Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Zona terlarang
Cahaya matahari pertama masuk menembus tirai kamar Rose, mengusir sedikit hawa dingin pagi di Pallazo Delle spose. Ia bangkit perlahan, duduk di tepi ranjang sambil merapikan rambut.
Namun, sesuatu di luar jendela menarik perhatiannya.
Di atas bangunan yang terletak di ujung taman barat__bangunan yang para pelayan sebut sebagai zona terlarang__berdiri seorang pria. Siluet tubuhnya tegap\, bahunya lebar\, dan cara ia memandang ke kejauhan begitu mengingatkan Rose pada sosok aneh yang pernah menolongnya… di malam gelap ketika ia hampir ditangkap orang suruhan Lucas dan orang tuanya.
Pria itu berdiri diam, lalu berbalik dan menghilang di balik pintu atap bangunan.
Rose meraih jubah tipisnya, keluar kamar, dan berjalan-jalan di taman dengan alasan “ingin menghirup udara pagi”. Pandangannya terus tertuju pada bangunan itu. Tidak ada jendela di lantai bawah, hanya dinding putih tinggi dan pintu besi kokoh. Tapi di sisi belakang, ia melihat celah sempit di antara pagar dan tembok__cukup untuk seseorang yang ramping merayap masuk.
Ia tersenyum tipis, “Mungkin ini jalannya”.
**
Tidak ada kata menyerah dalam kamus Rose, ia pun melakukan apa yang pikirannya perintahkan.
“Uuhhh!” lenguhnya, dengan susah payah memaksakan tubuh langsingnya masuk melewati celah.
Mata bulat mencari arah. Ujung kiri terlihat danau dan taman tanpa bunga, kanan ada Lorong kecil dan pendek. Rasa penasaran terus mendorongnya menjelajahi tempat asing itu. Rose pun memasuki Lorong kecil sambil berjalan jongkok.
Hatinya berdegup kencang, ruangan itu gelap padahal langit diluar sangat cerah.
"Akhirnya… masuk juga."
Namun begitu kakinya menapaki lantai dalam, bau menusuk hidung membuatnya berhenti. Bukan bau parfum pria atau lembaran buku tua__ini bau amis bercampur bau tanah basah. Alih-alih mundur, Rose justru meneruskan langkahnya. Sebelum sempat bereaksi, suara geraman rendah menyambar telinganya.
Dari kegelapan, dua mata kuning menyala. Lalu… muncullah seekor anjing raksasa__atau entah apa itu, bulu hitam kusut, taring panjang, dan moncong lebar seperti binatang buas dari legenda.
Rose membeku. “Ya Tuhan, ini bukan ruangan rahasia. Ini… kandang monster!”
Anjing itu melompat. Rose menjerit, berbalik, dan lari secepat kakinya mampu. Nafasnya memburu, darahnya berpacu. Anjing itu mengejar, suara cakarnya menghantam lantai seperti pukulan palu.
Ia membelok, hampir tergelincir, lalu menemukan satu-satunya jalan keluar. Sebuah pagar taman tinggi yang dipenuhi tanaman mawar.
Tanpa pikir panjang, Rose memanjat. Duri mawar mencabik kulitnya, gaunnya tersangkut di kawat, tapi ia terus memaksa.
Begitu kakinya menjejak tanah di sisi lain, ia jatuh tersungkur, napas tersengal, tubuh penuh luka. Anjing itu masih menggonggong di balik pagar, tapi tak bisa melewati. Rose menatapnya sambil terengah. “Dasar… monster berbulu…” dumelnya, merapikan kain penutup tubuh, yang compang camping.
Rose segera Kembali untuk membersihkan diri. Bau ruangan tadi, masih menghuni hidungnya, benar-benar membuat mual. Para pelayan yang melihat Rose kembali ke kamar hampir menjerit.
Rambutnya berantakan, pipinya tergores, gaunnya robek di banyak tempat. Mereka mengerubunginya, mencoba membersihkan luka dan memperbaiki pakaiannya.
“Nyonya apa yang terjadi?” Elano terbelalak.
“Apa ada monster di Pallazo? Ya Tuhan…” Dimitri segera mengambil gaun yang lain untuk pengganti.
Tapi Rose? Ia hanya duduk diam, matanya menerawang ke arah bangunan hitam itu. Luka-luka di tubuhnya tidak mengalahkan satu hal yang kini membara di pikirannya.
"Kalau pintu samping isinya kandang anjing monster… berarti pintu yang benar ada di sisi lain. Dan aku… akan menemukannya."
Melihat kondisi nyonyanya Rose, Dimitri segera melaporkan hal ini pada tuan Hose, agar para istri yang lain lebih berhati-hati, dan jangan jalan-jalan di taman dulu, sebelum para pemburu menemukan monsternya.
**
Pallazzo Delle Spose – Ruang Makan Utama
Lampu gantung kristal menjuntai dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke permukaan meja panjang yang penuh hidangan. Mawar putih segar tertata di vas-vas perak, namun suasana hangat makan malam itu terasa aneh.
Rose duduk di kursi ujung, menahan perih di kulitnya yang masih penuh goresan akibat lolos dari sergapan monster sore tadi. Dua pelayan setianya__Zelda, dan Elano, berdiri di belakangnya, wajah mereka muram melihat kondisi tuannya.
Bisikan-bisikan mulai terdengar dari barisan kursi di sebelah kiri.
"Aku melihatnya dari balkon… anjing itu besar sekali, matanya merah."
"Itu bukan anjing… katanya itu hasil eksperimen di Bianco Reale."
"Ssst! Jangan sebut nama itu terlalu keras."
Beberapa istri langsung merapatkan duduknya, tatapan mereka dipenuhi ketakutan. Ada yang berani bicara, ada yang hanya menunduk, seakan sekadar menyebut Bianco Reale bisa memanggil bahaya.
"Setiap minggu, ada lima istri yang hilang tanpa pamit," bisik seorang istri bergaun biru pucat di seberang meja. "Mereka dibawa ke sana. Dan tidak pernah kembali."
Rose berhenti mengunyah. Matanya tajam menatap lawan bicaranya.
"Ke… Bianco Reale?" tanyanya pelan, seolah ingin memastikan.
Tak ada yang menjawab. Hanya Valentina__satu-satunya istri yang mengaku pernah tidur dengan Lucas Morreti, yang tersenyum tipis sambil mengaduk supnya.
"Aku sudah bilang, kalian semua hanya istri di atas kertas. Dia bahkan tak mau melihat wajah kalian… kecuali dia menginginkannya," ucapnya datar, tapi dengan nada yang menusuk.
Ruangan mendadak hening. Hanya suara sendok yang beradu dengan mangkuk yang terdengar.
Rose menunduk, mempercepat makannya. Sementara istri-istri lain tenggelam dalam ketakutan dan gosip, isi kepala Rose justru penuh rencana. Ia harus masuk ke Bianco Reale. Malam ini.
Bersambung!