NovelToon NovelToon
Cat Man

Cat Man

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Cintapertama / Sistem / Romansa
Popularitas:698
Nilai: 5
Nama Author: juyuya

Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.

haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Adalah Kematian

Vira!!"

Shavira tergidik di kursinya. "Astagfirullah, Maya! Bikin kaget aja!"

Maya tersenyum tanpa dosa setelah mendapat rutukan dari Shavira. Ia menggantung tasnya di sisi kubikel.

"Lo semalam kenapa nggak masuk sih? Gue sendirian, nggak ada temen."

"Gue ambil cuti sehari, ada urusan," jawab Shavira tanpa menoleh, matanya tetap fokus ke layar komputer.

Maya duduk di kursinya dan mulai menyalakan komputer. Suasana kantor cukup ramai; tiap karyawan sibuk dengan urusannya sendiri.

Tuk tuk.

Shavira menoleh. Karin, perempuan berhijab coklat, mengetuk kubikelnya.

"Vira, kamu dipanggil Pak Saiful ke ruangannya."

Shavira mengangguk. Ia meraih berkas yang sudah disiapkan dan melangkah ke ruangan kepala bagian.

Tok tok.

"Masuk!"

Shavira mendorong pintu, lalu berdiri di depan lelaki yang tengah menyilangkan kaki di atas meja hitamnya. Tingkah itu sudah biasa ia lihat; seakan-akan perusahaan ini milik keluarganya, padahal ia hanya kepala bagian pemasaran.

"Ini, Pak," ucap Shavira sambil meletakkan berkas di meja.

Pak Saiful hanya melirik berkas itu, lalu melambaikan tangannya. Shavira paham maksudnya. Ia segera pamit keluar.

Begitu sampai di kubikel, Shavira langsung menjatuhkan tubuhnya ke kursi.

BRAK!!

"SHAVIRA!!"

Satu ruangan terhenyak mendengar teriakan Pak Saiful. Gadis itu terloncat kaget, jantungnya hampir copot. Lelaki tua itu keluar dengan wajah penuh emosi, langkahnya cepat menuju kubikel Shavira.

SRAKK!

Ia melempar berkas ke wajah Shavira. Seketika kertas-kertas beterbangan memenuhi ruangan.

"Apa-apaan kamu ini, hah?!" hardiknya. "Kenapa tulisan sampah begini yang kamu kasih ke saya?!"

Semua pasang mata menatap mereka. Bisikan-bisikan kecil terdengar, menggibahi Pak Saiful yang tengah berkacak pinggang.

"Kamu ulangi lagi pekerjaan ini sampai benar!" bentaknya lagi, sebelum kembali masuk ke ruangannya.

Ruangan mendadak hening. Shavira menunduk, berjongkok, memunguti kertas-kertas yang berserakan. Karin dan Maya ikut membantunya.

"Memang sialan tuh Pak Saiful," sungut Maya, menyerahkan beberapa kertas ke Shavira.

Karin menatap pintu ruangan dengan sinis, bibirnya monyong ke depan. "Lo nggak ada niat nyantet tuh orang, Vir?"

Shavira menggeleng cepat. "Nggak... dosa."

Karin mendengus, memutar bola mata.

Vir ini kelewat sabar, padahal udah diperlakukan kayak gini.

Tak lama, ia melirik jam tangan. "Guys, udah waktunya makan siang. Yuk, ke kantin."

Maya dan Shavira langsung mengangguk. Mereka bertiga beranjak pergi, masa bodoh dengan pekerjaan yang menumpuk.

 

Mereka bertiga berjalan ke kantin sambil membawa kotak makan stainless yang sudah terisi nasi, sop, tumisan, dan potongan buah.

"Kita duduk di situ aja," ujar Maya, menunjuk meja kosong di dekat jendela kaca.

Mereka duduk dan meletakkan makanannya masing-masing di atas meja panjang. Suasana kantin cukup ramai, penuh obrolan karyawan yang lepas dari tekanan kerja.

"Bima!!" Karin melambaikan tangan ke arah seorang lelaki berkacamata yang berdiri tak jauh dari sana. "Sini!"

Bima tersenyum tipis lalu berjalan menghampiri mereka. Meski satu divisi, ia memang agak pendiam dan cenderung menjaga jarak. Namun, bersama Karin yang ramah, ia merasa sedikit lebih nyaman.

"Eh, Bim... sini duduk!" sambut Maya sambil menepuk kursi kosong.

Bima menarik kursi, lalu duduk di samping Karin. Ketiga gadis itu menyapanya dengan senyuman.

"Shavira..." suara bariton Bima membuat gadis berhijab di depannya menoleh.

"Soal berkas tadi... aku minta maaf."

Shavira menggeleng pelan. "Nggak papa, Bim. Gue juga salah, nggak ngecek dulu."

Ya, sebenarnya berkas itu milik Bima. Namun karena kepala tim memintanya dikerjakan Shavira, ia pun mengambil alih. Sayangnya, Shavira terlalu percaya dan tak mengoreksi ulang ketikan sebelumnya.

