Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Keraguan
Ivy menarik napas, lalu mengangguk. "Aku memang bertemu dengannya. Tapi bukan di belakang suamiku. Aku bilang secara langsung kepada Noah sebelum pergi."
Mentari menoleh tajam ke arah Noah. "Kamu tahu?"
Noah tersenyum tipis. "Tentu saja. Ivy selalu jujur padaku."
"Tapi kamu melihat videonya, kan? Mereka tampak ... terlalu dekat!" Mentari berusaha menyulut bara.
Ivy melangkah maju. Suaranya tenang, tetapi setiap kata yang terucap tajam dan menghunjam.
"Aku menemui Jimmy untuk menyelesaikan piutang pengobatan ibu. Jimmy pernah membantu dan aku ingin melunasinya. Nggak lebih."
"Lalu kenapa kamu menyembunyikannya dari semua orang?!" tuduh Mentari.
"Aku tidak perlu menjelaskan pada orang yang sejak awal tidak pernah menganggapku pantas untuk Noah," jawab Ivy tegas.
"Aku hanya menjelaskan pada orang yang mempercayaiku." Ivy melirik Noah sambil tersenyum lembut.
Noah menatap istrinya dengan bangga. Dia lalu menarik Ivy ke dalam pelukan, mengecup keningnya.
"Aku bangga padamu," kata Noah pelan, tetapi cukup keras untuk didengar Mentari.
"Kalian ... kalian sungguh tak tahu malu!" bentak Mentari. "Setelah semua ini ... kalian masih bisa berpura-pura bahagia?!"
Noah melepaskan pelukan Ivy, lalu menatap ibunya lurus-lurus. "Tidak ada yang berpura-pura. Kami bahagia. Karena aku memilih sendiri siapa yang ingin kucintai. Dan aku mencintai Ivy bukan karena ambisi, bukan karena paksaan, tapi karena dia mengajarkanku tentang arti ketulusan. Sesuatu yang kamu dan Gendis lupakan."
Rahang Mentari mengeras, dan sebuah tamparan mendarat di pipi Noah. Namun, Noah tak bergerak sedikit pun. Hanya sorot matanya yang berubah menjadi lebih dingin.
"Keluar dari ruanganku, Ma. Sebelum aku kehilangan semua rasa hormat yang tersisa."
Mentari menggigit bibirnya. Tangannya gemetar menahan emosi. Akan tetapi dia tahu, dia kalah hari ini. Bukan hanya kalah argumen, tetapi kalah secara menyeluruh.
"Suatu hari kamu akan menyesal," desis Mentari lirih.
"Tidak akan, Ma. Justru yang akan menyesal adalah orang-orang yang mencoba menghancurkan kebahagiaan orang lain demi kepuasan pribadi," ucap Noah dingin.
Mentari membalikkan badan dan melangkah keluar ruangan dengan langkah cepat. Pintu tertutup keras di belakangnya. Keheningan menyelimuti ruangan.
Ivy menatap Noah, penuh kecemasan. "Kamu nggak benar-benar percaya video itu, kan?"
Noah tersenyum, lalu menyentuh pipi Ivy. Dia tersenyum lembut. Sebuah kecupan hangat penuh cinta kembali mendarat di kening Ivy.
"Kalau aku tidak percaya padamu, aku nggak akan membelamu seperti tadi. Aku tahu siapa kamu, Vy. Aku tahu betapa kerasnya kamu berjuang demi ibu, demi kita. Aku mencintaimu. Dan aku percaya sama kamu."
Ivy menunduk, air matanya menetes di tangan Noah. "Terima kasih, Noah karena sudah percaya kepadaku. Aku akan melakukan hal yang sama. Mari kita jalani semua dengan keyakinan mulai sekarang. Jangan pernah meragukan satu sama lain, ya?"
Tanpa berkata-kata, Noah menarik Ivy ke pelukannya. Tak ada lagi ruang untuk keraguan di antara mereka. Yang tersisa hanyalah cinta yang teruji, dan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Sementara itu di luar gedung, Mentari duduk di dalam mobilnya dengan napas terengah. Tangan yang memegang ponsel gemetar hebat. Video Ivy dan Jimmy diputar berulang-ulang, seolah dia sedang memaksakan otaknya untuk melihat sesuatu yang tidak ada.
"Mustahil ... pasti ada yang bisa kupakai untuj memisahkan Noah dan Ivy ... sesuatu ... apapun," gumam Mentari.
