NovelToon NovelToon
Jadi Istri Om Duda!

Jadi Istri Om Duda!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Galuh Dwi Fatimah

"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jatuh Cinta?

Bastian melangkah semakin mendekat ke arah Riri. Ia masih terus menatap Riri dalam-dalam, napasnya sedikit memburu. Tatapan itu bukan lagi tatapan ragu, melainkan campuran kehangatan, keterkejutan, dan rasa yang selama ini ia tekan sedalam mungkin.

Riri juga tak mengalihkan pandangannya. Jarak mereka terlalu dekat, seakan hanya tinggal satu hembusan napas yang memisahkan. Dan di tengah keheningan ruangan itu, Bastian akhirnya menurunkan pertahanannya sepenuhnya.

Perlahan, ia mendekat… lalu menci-um Riri. Ci-uman itu bukan lagi karena paksaan, bukan lagi bentuk keraguan. Seolah semua perasaan yang mereka sembunyikan selama ini meledak dalam satu momen. Riri memejamkan mata, jantungnya berdegup cepat tak karuan. Tangannya refleks menggenggam kemeja Bastian di dada, menahan getaran yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Beberapa detik kemudian, Bastian menarik diri perlahan, tapi tangannya masih menempel di pipi Riri. Mereka berdua terdiam, hanya saling menatap—dan dalam tatapan itu, ada sesuatu yang berubah.

“Riri…” suara Bastian serak.

Riri menelan ludah pelan, “Iya, Om…”

“Om… nggak tahu kalau semuanya bakal jadi serumit ini,” ujarnya pelan, matanya mencari-cari jawaban di wajah Riri.

Riri menggeleng cepat, “Kalau Om nyesel, kenapa ci-um aku kayak tadi?” tanyanya jujur, suara lirihnya bergetar tapi mantap.

Bastian tersenyum tipis, senyum yang baru pertama kali Riri lihat dari jarak begitu dekat, senyuman itu begitu hangat dan… tulus. Ia menyelipkan satu helaian rambut Riri ke belakang telinga gadis itu. “Om nggak nyesel… justru ini yang Om takutkan dari awal. Takut jatuh dalam pesona kamu terlalu dalam.”

Riri tertawa kecil meski matanya berkaca. “Terlambat, Om. Aku udah jatuh dan tenggelam duluan dalam pesona, om.” ujarnya, mencoba terdengar ringan tapi jelas.

Suasana mendadak hangat dan intens sekaligus. Bastian menyandarkan keningnya pada kening Riri. “Mulai sekarang… kita nggak bisa pura-pura nggak ada apa-apa lagi, ya?” bisiknya.

Riri mengangguk pelan, matanya tetap terkunci pada mata Bastian. “Nggak bisa. Aku nggak mau juga. Om milik aku sekarang.”

Bastian tertawa kecil. "Dan kamu juga milik saya, Riri."

Malam itu menjadi titik balik bagi keduanya,bukan lagi hanya permainan perasaan sepihak, tapi awal dari hubungan yang mereka berdua sadari… berbahaya, tapi juga begitu nyata.

____

Riri duduk di kursi penumpang dengan jantung masih berdetak tak karuan. Mobil Bastian melaju pelan menembus jalanan kota yang mulai sepi. Tidak ada musik, tidak ada suara selain mesin kendaraan yang terdengar.

Sesekali, Bastian melirik ke arah Riri. Setiap kali pandangan mereka nyaris bertemu, keduanya buru-buru mengalihkan tatapan, seolah takut ketahuan sedang memikirkan hal yang sama.

Riri memeluk tasnya di dada. “Tadi… itu…” katanya lirih, membuka percakapan dengan hati-hati.

Bastian menelan ludah, matanya tetap ke jalan. “Om tahu,” katanya pendek.

Riri menatapnya. “Om tahu apa?”

“Kalau habis itu kita pasti bingung mau ngomong apa,” jawab Bastian sambil tersenyum kecil. Suaranya tenang, tapi ada nada hangat yang membuat pipi Riri memerah.

Riri tertawa kecil, gugup. “Ya salah sendiri… siapa suruh Om ci-um aku.”

Bastian menoleh sekilas, matanya tajam tapi lembut. “Kamu duluan ya yang cium Om, bikin Om lupa sama dunia.”

Riri terdiam. Degupan jantungnya makin cepat. Ia menatap ke luar jendela, menyembunyikan senyum kecil yang tak bisa ia tahan. “Jadi… Om nggak nyesel kan?” tanyanya pelan.

