunya teratur dan masuk akal."

Adrian tampak terkejut. Ia melirik panekuknya yang dipotong rapi. Bagaimana wanita ini tahu?

"Dan kau," Isabella menoleh pada Eren, senyum tulus terukir di wajah barunya, "kau punya musik di dalam hatimu dan cerita di matamu." Ia kemudian melirik Alden yang sedang menjilati selai dari jarinya. "Dan kau... kau punya petualangan di setiap gigitan sarapanmu."

Keheningan melanda meja kecil itu. Nyonya Diana mengangkat alisnya, sedikit terkesan. Para pengasuh lain biasanya memulai dengan pertanyaan standar dan canggung seperti "siapa namamu?" atau "berapa umurmu?". Wanita ini berbicara seolah-olah ia sudah mengenal jiwa mereka.

"Aku akan meninggalkanmu bersama mereka," kata Nyonya Diana akhirnya, nadanya sedikit lebih hangat dari sebelumnya. "Tunjukkan kemampuanmu, Nona Severe. Jadwal harian mereka ada di tablet di atas meja."

Sepanjang pagi itu, Isabella membenamkan dirinya dalam surga yang telah lama hilang. Ia tidak mengikuti jadwal di tablet. Ia mengikuti irama hati anak-anaknya. Ia bermain balok dengan Adrian, tidak hanya menumpuk, tetapi membangun benteng yang kokoh secara struktural dan logis, mendapatkan anggukan hormat dari si sulung. Ia menari bersama Eren, membiarkan putrinya memimpin dalam sebuah balet imajiner di negeri dongeng. Ia menjadi monster pura-pura yang dikejar oleh Alden di seluruh ruangan, berakhir dengan tawa terbahak-bahak saat ia berhasil menangkap dan menggelitik pahlawan kecil itu. Ia tidak perlu mencoba. Semua ini mengalir secara alami. Ini adalah bahasa ibu yang tidak pernah bisa ia lupakan.

Anak-anak meresponsnya dengan cara yang belum pernah mereka lakukan pada orang asing. Eren bahkan beberapa kali memanggilnya "Mama Celine" sebelum meralatnya dengan pipi merona. Setiap kali panggilan tak sengaja itu terdengar, hati Isabella terasa seperti diremas, perih sekaligus manis luar biasa.

Siang harinya, saat anak-anak akhirnya tertidur lelap untuk tidur siang, ia punya waktu untuk bernapas. Ia duduk di sofa di ruang bermain yang kini sunyi, memandangi mainan yang berserakan dengan senyum lelah. Semuanya terasa seperti mimpi yang indah dan menyakitkan.

"Mereka terlihat menyukaimu."

Sebuah suara berat dan dalam dari ambang pintu membuatnya melonjak kaget.

Alex Ferguson berdiri di sana, diam seperti bayangan. Ia pasti baru saja pulang dari kantor untuk makan siang. Setelan jasnya yang dijahit sempurna tampak kontras dengan kekacauan ceria di ruang bermain. Wajahnya sama tampannya seperti dalam ingatan Isabella, tetapi matanya jauh lebih dingin, membawa beban kesedihan dan kepahitan selama lima tahun.

"Tuan Ferguson," sapa Isabella, segera berdiri dan menundukkan kepalanya sedikit, memainkan perannya sebagai Celine dengan sempurna.

"Saya melihat rekaman dari wawancara kemarin," lanjut Alex, melangkah masuk ke ruangan. Matanya yang tajam memindai setiap inci dirinya, membuatnya merasa telanjang dan terekspos. "Dan saya mengamati interaksi kalian pagi ini dari kantor saya. Anda memiliki cara yang… tidak biasa dengan mereka."

"Saya hanya mencoba memahami mereka, Tuan."

"Memahami mereka," ulang Alex, nada sinis tipis terdengar dalam suaranya. "Banyak yang sudah mencoba. Apa rahasiamu, Nona Severe?"

"Tidak ada rahasia," jawab Isabella, jantungnya berdebar kencang di bawah tatapan menusuk itu. "Setiap anak adalah sebuah dunia yang unik. Kita hanya perlu belajar bahasa mereka untuk bisa masuk."

Alex terdiam, matanya menyipit. Kalimat itu. Kalimat yang persis sama pernah diucapkan Isabella padanya bertahun-tahun yang lalu saat mereka pertama kali membahas tentang memiliki anak di taman belakang rumah mereka. Sebuah kebetulan? Atau sesuatu yang lain yang lebih mengganggu?

"Dengar, Nona Severe," katanya akhirnya, suaranya kembali dingin dan berjarak, membangun tembok di antara mereka. "Tugas Anda di sini jelas. Urus anak-anak saya. Pastikan mereka aman, sehat, dan bahagia. Itu saja. Jangan mencoba untuk melewati batas. Jangan mencoba untuk terlibat dalam urusan lain di rumah ini. Dan yang paling penting," ia berhenti sejenak, tatapannya semakin tajam dan penuh peringatan, "jangan pernah, sekali pun, mencoba untuk menggantikan ibu mereka."

Setiap kata terasa seperti tamparan keras di wajah. Sakit, tapi ia tahu ia pantas menerimanya. Di mata Alex, Isabella adalah pengkhianat yang telah meninggalkan mereka.

"Saya mengerti, Tuan Ferguson," bisiknya, menahan air mata yang mengancam akan jatuh. "Saya tahu tempat saya."

Alex menatapnya sekali lagi, seolah mencari sesuatu yang tidak ia temukan, lalu berbalik dan pergi tanpa sepatah kata pun, meninggalkan keheningan yang berat dan dingin di belakangnya.

Malam itu, Isabella berbaring di tempat tidur kecil di kamar stafnya yang sederhana. Dindingnya putih polos, perabotannya minimalis. Sangat jauh dari kemewahan kamar tidur utamanya dulu yang menghadap ke pemandangan kota. Tubuhnya lelah luar biasa, tetapi pikirannya berpacu tanpa henti.

Hari pertama telah berakhir. Itu jauh lebih sulit dan lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan. Melihat anak-anaknya memanggilnya dengan nama asing, melihat kebencian dan rasa sakit yang tak terucap di mata pria yang masih ia cintai… rasanya seperti jiwanya terkoyak menjadi dua.

Tapi kemudian, ia teringat momen-momen kecil yang berharga. Saat Eren menyentuh pipinya dan berkata ia wangi seperti ibunya. Saat Adrian akhirnya menunjukkan padanya cara membangun menara yang benar dengan senyum tipis yang langka. Saat Alden tertawa terbahak-bahak dalam pelukannya.

Itu semua sepadan. Rasa sakitnya sepadan.

Ia menyentuh dadanya, merasakan detak jantung Celine yang stabil dan kuat. Ini bukan lagi hanya tentang bertahan hidup. Ini adalah tentang merebut kembali surga yang telah direnggut darinya. Ini adalah medan perangnya. Dan ia baru saja mengambil langkah pertamanya. Dengan air mata yang akhirnya mengalir dalam diam di kegelapan, Isabella berjanji pada dirinya sendiri. Ia tidak akan menyerah. Ia akan memenangkan kembali keluarganya, satu hari yang menyakitkan pada satu waktu.

1
Indah Ratna
bagus thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!