Tiba-tiba layar ponsel berubah. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:
"Bu Mentari, saya tahu banyak tentang Ivy. Bahkan lebih dari yang Anda bayangkan. Jika Anda ingin tahu, kita bisa bertemu."
Mentari menegang. Bibirnya membentuk senyum sinis. "Permainan belum selesai ...."
***
"No, aku mau ke Malang besok. Antar aku, ya?" Ivy tersenyum penuh harap dengan mata berkedip beberapa kali.
"Kenapa tiba-tiba Malang?" Noah meletakkan ponselnya, lantas menatap sang istri dengan alis yang saling bertautan.
"Aku pengen ke makam ibu. Terus, kalau dipikir-pikir kita belum pernah benar-benar bulan madu. Ini sudah hampir dua bulan sejak resepsi digelar. Aku tahu kamu sibuk dengan banyak proyek baru. Jadi ...." Ivy memainkan ujung jemarinya di atas dada sang suami.
"Jadi? Mau ke Malang besok apa sekarang aja?" Noah tersenyum lebar.
Ivy yang awalnya menyandarkan kepala pada dada Noah pun kini mendongak. Menatap wajah tampan sang suami yang dihiasi dengan senyuman. Ivy langsung melingkarkan lengan pada leher sang suami.
"Emang nggak apa-apa berangkat sekarang?" Sebuah senyum lebar tersungging di bibir Ivy.
Noah mengangguk mantap. Hal itu membuat Ivy berteriak kegirangan. Dia langsung memeluk erat tubuh sang suami dan menghujaninya dengan ciuman.
Noah terkekeh ketika melihat sang istri begitu bahagia. Hatinya menjadi tenang. Setelah melewati banyak masa sulit, Noah bisa bernapas sedikit lebih lega.
"Ayo, bersiap-siap."
"Oke! Aku hanya akan membawa beberapa baju! Mau kusiapkan sekalian keperluanmu?" tanya Ivy dengan senyuman tak luntur sedikit pun.
Noah mendadak mengulum lagi senyumannya. Dia menatap datar sang istri. Ivy pun ikut menelan senyum yanh sejak tadi merekah.
"Ka-kalau begitu aku akan menyiapkan keperluanmu sekalian!" ujar Ivy bersiap beranjak dari atas ranjang.
Akan tetapi, ketika baru melangkah satu kakinya turun dari atas ranjang, tiba-tiba Noah menatik lengannya. Tatapan keduanya beradu. Meski sudah terbiasa bersama dan dekat, tetap saja hal itu membuat jantung Ivy hampir meledak.
"Sayang," ucap Noah dengan suara lembut.
Tak ada lagi tatapan datar seperti beberapa detik lalu. Soro mata penuh ketulusan itu kini membuat Ivy semakin tersipu. Terlebih ketika Noah menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.
"Kita ini suami istri. Kita tim! Jadi, ayo kerjakan semuanya bersama. Aku nggak mau istriku kelelahan karena repot sendirian. Bukankah seharusnya aku yang mengurusmu? Jangan sampai aku jadi suami yang lalai karena tidak bisa mengurusmu dengan baik." Noah tersenyum lebar.
Hati Ivy tersentuh. Dia mengangguk pelan. Noah menggandeng tangan Ivy dan mengajaknya berkemas bersama.
Usai berkemas, Noah turun lebih dulu sambil menatik koper. Dia memanasi mobil sambil menunggu Ivy bersiap. Melihat hal yang tak biasa membuat Srini menghampiri Noah.
"Mas, mau ke mana malam-malam begini?" tanya Srini sambil memperhatikan setiap gerak-gerik Noah.
"Titip rumah, ya, Mbok. Saya mau liburan sebentar sama Ivy sambil ziarah ke makam ibu di Malang."
"Mas Noah cuma sama Mbak Ivy? Nggak dianter sama Pak Broto?" Srini tampak khawatir, berulang kali dia meremas daster batik yang mulai kusut.
"Nggak, Mbok. Kami berangkat sendiri aja. Biar Mbok Srini sama Pak Broto juga bisa istirahat." Noah tersenyum lembut.
"Kalau begitu hati-hati, Mas." Srini berusaha memaksakan senyumnya.
Tak lama kemudian, Ivy keluar dari rumah. Raut wajah cerianya mendadak hilang. Dia tampak khawatir dan bimbang.
"Vy, kamu kenapa?"