Bastian menghela napas panjang, seolah mencari kata yang tepat. “Kalau Om bilang nyesel, itu bohong. Tapi kalau Om bilang ini mudah… itu juga bohong, Ri.”

Riri menunduk. “Aku tahu. Tapi aku juga nggak mau pura-pura nggak ngerasain apa-apa.”

Mobil berhenti perlahan di depan rumah Riri. Lampu teras masih menyala. Sisa hujan, meninggalkan aroma tanah basah dan udara malam yang tenang.

Bastian mematikan mesin mobil, tapi keduanya tetap diam. Suasana di dalam mobil terasa… aneh. Bukan dingin, tapi hangat dan penuh sesuatu yang belum terucap.

Riri menoleh, menatap Bastian dalam-dalam. “Om…”

“Iya?”

“Kalau mulai malam ini semuanya berubah… Om siap?”

Bastian menatapnya balik. Tatapan itu dalam—tidak lagi penuh keraguan seperti dulu. “Om nggak tahu masa depan kita bakal gimana. Tapi satu hal yang Om tahu…” Ia berhenti sebentar, lalu mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Riri perlahan. “Om udah nggak bisa pura-pura nggak peduli sama kamu.”

Riri meremas jemari Bastian balik, senyum kecil muncul di wajahnya. “Aku juga.”

"Kita jalanin semuanya pelan-pelan ya, Ri. kamu juga harus tahu Om ini orang seperti apa, sampai kamu seyakin ini."

"Aku akan terima baik buruknya Om, jadi gausah khawatir."

Bastian tersenyum menatap Riri, ia tak menyangka gadis itu tak main-main dengan perasaannya.

Ia mengusap lembut rambut panjang Riri. "Semoga kamu gak akan nyesel jatuh hati sama Om, Ri."

"Enggak Om, aku gak akan pernah nyesel."

Malam itu keduanya berpisah dengan hati yang sama-sama berdebar, mereka tahu jalan yang mereka lalui tidak akan mudah. Namun, setidaknya mereka memiliki satu sama lain untuk saling berpegang tangan.

___

Pagi itu, suasana rumah keluarga Raden terasa lebih hidup dari biasanya. Aroma roti panggang dan kopi memenuhi dapur, sementara Riri turun dari kamarnya dengan langkah ringan dan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.

Rahayu yang sedang menuang teh langsung memperhatikan perubahan drastis pada putrinya.

“Lho… ini anak kenapa?” gumamnya pelan sambil melirik ke arah Raden.

Raden menurunkan koran yang sedari tadi ia baca, menatap Riri dari ujung kaki sampai kepala. “Tumben pagi-pagi senyum terus, Ri. Dapat bonus ya kamu? Menang undian? Atau… ada yang nembak?” godanya.

Riri cepat-cepat menarik kursi dan duduk. “Papa bisa aja deh. Orang aku emang lagi good mood aja hari ini.”

Rahayu mengernyit curiga. “Good mood? Aneh banget. Biasanya kamu kalau pagi-pagi mukanya kayak yang baru dimarahi bos setiap hari. Ini kenapa kayak orang habis dapat THR?”

Riri hanya tertawa kecil, menahan rasa bahagia yang masih menumpuk dalam dadanya. “Mamaaa… nggak boleh curiga mulu dong. Masa anaknya bahagia dibilang aneh.”

Raden ikut terkekeh. “Papa malah senang lihat kamu kayak gini. Tapi Papa jadi penasaran juga. Jangan-jangan ada cowok nih yang bikin kamu senyum-senyum sendiri?”

“Papa!” seru Riri sambil mencubit lengan ayahnya pelan. “Nggak ada siapa-siapa kok.”

Rahayu menyodorkan segelas teh. “Hmm… Mama nggak percaya. Senyum kamu itu senyum orang jatuh cinta, Ri.”

Riri tersedak sedikit karena terlalu cepat meneguk tehnya. “Ma… Mama ngomong apa sih…” katanya gugup, pipinya mulai memerah tanpa bisa ia kendalikan.

1
Grindelwald1
Wah, mantap!
Galuh Dwi Fatimah: terimakasih!!
total 1 replies
Niki Fujoshi
Capek tapi puas baca cerita ini, thor! Terima kasih sudah membuatku senang.
Galuh Dwi Fatimah: Terimakasih kak, semoga harimu selalu menyenangkan
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!