Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21. GELAGAPAN
Pagi itu merangkak masuk perlahan, membawa cahaya lembut yang menembus tirai tipis di kamar Evan. Tirai berwarna abu-abu keperakan itu tak mampu menahan seluruh sinar matahari, membiarkannya menari di lantai kayu, menciptakan bayang-bayang yang bergerak lembut seiring tiupan angin dari jendela yang sedikit terbuka. Aroma khas pagi bercampur dengan sisa alkohol yang samar-samar masih tercium, jejak pesta kecil semalam yang meninggalkan kekacauan di ruang tengah.
Namun semua itu tak terlalu diperhatikan Evan.
Ia baru saja terbangun, matanya masih berat akibat mabuk semalam, dan pikirannya pun masih kabur. Ia hanya ingat sorak tawa Deren, Clara yang menepuk bahu Evan sambil menggoda, dan Lucia yang duduk di antara mereka, sesekali ikut tertawa kecil, matanya berbinar meski ada guratan lelah. Pertandingan minum bir dengan Deren adalah hal terakhir yang benar-benar terekam dalam kepalanya. Evan kalah telak, tentu saja, dan setelah itu semua menjadi buram.
Tapi yang kini membuat jantungnya berdetak cepat bukanlah ingatan kabur itu.
Evan mendapati dirinya tidak sendirian.
Lucia ada di pelukannya.
Sejenak, Evan mengira ia masih bermimpi. Mimpi yang selama bertahun-tahun datang menyiksanya: mimpi tentang Lucia, tentang senyum lembutnya, tentang kedekatan yang tak pernah bisa ia raih di dunia nyata. Namun begitu ia menoleh, begitu ia merasakan rambut hitam Lucia yang lembut menyentuh kulitnya, begitu ia mendengar napas teratur gadis itu ... Evan tahu ini bukan mimpi.
Tubuh Lucia hangat, begitu nyata.
Kepalanya bersandar di lengan Evan, jemari mungilnya menggenggam ujung kaus pria itu, seolah enggan melepas. Napasnya mengalir pelan, mengembus di dada Evan, membuat detak jantung pria itu semakin kacau.
"Lucia ...," gumam Evan nyaris tanpa suara.
Ia menatap wajah Lucia yang damai dalam tidur, dan hatinya berdebar kencang. Betapa indahnya gadis itu. Bahkan tanpa senyum, tanpa kata-kata, hanya dengan tidur seperti ini, ia mampu membuat dunia Evan runtuh dan kembali terbentuk hanya dengan satu pusat: dirinya.
Rasanya terlalu indah untuk nyata.
Jemari Evan bergetar ketika ia mengangkat tangan, nyaris ragu. Ia menyentuh pipi Lucia dengan hati-hati, seolah takut sentuhan itu akan membangunkan sang gadis atau menghapus ilusi indah ini. Namun pipi itu hangat, nyata, lembut di bawah sentuhannya.
Seketika wajah Evan memanas. Ingatan samar semalam mulai kembali. Ia mabuk, dan setelah itu ... kosong. Apa mungkin ia yang melakukan ini? Apa mungkin ia yang menarik Lucia hingga mereka berakhir di ranjang yang sama?
"Ya Tuhan." Evan menutup wajah dengan tangan satunya, setengah malu, setengah panik.
Namun di sisi lain, ada rasa egois yang tak bisa ia kendalikan. Ia ingin momen ini bertahan. Ia ingin terus merasakan kedekatan ini, meski hanya sebentar.
Ia memandangi Lucia lama sekali, menyerap setiap detail: bulu mata yang melengkung sempurna, kulit pucat yang tampak begitu halus, bibir mungil yang sedikit terbuka. Semuanya membuat Evan terjebak dalam rasa yang menyesakkan dada.
Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.
Lucia bergerak sedikit, tubuhnya bergeser. Evan menahan napas, matanya membelalak ketika mata cokelat itu perlahan terbuka. Cahaya pagi menyinari wajahnya, membuatnya tampak semakin lembut dan rapuh.
"Hmm ...," gumam Lucia pelan, sebelum akhirnya matanya terbuka penuh.
"Morning, Love," sapa Evan lembut ketika melihat netra Lucia perlahan terbuka, mengeluarkan sang wanita dari dunia mimpi yang panjang.
Begitu kesadaran kembali padanya, Lucia mendapati dirinya berada dalam pelukan Evan. Wajahnya seketika memerah.
"E-Evan?!" serunya, terkejut setengah mati.
Evan buru-buru melepas pelukan, ikut duduk dengan wajah yang sama merahnya. "Aku ... aku tidak tahu kenapa bisa begini."