"Emang dasarnya Pak Saiful aja tuh yang suka marah-marah," celetuk Karin sambil nyuap nasi. "Lagian tim kita sering kok dibentak-bentak kayak tadi."

"Bener!" timpal Maya. "Liat aja si Cleya, sampai resign!"

Shavira ikut terdiam, mengingat gadis yang dimaksud.

"Ah iya... gue baru inget," sahut Karin. "Padahal dia baru seminggu kerja, ya?"

Cleya, karyawan baru yang sempat masuk dua bulan lalu, berhenti hanya setelah seminggu bekerja. Kabar yang beredar, ia dilecehkan oleh Pak Saiful. Gadis itu bahkan keluar ruangannya sambil menangis sesenggukan. Sejak hari itu, Cleya tak pernah muncul lagi dan akhirnya mengirim surat pengunduran diri.

Suasana meja makan mereka jadi agak hening sejenak. Karin buru-buru mengalihkan topik, biar nggak makin suram.

"Eh tapi serius, Vir... kalau lo bisa tahan kerja bareng orang kayak Pak Saiful, berarti lo udah pantes dapet penghargaan ‘Karyawan Paling Sabar Se-Indonesia’," selorohnya.

Maya langsung nyaris keselek sop, sementara Shavira cuma memutar bola mata.

"Yaelah, Kar, ngomongnya kayak lagi pidato 17 Agustusan!"

Tawa mereka pecah, menghapus ketegangan yang sempat tercipta.

 

Beberapa jam kemudian...

Shavira berdiri di stasiun subway, menunggu kereta yang akan membawanya pulang ke kontrakan barunya. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel.

DRT. DRT.

Panggilan masuk. Ia melihat nama yang tertera di layar, bibirnya mendadak kaku. Haruskah diangkat?

Setelah beberapa detik ragu, ia menekan ikon hijau dan meletakkan ponsel ke telinga.

"Halo, Mbak Vira..." suara di seberang terdengar hati-hati.

Shavira diam.

"Mbak Vira? Kamu baik-baik aja, kan?" Nada suara itu jelas-jelas khawatir.

"Ehem... iya, ada apa, Dok?" sahutnya akhirnya.

"Besok Mbak Vira bisa ketemu saya? Kita harus bahas soal kondisi jantung Mbak..."

Shavira terdiam. Dadanya sedikit sesak. Haruskah ia kembali ke rumah sakit itu? Apakah ia siap menghadapi kenyataan tentang penyakitnya?

Kereta tiba. Shavira buru-buru menutup panggilan.

"Maaf, Dok. Saya lagi buru-buru."

"Tapi, Mbak Shav—"

Tuut. Panggilan terputus.

Shavira memasukkan ponsel ke saku blazer cokelatnya, lalu melangkah masuk ke kereta. Untung masih ada kursi kosong di depannya. Dengan lelah ia duduk.

Jarang-jarang banget dapet kursi di jam segini, pikirnya sambil menarik napas panjang.

 

Sementara itu, di sisi lain kota...

Drap. Drap. Drap.

Langkah kaki seorang lelaki terdengar di antara keramaian trotoar. Orang-orang berlalu-lalang dengan sibuk: ada yang menggandeng pasangan, ada yang menuntun anak, ada yang pulang kerja sambil menggerutu pada ponsel di tangan.

Lelaki itu tersenyum miring, seakan-akan menyaksikan sebuah tontonan yang hanya dia pahami.

"Manusia... sungguh menyedihkan," gumamnya lirih.

"Di saat kalian tertawa bahagia, kalian melupakan segalanya. Tapi ketika kalian kecewa, sakit, bahkan sekarat... kalian hanya bisa pasrah, sambil menyalahkan keadaan."

Matanya berkilat aneh. Wajahnya tampan, tapi tatapannya dingin dan menusuk. Bukan tatapan manusia biasa.

"Aku... adalah kematian," lanjutnya dengan suara rendah yang nyaris terdengar seperti bisikan angin. "Yang akan menghampiri siapa pun, kapan pun, tanpa kalian tahu waktunya."

Tiga langkah. Dua langkah. Satu langkah.

Tiiiiiitttt—!

BRAK! BRAK! BRAK!

Suara klakson bercampur hantaman keras. Orang-orang berteriak histeris.

"Kecelakaan!"

"Astaga, mobilnya ketimpa truk!"

"Ada lima mobil sekaligus!"

Kaca pecah, asap mengepul, jeritan terdengar di mana-mana. Polisi dan ambulans bergegas datang, lampu biru-merah berputar memecah senja.

Lelaki itu berdiri tenang di tengah hiruk pikuk, tak ada seorang pun yang menyadari keberadaannya. Bibirnya melengkung lagi, senyum dingin yang hanya menambah aura mencekam.

"Setiap langkahku... setiap tatapanku... adalah tanda kehancuran bagi kalian," bisiknya.

1
Ceyra Heelshire
what the hell
Maki Umezaki
Terima kasih penulis, masterpiece!
Tae Kook
Perasaan campur aduk. 🤯
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!