Najwa, siswi baru SMA 1 Tangerang, menghadapi hari pertamanya dengan penuh tekanan. Dari masalah keluarga yang keras hingga bullying di sekolah, dia harus bertahan di tengah hinaan teman-temannya. Meski hidupnya serba kekurangan, Najwa menemukan pelarian dan rasa percaya diri lewat pelajaran favoritnya, matematika. Dengan tekad kuat untuk meraih nilai bagus demi masa depan, dia menapaki hari-hari sulit dengan semangat pantang menyerah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanafi Diningrat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Percakapan ayah dan anak
Najwa duduk di kursi rotan yang udah rusak itu sambil ngeliatin ayahnya yang masih diem aja. Bapak Hasan ngisap rokok sambil matanya kosong menatap lantai keramik yang banyak retaknya.
Suasana rumah terasa aneh. Biasanya ayahnya langsung marah-marah atau nanyain duit. Kali ini beda. Ada keheningan yang bikin Najwa gak nyaman.
"Pak, gue udah cerita tadi. Gue diculik sama sindikat." Najwa buka pembicaraan sambil ngusap lengan yang masih ada bekas lakban.
Bapak Hasan ngangkat kepala pelan. Matanya merah, entah karena mabuk atau karena nangis. Najwa gak bisa bedain.
"Gue tau lu diculik." Suaranya serak kayak orang yang udah gak tidur berhari-hari. "Tapi kenapa mereka milih lu?"
Najwa bingung sama pertanyaan itu. "Gimana maksudnya, Pak?"
"Kenapa mereka gak ambil anak tetangga yang lain? Kenapa harus lu?"
Najwa mikir sebentar. Dia inget Bos Heri bilang dia cewek pinter yang bisa kerja rapi. "Mungkin karena gue sering keluar malem buat kerja. Jadi gampang ditarget."
"Atau karena gue."
Suara ayahnya pelan banget, hampir kayak bisikan. Najwa harus dengerin bener-bener.
"Maksud Bapak apa?"
Bapak Hasan buang puntung rokok ke lantai sambil ngusap wajahnya yang udah kusam. "Najwa, lu tau kan gue punya banyak utang?"
"Tau, Pak. Dari dulu juga gitu."
"Tapi lu gak tau sama siapa gue ngutang."
Najwa mulai ngerasa ada yang gak beres. Jantungnya mulai deg-degan. "Sama siapa, Pak?"
"Sama orang-orang yang gak main-main. Rentenir, bandar judi, sama... orang-orang kayak yang nculik lu kemarin."
Dunia Najwa kayak berputar. Dia ngeliatin ayahnya yang nunduk sambil gemetar. "Jadi... jadi mereka kenal sama Bapak?"
"Bukan cuma kenal, Najwa. Gue udah berurusan sama mereka bertahun-tahun."
Najwa berdiri dari kursinya. Kakinya lemes, tapi dia harus denger penjelasan lengkapnya.
"Ceritain semuanya, Pak. Gue berhak tau."
Bapak Hasan ambil rokok baru sambil tangannya gemetar. Dia nyalain korek api beberapa kali sebelum akhirnya rokok itu nyala.
"Dulu, sebelum ibu lu meninggal, gue cuma ngutang buat modal jualan. Kecil-kecilan aja." Dia ngepul asap rokok ke udara. "Tapi setelah ibu lu pergi, gue... gue jadi gak bisa ngontrol diri."
Najwa duduk lagi, kali ini di lantai deket ayahnya. "Terus?"
"Gue mulai judi. Awalnya buat ngilangin sedih. Eh, malah kalah terus. Utang makin numpuk." Bapak Hasan ngeliatin foto ibu Najwa yang nggantung di dinding. "Sampai suatu hari, mereka tawarinnya sesuatu yang lain."
"Tawarinnya apa?"
"Kerja. Bantuin mereka cari... cari anak-anak muda yang bisa dijual."
Najwa ngerasa kayak kena petir. Matanya melotot ngeliatin ayahnya. "Jadi Bapak... Bapak kerja sama mereka?"
"Gue gak pernah nyari anak buat dijual, Najwa! Gue cuma bantuin angkut barang, jaga gudang, hal-hal kayak gitu." Bapak Hasan ngomong cepet, kayak mau meyakinkan diri sendiri.
"Tapi Bapak tau mereka jualan manusia?"
Bapak Hasan diem. Jawaban dia udah jelas tanpa perlu ngomong.
