Mora mendapatkan tawaran menarik untuk menggoda pria beristri. Jika berhasil bayaran sejumlah 100 juta akan ia dapatkan.
Tapi ternyata tawaran itu sangat tidak mudah untuk Mora laksanakan. Pria yang harus ia goda memiliki sikap yang dingin dan juga sangat setia dengan sang istri.
Lalu apakah Mora akan berhasil merebut pria dari istrinya? atau bahkan justru hubungan mereka semakin dekat karna pria tertarik pada Mora?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Madumanis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKS 5
*Universitas Swasta Daerah Kota Jakarta
Tangan Mora menatap sendu pada secarik kertas. Bukan karena tidak ada alasan melainkan kertas tersebut menandakan jika Mora benar-benar sudah sepakat atas tawaran aneh itu.
Menghela napas panjang sekali. Menyimpan kertas tersebut didalam tote bag miliknya. Lalu memilih untuk tetap diam duduk menunggu sahabatnya yang tengah memesankan minum untuknya.
Mulai siang ini Mora tidak akan tinggal di Kos sempitnya lagi. Karena sepakat akan tawaran aneh tersebut, maka Mora akan menerima fasilitas untuk tinggal di Apartemen.
“Aku ragu… apa mungkin berhasil memikat pria dingin itu?”
Awalnya memang Mora sempat yakin, baginya tugas itu akan mudah. Tapi setelah bertemu dengan Adam, seketika keyakinan itu tergantikan dengan ragu.
Sosok pria dingin. Tidak suka berkomunikasi dengan orang asing dan juga terkesan tidak mau perduli akan sekitarnya.
Atas sikap yang seperti itu tentu saja Mora kesulitan untuk memikatnya. Padahal kemarin Mora sudah menunjukkan sisi centilnya tapi tetap saja tidak bisa membuat Adam menoleh sedikit saja kearahnya.
“Pria setia, ya… sepertinya Tuan Adam adalah suami yang setia. Aduh, bagaimana caranya aku menyelesaikan tugas ini?”
Mora tiada henti terus memijat pelipisnya. Rasa sakit dikepalanya membuat tidak betah untuk melakukan berbagai hal lagi.
Yang ada didalam pikiran Mora hanyalah tugas aneh tersebut. Jika ia gagal, maka semua fasilitas bahkan seperti uang harus ia kembalikan.
“Astaga… sebenarnya, aku seakan terjebak saja sekarang,” gumam Mora pelan sekali.
Tepat pada saat itu Gita sahabat Mora datang menghampiri. Membawa dua cup jus jeruk yang sempat Mora minta tadi.
“Besok kau sudah mulai magang bukan?” tanya Gita dikala baru saja duduk disamping sahabatnya.
Tangan Mora mengambil cup jeruk tersebut. Menyeruputnya, barulah seluruh tenggorokannya bahkan sekujur tubuh terasa segar sekali.
“Ahhh, nikmat….” Mora menoleh kearah Gita yang mana masih menunggu jawabannya. “Iya. Untungnya uang semester terbayar tepat waktu. Jadi waktu magang tidak perlu tertunda lagi.”
Gita menunduk sebentar. “Cuma… aku heran, dimana kau mendapatkan uang sebanyak itu hanya bekerja sebagai barista saja? Itupun hanya bekerja seminggu bukan?”
Pertanyaan tersebut membuat Mora sedikit salah tingkah.
“Ibu… ya Ibu dapat rezeki tak terduga di kampung. Dan…. iya jadi uang itu aku gunakan untuk biaya kuliah saja.”
Cara Mora menjawab pertanyaan sangat mencurigakan bagi Gita. Tapi Gita tidak mau bertanya lebih jauh lagi, ia yakin jika terjadi sesuatu yang tidak benar pastinya sesuatu saat nanti Mora juga akan bercerita padanya.
Mora menghela napas pelan. Ini pertama kali dalam hidupnya menyembunyikan sesuatu hal besar dari Gita.
Hanya saja Mora merasa jika hal yang akan ia lakukan bukanlah sesuatu tindakan yang mudah dipahami oleh orang lain.
“Aku harus pergi ke Perusahaan dimana akan magang itu. Kau mau ikut?” tanya Mora sembari bangkit dari duduknya.
“Nggak deh, Ra. Aku juga harus ngerjain tugas, dan aku magang juga di Kantor Ayah jadi mah gampang aja.”
