Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.
Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya
Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?
p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruelle - War Of Hearts
"Alasanku? Karena kau sedang sakit, Lin. Kau membutuhkan seseorang di sisimu. Aku melihatmu seperti ini, dan aku tidak bisa hanya diam. Terlepas dari apa pun yang kau ingat atau tidak, kau sedang dalam pemulihan, dan aku harus ada di sini.”
Pratama memperdalam suara tanpa disadarinya, “Aku tidak akan menyerah sampai kau menemukan kejelasan dalam hidupmu yang baru. Lin yang dulu kukenal, walaupun berubah banyak, tidak menjadi alasan bahwa aku bisa meninggalkannya saat sakit."
Caroline menatap Pratama, sorot matanya yang masih penuh gejolak kini sedikit meredup. Kata-kata Pratama, yang tulus dan tanpa pretensi romantis berlebihan, perlahan meresap ke dalam benaknya. Ini bukan tentang cinta yang tidak dikenalnya, melainkan tentang kepedulian mendalam dan rasa tanggung jawab.
Dia tidak bisa lagi membantah ketulusan di mata Pratama, pria yang rela terjaga di sisinya di tengah malam hanya untuk menenangkan kegelisahannya.
"Terima kasih..” Caroline memulai, suaranya pelan dan serak.
Pratama tersenyum lembut, senyum yang mencapai matanya dan menenangkan. Dia mengangkat tangannya, mengusap bekas merah samar di tangan perempuan di depannya. "En."
Caroline menunduk, menatap jemarinya yang masih digenggam erat oleh Pratama. Jemari Pratama terasa hangat dan kuat, sebuah jangkar di tengah badai kebingungannya.
Ia menyadari cincin di jari manis pasangannya. “Berapa tahun pernikahan kita?”
Lelaki itu menoleh ke belakang dan maju. Mengacak rambut istrinya. “Lima tahun. Dulu kau yang selalu mengoceh jika aku lupa.”
Pram tidak menyangka bahwa perempuan yang dulu sampai sengaja mengunci pintu kerjanya hanya agar membawakan kue krim keju manis untuk merayakan hari jadi mereka, menjadi orang yang sama untuk menanyakan berapa lama mereka menikah.
Lima tahun. Sudah lama.
Cincin di jari manisnya sendiri terasa dingin, menjadi satu-satunya saksi bisu dari ikatan yang kini terputus dalam ingatan Caroline. Dia menyadari Caroline tidak mengenakan cincin pernikahannya, dia memang tidak suka menggenakan cincin. Sering hilang, katanya.
Malam masih larut, kegelapan di luar jendela terasa seperti selimut tebal yang menutupi kebingungan Caroline. Pratama tahu, tidak ada gunanya memaksakan informasi. Caroline butuh istirahat, dan yang terpenting, dia butuh merasa aman.
"Berbaringlah," Pratama berkata lembut, suaranya seperti bisikan menenangkan. Dia bergeser lebih dekat, menarik selimut hingga menutupi bahu Caroline. "Aku tetap menyalakan lampu tidur."
Tanpa diketahui Caroline, Pram yang sebenarnya membenci lampu menyala saat hendak tidur sudah mengalah lagi. Demi menenangkannya dan mencegah mimpi buruk itu terulang lagi.
Pram merebahkan diri di sampingnya, menghadap Caroline. Bibirnya agak berkedut, di belakang punggung wanita itu lengannya naik dan turun tiga kali. Tidak yakin apakah harus melakukan tindakan berikutnya.
Coba dulu, pikirnya.
Tangannya terangkat, dengan ritme yang lambat dan menenangkan, dia mulai menepuk-nepuk punggung istrinya. Caroline merasakan tepukan itu dan merasa sedikit tak asing, rasanya ada yang pernah melakukan hal sama. Tetapi sepengalamannya, sentuhan yang dulu selalu ia rasakan hanya dorongan nafsu belaka.
"Tidurlah, Lin,"
Caroline tiba-tiba lupa apa yang sedang ia pikirkan.
Suara lembut Pratama, kehangatan tangannya, dan irama tepukan mulai bekerja. Perlahan, napasnya mulai teratur. Dia memejamkan mata yang agak memberat, saat lelaki itu menepuk bahunya untuk waktu lama. Dia merasa aman.
Pratama menatap wajah istrinya yang damai dalam tidur. Hatinya perih, namun juga dipenuhi harapan. Dia tahu perjalanan ini akan panjang dan sulit. Tapi dia juga tahu bahwa kecelakaan ini juga tidak luput dari kesalahannya sendiri.
Dia mendorongnya untuk melompat dari jurang, dan dia sekarang harus mencarinya lagi. Di antara pepohonan dan bebatuan.
Pratama memejamkan mata, membiarkan ingatannya melayang kembali ke pertemuan pertama mereka, di sebuah rumah. Bukan di kamar tidur yang nyaman ini, melainkan di ruang tamu yang terasa begitu formal saat itu.
***
Hari itu, suhu di ruang tamu lebih dingin dari biasanya. Di depan dan sampingnya ada berbagai bingkai, menampilkan anggota keluarga wanita yang akan ia lamar. Dia belum tahu siapa yang akan ia jadikan pasangan hidup, ia hanya tahu bahwa ada prasyarat antara benefit bagi mereka. Simbiolis mutualisme.
Kemudian ia memperhatikan mimik kedua orang paruh baya di depannya. Kerutan kening Pak Ming dan lingkaran mata Bu Lien. Mereka berdua duduk kaku di sofa ganda. Di belakangnya ada tirai. Pram merasa tidak hanya empat mata yang menilainya, melainkan sekitar sepuluh mata. Calon mertua, calon wanita dan calon adiknya.
Punggungnya tegak lurus, di sebelahnya ada orang tuanya. Bertukar beberapa patah kata untuk menjalin keakraban. Lebih tepatnya, meminta agar dipertemukan dengan calon menantunya.
Sebelumnya Pram memang sudah bertukar beberapa hal bersama calon mertuanya. Semoga ia tidak salah kata sama sekali.
Beberapa menit kemudian Bu Lien berdiri. Masih segar benaknya bagaimana Caroline masuk dengan tatapan musuh. Wanita itu agak garang, tapi juga berwibawa di saat sama. Pandangannya kemudian tidak terfokus lagi, Pram rasa ia tidak suka berkontak mata. Rambutnya tersanggul rapi, wajahnya diberi riasan tipis, namun ada kelelahan yang nyata di sana.
Dia terlihat seperti seorang pejuang yang baru saja menyerah, namun masih memegang martabatnya erat-erat.
Pratama masih ingat dengan jelas bagaimana jantungnya berdebar, bukan karena cinta pada pandangan pertama, melainkan karena tanggung jawab besar yang akan dia pikul. Dia, Pratama Aksa Dananjaya, pengusaha yang melanjutkan pabrik keluarganya, akan mengajukan lamaran pernikahan kepada Caroline Kirana Adiwidya, seorang peneliti bahan alam yang berbakat, atas dasar kontrak.
"Nona Caroline," Pratama memulai, suaranya terasa asing di telinganya sendiri, terlalu formal. "Saya Pratama Aksa Dananjaya. Anda mungkin sudah tahu tujuan pertemuan ini."
Caroline hanya mengangguk pelan, tanpa suara.
"Saya melamar Anda untuk menjadi istri saya," Pratama melanjutkan, nada suaranya datar dan profesional. Tapi jari kakinya mengkerut dalam kaus kaki. "Namun, saya harus menegaskannya, perusahaan saya membutuhkan stabilitas, dan saya membutuhkan seorang pendamping yang bisa memahami dunia saya, memiliki kapasitas intelektual, dan integritas moral."
