Bayang-Bayang yang Tidak Pergi adalah sebuah novel puitis dan eksistensial yang menggali luka antar generasi, kehancuran batin, dan keterasingan seorang perempuan serta anak-anak yang mewarisi ingatan dan tubuh yang tidak pernah diminta.
Novel ini terbagi dalam tiga bagian yang saling mencerminkan satu sama lain:
Bagian Pertama, Orang yang Hilang, mengisahkan seorang perempuan yang meninggalkan keluarganya setelah adik perempuannya bunuh diri. Narasi penuh luka ini menjelma menjadi refleksi tentang tubuh, keluarga, dan dunia yang ia anggap kejam. Ia menikahi seorang pria tanpa cinta, dan hidup dalam rumah penuh keheningan, sambil mengumpulkan kembali kepingan-kepingan jiwanya yang sudah dibakar sejak kecil.
Bagian Kedua, Bunga Mawar, Kenanga dan Ibu, melanjutkan suara narator laki-laki—kemungkinan anak dari tokoh pertama—yang menjalani rumah tangga bersama seorang istri polos, namun hidup dalam bayangan cinta masa lalu dan sosok ibu yang asing. Kenangan, perselingkuhan, dan percakap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang yang pergi
Cara pemilik apartemen memandangku, aku tahu, dia menyukai tubuhku, tanpa mengetahui lebih dalam dari apa yang tampak di luar. Memang benar, laki-laki menyukai keindahan dan apalagi seorang wanita. Tapi aku tahu, itu mungkin hanya sebatas suka yang dangkal.
Aku katakan, aku tidak layak menerimanya dan tidak merasa ingin di terima. Aku adalah sisa-sisa harapan, kesucian dan kehidupan yang terhormat yang digunakan melewati batas norma-norma dan menjadi seperti ini. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu atau mengubah masa depan. Jejak-jejak kehancuran akan terus tumbuh dan bermekaran dalam tubuhku. Memilih tidak membenci dan menerimanya begitu saja, layaknya pohon yang terus menerima hujan dalam diam.
Aku tidak seperti pohon yang suci, jadi menyamankannya terasa merendahkan pohon itu sendiri.
Kembali ke tempatku. Suamiku tidak pulang. Sepertinya dia akan pergi lebih lama dan mungkin memulai kehidupan di dunia lain. Aku tidak perlu mengkhawatirkannya, karena dia juga tidak akan mengkhawatirkanku.
Malam turun dan dingin menghampiri. Rasa dingin membuatku merasa lebih hidup.
Di balkon, seorang wanita duduk dengan anggun, memakai rok putih susu bersih yang kontras dengan masa lalunya. Hanya diam, dan terus melakukannya. Dia hanya tahu, itulah yang bisa dilakukannya. Dan itu adalah aku.
Jauh di dalam, bunga sedap malam jauh lebih wangi, menghampiri hidungku seolah berkata, ‘saat malam tiba, wangiku jauh lebih kuat, sama dengan hidupmu.’
Ya, aku tahu itu dan kamu akan mati.
Aku melihat keluar. Bunga sedap malam di bawah tiang di sinari lampu jalan yang remang-remang. Meskipun demikian, bunga itu terlihat lebih indah dari bungaku yang hangat di dalam sini.
Kembali aku melihat toko bunga dan lampu di matikan. Pemiliknya keluar kemudian pergi.
Aku tidak punya apa pun dilakukan, jadi aku ingin tidur. Namun ketika aku berdiri, telepon berdering. Mengangkatnya, tiba-tiba angin berhembus. Aku terdiam dan menutupnya, lalu tidur, seolah tidak ada yang menelepon dan hanya mendengar embusan angin yang berbisik.
...****...
Membuka mata dan menghela nafas. Aku melakukan hal yang sama, namun suamiku ternyata sudah pulang. Dia sekarang duduk di samping kasur dan menghirup aroma kopi hangat yang baru di buatnya.
Aku tidak menyadarinya datang, aku tidak merasakan kehangatannya. Entahlah. Seperti tidur hanya memejamkan mata sebentar lalu membukanya.
Kami sarapan dengan cara dan menu yang sama. Suamiku tidak berkomentar dan sarapan kami hanya diisi kesunyian.
Dia lalu pergi kerja. Aku menulis sepanjang hari, tanpa tahu harus mengirimnya ke mana.
Di siang hari, hujan gerimis turun dan aku hanya memandangnya. Kulihat toko bunga, ternyata tutup. Tidak seperti biasa, tapi aku tidak berkomentar. Mungkin dia sibuk atau mungkin... Ada beberapa hal yang harus dilakukannya.
Sore harinya, hujan masih ada. Entah mengapa aku suka keluar menggunakan payung. Aku merasa nyaman ketika memegangnya dan kupikir aku merasa lebih percaya diri dan kuat bersamanya.
Hari ini, pria itu masih ada di sana, membuatku kesal saja. Sekarang, dia menulis sesuatu dengan ekspresi serius.
Aku lalu pergi dan mengunjungi sawah. Hari ini dua gadis itu berlarian menerbangkan layang-layangnya. Aku teringat adiku. Kami pernah bermain seperti itu, dengan tawa, tanpa beban, tanpa memikirkan hari esok.
Mereka sangat riang dan aku merasa ingin kembali ke masa lalu. Aku duduk sebentar. Beberapa saat layang-layangnya putus. Dua gadis itu sedih dan berusaha mengejarnya. Mengapa mengejar sesuatu yang putus? Lebih baik biarkan saja.
Kembali pulang dan hari berikutnya, toko itu belum juga bukan. Aku ingin berkunjung. Ada apa dengan pemilik toko? Sementara bunga sedang malam di dalam ruanganku semakin menunduk dan menyebarkan aromanya. Kupikir penjual bunga itu akan pergi.