“Baiklah, aku pergi dulu ya, bye….” Mora berlalu pergi meninggalkan Gita seorang diri.
Meskipun berbagai hal seakan mendesaknya untuk segera diselesaikan, tapi Mora mencoba untuk lebih menganggap biasa saja.
Hal pertama kali yang harus ia hadapi tentang magangnya. Kalau sudah beres maka Mora akan cari cara lain untuk memikat Adam.
Menghentikan angkutan umum. Padahal sudah ada uang yang diberi sosok aneh itu, sangat cukup untuk naik gojek online atau bahkan taxi.
Tetap saja Mora masih terbiasa menaiki angkutan umum.
“Pelakor merakyat ini,” gumamnya pelan.
Sepanjang perjalanannya menuju Perusahaan yang ditunjukkan oleh Kampus, Mora menyempatkan mengirim uang melalui rekening mobile untuk sang Ibu.
“Pasti Ibu senang. Dengan uang itu Ibu bisa beli apapun yang dimau… uh, aku harus lebih semangat agar semua terasa lebih mudah.”
Pandangan mata Mora tertuju pada keramaian Kota Jakarta. Selama ini hidup di Kota Jakarta hanyalah angan saja bagi Mora untuk menikmati setiap mewahnya sudut Kota.
Mulai dari makanan elite atau bahkan hal-hal yang sering anak muda lakukan seusianya. Terbatasnya uang membuat Mora lebih menjadi mahasiswa yang lebih suka berdiam diri di Kos.
Kali ini bekerja sebagai pelakor harus membuat Mora lebih modren dalam segala hal. Entah dari segi tempat tinggal maupun cara makan dan gaya sehari-hari.
“Minggir, Pak,” Mora turun tepat didepan gedung Perusahaan.
Mengeluarkan jumlah uang lalu memberikannya pada supir. Pandangan mata Mora mendongak menatap gedung yang menjulang tinggi tersebut.
“Ayo, Mora. Kau pasti bisa,” Tangan Mora memegang erat tote bag miliknya.
Langkahnya yang penuh ragu tetap saja maju. Seolah tidak ada celah untuk mundur, Mora harus menghadapi agar segera lulus lalu bekerja sebaik-baiknya.
Jadi andai ia tidak bisa berhasil memikat suami orang, maka Mora sudah mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik untuk ajang ganti rugi.
“Kau mahasiswa yang mau magang?” tanya Resepsionis kepada Mora.
Dari tatapannya sama sekali tidak ramah. Sangat sinis, seperti Mora sampah saja. Tapi ia mengabaikan saja, mencoba untuk tetap berdiri tegak penuh rasa percaya diri.
“Sebenarnya kami tidak mau menerima mahasiswa magang lagi. Merepotkan saja,” katanya.
“Tapi saya ditunjuk oleh Kampus, Mbak. Bukan asal menunjuk diri sendiri disini, Kampus yang membawa nama saya menuju Perusahaan ini,” perjelas Mora dengan penuh penekanan.
Resepsionis tersebut meliriknya sinis. “Ngeyel. Anak jaman sekarang kalau dinasehati selalu aja begitu,” sindirnya.
Mora geram sekali. Rasanya ia sangat ingin menarik mulut tipis wanita dihadapannya, lalu mengucir sekuat tenaga.
“Tunggu disana. Saya harus membicarakan dulu bersama Tuan Asher,” ucap Resepsionis tersebut yang mana langsung berlalu pergi.
Mora hanya menghela napas pelan. Hari ini Mora tidak dapat menghitung sudah berapa kali terus saja menghela napas karena semua hal berat dalam hidupnya.
Tepat pada saat Mora berbalik badan sosok yang sangat tidak asing baginya lewat begitu saja dihadapannya.
“Tuan Adam?” beonya.
Mora benar-benar tidak menyangka. Berulang-ulang kali ia menyadarkan matanya, apakah salah lihat atau tidak.
Tapi tetap saja Mora melihat hal yang sama.
“Jadi Perusahaan ini milik Tuan Adam?”
Seketika dengan gerakan cepat Mora langsung bersembunyi dibalik pohon hias. Ia memegang jantungnya yang berdebar kencang.
Terus saja menggigit bibirnya. “Aduhhh gawat. Kenapa dia si yang jadi pemimpin disini? Bisa gawat iya…..”