Dia rasa, pilihan orang tuanya kali ini sudah tepat.
Dia menjelaskan detailnya. pernikahan berlangsung tanpa periode waktu. Tidak ada penceraian jika salah satu tidak mengajukan gugatan. Masing-masing memiliki kebebasan dalam ranah pribadi mereka, ada kompensasi finansial yang akan menjamin kehidupan Caroline.
Dia melihat Caroline mengangkat dagunya sedikit, tatapan matanya yang tadi datar kini menunjukkan secercah rasa ingin tahu, atau mungkin keterkejutan.
"Saya mengerti."
"Sebuah perjanjian kerja sama dalam bentuk pernikahan, bukan?" Ada nada sinis tipis yang tidak luput dari pendengaran Pratama, namun dia memilih mengabaikannya. Caroline bertanya lagi, "Apa jaminannya bahwa Anda tidak akan mencampuri urusan pribadi saya lebih dari yang tertulis dalam kontrak? Maksudku, ini hanya selembar kertas yang bisa disalahpahami dan dirobek."
Pertanyaan itu membuat Pratama terdiam sejenak. Dia melihat ketidakpercayaan dan mungkin sedikit keputusasaan di mata Caroline. Wanita di depannya ini pasti sudah melalui banyak hal.
"Jaminan saya," Pratama menjawab, suaranya kini lebih dalam dan serius, "adalah kata-kata saya. Saya tidak akan melamar untuk merebut kebebasan orang. Meskipun ini kontrak, saya bertanggung jawab penuh sebagai seorang suami di rumah tetapi rekan kerja di luar. Suami yang tidak dalam tanda kutib, patriarki dan penuntut."
Dia menjeda, menatap langsung ke wajah Caroline. Gadis itu masih tidak menatapnya, dia malah memperhatikan jari kakinya yang mengkerut. Pram agak malu karena rasanya perempuan itu menangkap kegugupannya.
"Ini mungkin dimulai sebagai kesepakatan, Nona Caroline. Tapi saya tidak akan bermain-main dengan ikatan pernikahan. Bukan sekadar rekan kontrak, melainkan seorang pendamping yang bisa dipercaya, dan yang bisa percaya pada Saya. Kuharap apa yang Saya pikirkan sekarang, sama dengan Anda."
Pram tahu bahwa keluarga calon mempelainya memang terjepit. Tetapi dia tidak menggubrisnya. Anggap saja sebagai pelicin lamarannya. Sekarang dia hanya perlu keputusan final dari wanita bersanggul di depannya.
Ya atau Tidak.
Caroline saat itu hanya menatapnya lama, seolah menimbang setiap kata Pratama. Ada keraguan, namun juga sebuah penerimaan yang samar. Pada akhirnya, dia mengangguk.
"Baiklah, Saya bersedia."
Kata final itu sudah terucap, bersamaan dengan mereka berdua yang melakukan cap jari di atas prangko. Disaksikan orang tua masing-masing. Di rumah keluarga Caroline.
Sejak hari itu, apa yang dimulai sebagai kontrak, perlahan tapi pasti, berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam. Sebuah ikatan yang Pratama tidak pernah duga akan begitu berharga baginya. Saking berharganya sampai ia seperti anak kecil yang menolak melepaskan burung peliharaannya sebelum dia mati dalam sangkar.
Kini, melihat Caroline yang melupakan semua itu, hatinya dipenuhi tekad. Dia akan membangun kembali semua dari awal jika perlu.
Pram tidak peduli dengan akhirnya apakah Caroline akan mau dengannya atau tidak. Percaya atau tidak dengannya. Dia yang dulu tidak akan melepaskan dan mengikatnya secara tidak langsung, namun sekarang dia hanya akan menerimanya.
Kecelakaan itu sudah lebih dari cukup. Dia hanya mau itu terjadi sekali saja. Tidak ada pengulangan.