Najwa ngerasa mual. Perutnya mules, kepalanya pusing. Ayahnya sendiri yang terlibat sama sindikat yang hampir ngancurin hidupnya.
"Jadi... jadi kemarin itu, mereka nyulik gue karena tau gue anak Bapak?"
"Gue gak tau, Najwa. Wallahi gue gak tau." Suara Bapak Hasan mulai bergetar. "Mungkin mereka ambil lu buat ngancam gue bayar utang. Atau mungkin kebetulan aja."
Najwa nangis tanpa suara. Air mata ngalir gitu aja di pipinya yang tirus. Dia ngerasa dikhianati sama orang yang harusnya lindungin dia.
"Kenapa Bapak gak cerita dari dulu?"
"Cerita buat apa? Lu masih kecil. Gue pikir gue bisa urus sendiri."
"Urus gimana? Dengan cara ikut jualan manusia?"
"Gue bilang, gue gak pernah nyari anak buat dijual!"
Bapak Hasan bentak, tapi suaranya pecah. Kayak orang yang lagi nyoba meyakinkan diri sendiri kalau dia gak salah.
Najwa ngusap air matanya sambil ngeliatin ayahnya dengan tatapan kecewa. "Terus sekarang gimana? Bos Heri masih di luar sana. Dia pasti tau Bapak terlibat."
"Makanya gue khawatir, Najwa. Makanya dari kemarin gue nyari-nyari lu."
"Khawatir karena sayang sama gue, atau khawatir karena takut urusan Bapak kebongkar?"
Pertanyaan itu bikin Bapak Hasan diem lagi. Dia ngisap rokok dalam-dalam sambil ngeliatin lantai.
"Gue sayang sama lu, Najwa. Meski gue gak pernah ngomong, gue sayang sama lu."
"Tapi Bapak rela gue dijual buat bayar utang?"
"Gue gak pernah bilang gitu!"
"Gak perlu bilang! Perbuatan Bapak udah ngomong semuanya!"
Najwa berdiri lagi sambil jalan mondar-mandir di ruang tamu yang sempit. Kepalanya penuh sama pikiran yang campur aduk.
"Najwa, duduk dulu. Ada yang harus gue omongin lagi."
Suara ayahnya pelan tapi tegas. Najwa noleh dengan mata yang masih basah.
"Apa lagi?"
"Tadi sore, sebelum lu pulang, ada yang dateng ke sini."
Jantung Najwa berdegup kenceng lagi. "Siapa?"
"Orang suruhan Bos Heri."
Najwa langsung lemes. Dia duduk di lantai sambil peluk lutut. "Mereka bilang apa?"
"Mereka bilang, Bos Heri tau kalau gue terlibat sama polisi. Dia tau gue yang kasih alamat rumah ini ke polisi."
"Memang bener?"
"Gue gak ngasih alamat apa-apa ke polisi! Mereka nemuin sendiri dari KTP lu!"
Bapak Hasan lempar puntung rokoknya ke dinding sambil kesal. "Tapi Bos Heri gak percaya. Dia pikir gue yang ngebocorin semua operasi mereka."
Najwa mulai paham. Situasi mereka sekarang bahaya banget. Bos Heri pasti mau balas dendam.
"Terus mereka mau apa?"
"Mereka kasih gue dua pilihan." Bapak Hasan ngeliatin Najwa dengan mata yang penuh rasa bersalah. "Bayar utang gue sekaligus, atau..."
"Atau apa?"
"Atau bantuin mereka lagi. Tapi kali ini lebih... lebih dalam."
Najwa gak berani nanya lebih dalam itu maksudnya apa. Dia udah bisa nebak.
"Bapak mau milih yang mana?"
"Gue gak punya pilihan, Najwa. Utang gue udah ratusan juta. Gue gak mungkin bisa bayar."
"Jadi Bapak mau bantuin mereka lagi?"
Bapak Hasan diem lama. Rokok di tangannya udah abis, tapi dia belum buang. Cuma dipegang sambil gemetar.
"Mereka nawarin kerjaan baru. Nyari anak-anak di daerah lain buat... buat dijual ke luar negeri."
Najwa ngerasa dunianya runtuh. Ayahnya sendiri yang bakal jadi dalang penculikan anak-anak lain.
"Bapak gak bisa nolak?"
"Kalau gue nolak, mereka bunuh kita berdua. Kalau gue terima, setidaknya kita masih hidup."
"Hidup dengan cara ngancurin hidup orang lain?"
"Najwa, lu pikir gue senang? Lu pikir gue gak kepikiran anak-anak yang bakal jadi korban?"
Bapak Hasan mulai nangis. Pertama kali Najwa liat ayahnya nangis sejak ibunya meninggal.
"Tapi gue takut, Najwa. Gue takut kehilangan lu juga kayak kehilangan ibu lu."
Najwa ndekat ke ayahnya sambil ikut nangis. Meski kecewa, dia masih sayang sama ayahnya. Dia tau ayahnya bukan orang jahat, cuma orang lemah yang terjerumus terlalu dalam.
"Pak, kita bisa minta bantuan polisi. Mereka bisa lindungin kita."
"Polisi gak bisa jaga kita dua puluh empat jam, Najwa. Bos Heri punya banyak orang. Dia bisa nyerang kapan aja."
"Terus kita harus gimana?"
"Gue gak tau, Najwa. Gue bingung."
Mereka berdua duduk berdampingan di lantai yang dingin. Di luar, suara hujan mulai turun pelan. Suara tetesan air dari genteng bocor mulai kedengeran dari kamar Najwa.
"Pak, kalau Bapak terima kerjaan itu, gue gak bakal bisa lihat Bapak lagi."
"Kenapa?"
"Karena gue gak bisa tinggal sama orang yang nyakitin anak-anak lain. Gue udah ngerasain gimana rasanya jadi korban."
Bapak Hasan ngeliatin anaknya yang udah gede itu. Najwa yang dulu cengeng, sekarang udah berani ngomong tegas sama ayahnya.
"Lu mau kemana kalau tinggalin gue?"
"Gue gak tau. Mungkin minta bantuan polisi buat pindah ke panti asuhan atau gimana."
"Najwa..."
"Gue serius, Pak. Gue gak bisa hidup dengan darah anak-anak lain di tangan kita."
Bapak Hasan diem lagi. Dia ambil rokok baru sambil mikirin kata-kata anaknya.
"Kerjaan itu dimulai minggu depan. Mereka mau jawaban besok."
"Besok hari Kamis?"
"Iya."
Najwa ngeliatin jam dinding yang udah rusak itu. Hampir tengah malam. Besok dia harus sekolah, tapi pikiran dia penuh sama masalah keluarga.
"Gue capek, Pak. Gue mau tidur dulu."
"Najwa."
"Ya?"
"Maafin gue. Maafin semua kesalahan gue."
Najwa ngeliatin ayahnya yang nunduk sambil nyembunyiin air mata. Dia pengen marah, tapi juga kasihan.
"Gue udah maafin dari dulu, Pak. Cuma gue gak bisa ngerti kenapa Bapak gak pernah belajar dari kesalahan."
Najwa masuk kamar sambil nutup pintu pelan. Dia tidur di kasur tipis sambil dengerin suara ayahnya yang masih duduk di luar, mungkin masih ngerokok sambil mikir.
Kamarnya gelap. Cuma cahaya lampu jalan yang masuk lewat jendela yang gak ada gordennya. Najwa ngeliatin langit-langit yang retak sambil mikirin hari esok.
Besok ayahnya harus ngasih jawaban. Besok hidup mereka bisa berubah total. Entah jadi lebih baik atau malah lebih buruk.
Najwa nutup mata sambil berdo'a. Dia minta sama Tuhan biar ayahnya dikasih kekuatan buat nolak tawaran itu. Dia minta dikasih jalan keluar dari masalah yang makin rumit.
Di luar, hujan makin deras. Suara gemuruh petir sesekali kedengeran. Najwa tarik selimut tipis sampai ke dagu sambil mikirin semua yang udah terjadi.
Tiga hari lalu dia masih anak SMA biasa yang cuma mikirin nilai bagus. Sekarang dia harus mikirin hidup mati keluarganya.
Pelan-pelan matanya mulai berat. Meski pikiran masih campur aduk, tubuhnya butuh istirahat. Besok masih ada sekolah. Besok masih ada masalah yang harus dihadapi.
Najwa tertidur dengan suara hujan yang makin kenceng. Di ruang tamu, ayahnya masih duduk sendiri sambil ngerokok dalam gelap.
Malam itu, dua orang di rumah kecil itu tidur dengan pikiran yang sama. Hari Kamis yang akan datang bakal jadi hari yang menentukan nasib mereka.
Entah mereka bakal tetap jadi keluarga, atau berpisah untuk selamanya.