Lucia bangkit setengah, merapikan rambutnya dengan panik. "Aku juga tidak tahu. Semalam ... aku hanya membantumu ke kamar karena kau mabuk."
Evan menatapnya penuh rasa bersalah. "Lalu?" tanyanya.
Lucia menghela napas panjang, lalu menatap Evan dengan ekspresi campuran antara kesal dan pasrah. "Lalu kau menarikku. Dan kau tidak mau melepaskan. Aku mencoba, tapi kau malah memeluk semakin erat."
Evan menutup wajah dengan kedua tangan, benar-benar malu. "Oh God, i'm so sorry, Love. Aku benar-benar ... maaf. Aku tidak bermaksud."
Lucia menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. "Tidak apa. Kau mabuk. Aku tahu kau tidak sadar."
Jawaban sederhana itu membuat dada Evan terasa lega sekaligus semakin kacau.
Lalu, tanpa diduga, Lucia tertawa kecil.
"Kau harus lihat wajahmu sekarang," katanya sambil menahan senyum. "Seperti anak kecil ketahuan nakal."
Evan menoleh, matanya melebar. "Hei, jangan menertawakanku. Dan aku bukan anak kecil," protes Evan.
Lucia justru tertawa makin keras. Suaranya ringan, jernih, membuat ruangan yang tadi canggung berubah hangat. Ini pertama kalinya Lucia melihat Evan seperti ini. Benar-benar jauh dari image Evan yang penuh wibawa.
"Aku serius, Love! Aku benar-benar tidak bermaksud-"
"Aku tahu," sela Lucia, masih dengan senyum di bibirnya. "Tapi tetap saja, melihatmu panik seperti ini ... rasanya lucu."
Evan akhirnya tak bisa menahan diri. Ia ikut tertawa, meski wajahnya masih memerah. "Ya Tuhan, ini memalukan. Seharusnya kau melihat sisi kerenku saja."
Lucia menggeleng, matanya berkilat dan kembali tertawa kecil. "Tidak, ini menyenangkan."
Keheningan kembali turun, tapi kali ini bukan canggung. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lembut dan hangat.
Evan menatap Lucia lama sekali. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak ada dinding yang memisahkan mereka. Tidak ada lagi jarak yang membeku di antara dua hati. Ia bahkan kini melihat Lucia tersenyum dan tertawa secara alami.
Ia meraih tangan Lucia, menggenggamnya perlahan. Gadis itu sempat terkejut, namun tidak menarik tangannya.
"Lucy," suara Evan nyaris berbisik, "izinkan aku berada di sisimu lagi seperti dulu. Tidak ... bahkan lebih baik dari dulu. Apa pun yang terjadi. Bisakah kita kembali bersama?"
Lucia menatap Evan, bibirnya bergetar, lalu tersenyum lembut dan mengangguk.
Senyum lebar merekah di wajah Evan, dan segera ia menarik Lucia ke dalam pelukannya lalu berkata, "Aku berjanji tidak akan pernah menyakitimu. Tidak akan pernah aku melepaskanmu lagi. Kau duniaku, baik dulu, sekarang, bahkan di masa depan."
Lucia membalas pelukan Evan. Seperti yang Clara katakan, Lucia ingin membuka hati lagi untuk pria lain. Lagi pula Lucia tidak mau menjadi orang bodoh yang menyia-nyiakan pria setulus Evan. Pria yang mencintai Lucia bahkan ketika Lucia tidak tahu hal itu selama. Bertahun-tahun.
Pagi itu berlanjut dengan tawa kecil di antara mereka. Evan, masih malu tapi bahagia, membuatkan kopi untuk mereka berdua. Aroma pahit itu memenuhi ruangan, bercampur dengan sisa dingin pagi.
Mereka duduk berdampingan di balkon penthouse, memandangi langit biru yang mulai cerah. Evan sesekali mencuri pandang, memerhatikan cara Lucia meniup cangkir kopinya, atau cara gadis itu menghela napas panjang sambil menutup mata menikmati angin.
Mereka berbicara ringan: tentang pesta semalam, tentang Clara dan Deren, tentang hal-hal kecil yang dulu pernah mereka bagi saat kuliah. Obrolan itu diselingi tawa, kehangatan yang seolah menghapus tahun-tahun jarak di antara mereka.
Dan di setiap detik itu, Evan tahu, untuk pertama kalinya, ia merasakan tidak ada lagi dinding tak kasat mata.
Hanya ada ia, dan Lucia.
Hanya ada mereka berdua.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih