Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.
"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.
"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.
Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.
Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suka Ebha
Disinilah Merzi sekarang, berdiri diantara rak-rak buku perpustakaan kecil yang ada dirumahnya.
"Ebha, tolong Merzi mengambil buku itu. Merzi tidak sampai."
Merzi ditemani Ebha yang berdiri tiga meter dibelakangnya. Gadis itu menunjuk sebuah buku yang terletak di rak yang paling atas. Sebenarnya ada tangga pendek untuk menjangkau buku yang terletak di rak atas. Tapi karena ada Ebha, kenapa tidak meminta bantuannya saja?
"Baik, Nona."
Merzi mundur sedikit memberi ruang untuk Ebha menjangkau buku yang ditunjuknya. Lelaki ini benar-benar tinggi. Dia tak perlu berjinjit meraih buku pada rak teratas.
"Ini, Nona."
"Terima kasih, Ebha." Merzi memeluk bukunya. Sebenarnya dia asal menunjuk buku saja. Hatinya terlalu berbunga-bunga berdekatan dengan Ebha. "Ya sudah, kalau begitu mari ke kamar."
"Ya— maaf, Nona? Kemana?"
"K. A. M. A. R. Kamar."
"Tapi—"
"Ck, sudahlah. Tidak ada tapi-tapian!" Merzi berdiri dibelakang Ebha. Niatnya ingin mendorong punggung lelaki ini agar keluar dari perpustakaan. Tapi, "eh, kenapa tidak bergerak ya?" Merzi lebih kuat mendorong punggung Ebha tapi hasilnya masih sama— tidak berpindah bahkan bergerak sama sekali.
"Ebhaaa, ayo!" Gadis itu menyerah. Dia kembali berdiri didepan Ebha dan menarik tangan besarnya.
"Kita mengobrol di perpustakaan saja, Nona. Tidak perlu—"
"—Lalalala …. Merzi ingin bernyanyi. Lalalala …."
Ebha menghela napas. Membiarkan tangan dan badannya diseret sang nona muda ke kamar.
"Maaf, Nona, jangan berteriak. Ini hampir tengah malam. Saya khawatir tuan Oldrich terbangun."
"Kalau begitu diam dan ikut saja, maka Merzi juga akan diam."
Lagi-lagi Ebha menghela napas. "Baiklah, Nona Merzi. Apapun untuk anda." Mereka menaiki tangga satu persatu. Seharusnya dia cukup mengikuti langkah Merzi dibelakang, tapi lihatlah bagaimana sang nona memeluk erat lengannya sekarang.
Satu hal yang mereka berdua rahasiakan. Ditempat yang tidak banyak orang alias tempat sepi, mereka— tidak-tidak Merzi saja maksudnya— akan berpegangan dan saling menggenggam.
Ebha yang mau tak mau harus menuruti keinginan sang nona. Lagi pula hanya memegang tangannya, bukan hal yang berlebihan dan masih bisa di toleransi.
Keadaan sepanjang lorong sepi. Tak ada seorang pelayan pun yang berlalu lalang di lantai dua tempat kamarnya berada. Hanya satu dua dan itu dilantai dasar yang terlihat, mereka tidak akan melihat Merzi dan Ebha yang berjalan beriringan.
Tangan berotot Ebha membukakan pintu kamar untuk Merzi. Setelah gadis itu masuk dia ikut menyusul, berdiri didepan pintu.
"Tunggu sebentar ya, Ebha. Duduklah disini." Merzi menunjuk kasur besarnya.
Ebha memilih menggelengkan kepala, "tidak apa-apa, Nona. Saya tunggu nona disini saja."
Merzi mengedikkan bahu dan membiarkan saja. Selanjutnya dia berjalan menuju walk in closet untuk mengganti baju tidur panjang yang dipilih ibunya tadi dengan baju tidur pendek bahan satin yang lembut dan berkilau ditambah juga dengan kardigan tipis menutupi bahu terbukanya. Lalu keluar dari sana.
Tidak ada yang berubah dari Ebha, lelaki itu masih berdiri kaku bagai patung ditempat pertama dia menginjakkan kaki.
"Ebha," yang dipanggil menoleh dan mengikuti langkah kecil Merzi dengan matanya, "kemari lah. Merzi perlu bantuan Ebha lagi." Dia duduk disisi ranjang.
Tanpa kata Ebha melangkah mendekat. Berdiri dua langkah didepan Merzi yang sedang membuka bungkusan kecil. Sepertinya itu kado ulang tahunnya.
Ebha menunggu sambil memperhatikan gerakan tangan Merzi, hingga bungkusan itu terlepas. Sepertinya itu perhiasan, Ebha menebak dari kotaknya yang mewah.
"Woah, indah sekali." Merzi berbinar setelah membuka kotak beludru putih tulang itu. Isinya satu set perhiasan. Jemarinya menyentuh benda yang berkilauan dengan harga pasti fantatis. "Pasti ini pilihan kakak ipar." Merzi mendongak menatap Ebha. "Bagus tidak, Ebha?"
"Bagus sekali, Nona."
"Kakak ipar memang tak pernah salah memilih kado. Sedangkan kak Marech, ah, pilihannya selalu buruk. Untung memilih kakak ipar yang pas untuk Merzi."
Ebha tak berkomentar hanya mendengar.
Merzi berdiri, kembali mendongak. "Bantu Merzi memasang kalung ini, Ebha."
"Baik, Nona."
Merzi diam, Ebha pun demikian. Dia menunggu instruksi selanjutnya tapi dia malah mendapati sang nona menunjuk sisi kasur yang didudukinya tadi dengan lirikan mata.
"Ada apa, Nona?"
"Duduk disitu. Katanya ingin menolong Merzi."
Ebha menatap bergantian Merzi dan kasur si nona muda. Dia yakin, sangat yakin, ada hal yang akan terjadi jika dia menuruti Merzi untuk duduk diatas kasurnya. Sungguh, rasanya Ebha ingin melarikan diri. Dia jadi sedikit menyesal mengatakan pada nyonya Waiduri Oldrich bahwa ingin berbicara sebentar dengan putrinya.
"Saya—"
"Ck, duduklah, Ebha!" Merzi mendorong Ebha dan berakhir lelaki itu memilih menurut, lagi dan lagi. "Nah, begitu kan, bagus. Jangan banyak tapi-tapian."
Ebha akan menghela napas, tapi kemudian menahannya karena— astaga. Apa-apaan ini?! Merzi duduk diatas pahanya!
Ya! Disana, duduk menyamping. Ini bukan pertama kalinya. Tapi Ebha masih saja tetap menahan napas. Nona-nya ini cantik. Begitu cantik. Tubuhnya ideal sesuai usianya. Rambutnya halus dan unik dengan warna putih yang berkilau. Ebha jamin bahwa rambut panjang Merzi sangatlah wangi sama seperti parfum yang menempel ditubuhnya.
Tanpa beban sama sekali, Merzi dengan santai melepaskan kalung dari kotak set perhiasan itu. Pangkuan Ebha menjadi tempat duduk ternyaman setelah ayunan di balkon kamarnya.
Gadis cantik itu kembali berbinar. Rambutnya dia pinggirkan ke samping. "Ini, Ebha. Bantu Merzi memasang kalung ini." Katanya menyerahkan kalung itu pada Ebha.
Tanpa di perintah dua kali, Ebha menerima kalung tersebut dan memasangnya ke leher Merzi.
Ketika tangannya menyentuh kulit halus Merzi, dia merasa ada yang menyengat lehernya dan segera menjauhkan tangannya dari Merzi. "Sudah, Nona." Tolong setelah ini turunlah dari paha saya. Tapi kalimat itu hanya mampu terucap dalam hati.
"Terima kasih, Ebha." Merzi melihat liontin kalung yang terpasang dilehernya.
"Sama-sama, Nona."
"Apakah Merzi cocok menggunakan kalung ini?"
"Cocok. Anda semakin kelihatan bersinar."
"Benarkah?"
Ebha mengangguk membalas senyum Merzi dengan senyuman tipis. "Benar, Nona."
Senyum Merzi semakin lebar. Dia menyenderkan pelipis ke dada lebar Ebha, kembali bersuara. "Apakah Ebha risih dengan kehadiran Merzi?"
"Tidak, Nona. Tidak sama sekali." Kata Ebha jujur.
"Ebha tidak berbohong, bukan?"
"Nona tidak mempercayai saya?" Ebha bertanya balik.
Merzi mengangkat kepala, memandang ke dalam mata Ebha. Tangannya terulur perlahan menyentuh rahang tegas Ebha. "Tidak. Sebelum Ebha menunduk."
Penyihir yang sesungguhnya adalah Merzi. Lihatlah bagaimana Ebha terfokus pada mata indah kelabu gadis dihadapannya. Dia menurunkan kepala, mendekatkan wajahnya pada Merzi.
"Sekarang, apakah nona percaya?" Tanya Ebha didepan hidung Merzi.
Bibir tebal dan berisi dihadapannya ditatap Merzi sedemikian rupa. "Ya."
Cup!
Siapa pelaku yang mencium itu? Merzi.
"Nona Merzi—"
Cup!
"Terima kasih sudah jujur."
Badan Ebha menegang. Dua kali Merzi mengecup rahangnya yang dekat mulut. Astaga! Bagaimana caranya bernapas? Tolong beri tahu Ebha. Dia tiba-tiba lupa caranya.
Disisi tubuhnya, Ebha mengepalkan tangan. Kurang ajar. Merzi bergerak diatas pahanya! Dan tahukah dia bahwa itu berbahaya? Dia adalah lelaki dewasa. Katakan sekali lagi dengan huruf kapital.
EBHA ITU LELAKI DEWASA JALUR NORMAL!
Bibir Merzi kembali mendekat, dengan gerakan cepat Ebha menahan bibir itu dengan jari besarnya. "Hentikan, Nona."
Tapi apa yang dilakukan Merzi selanjutnya? Dari tatapannya Ebha melihat sang nona muda sedang menyeringai lalu membuka sedikit mulutnya dan menjilat jari Ebha yang berada didepan bibir ranum itu.
"Tidak mau."
"Cukup!" Jarinya berganti menahan dagu kecil. Wajahnya datar. Sorotnya berubah tajam membalas tatapan Merzi, mengusir sihir yang diciptakan tadi. "Tolong jaga sikap, Nona."
Bukannya takut, Merzi balik menantang Ebha. Membiarkan dagunya terdongak tinggi sedangkan dia melepas kardigan tidur.
Kardigan tipis itu merosot. Merzi merasakan pendingin ruangan semakin menusuk kulitnya. "Bagaimana?" Bibir kecilnya masih berusaha berkata. Merzi memegang pergelangan tangan Ebha yang menahan kepalanya. "Bagaimana sikap yang harus Merzi jaga untuk Ebha?"
Lelaki itu menurunkan pandangannya. Melihat tangan Merzi yang bergerak mengelus tangan berbulu halus miliknya.
Pegangan jemari Ebha mengendurkan perlahan. "Jangan menyentuh saya, Nona."
"Tidak mungkin. Ebha tahu Merzi suka menyentuh."
"Kalau begitu jangan mencium saya."
"Kenapa jangan? Ebha tidak suka Merzi cium?"
"Tentu saja. Anda adalah tuan saya, tidak ada majikan yang mencium bawahannya."
"Apa yang kau bicarakan?!" Tanya Merzi dengan sentakan karena dia tidak suka kalimat Ebha. Dia mendorong dada Ebha menjauh, tak lagi menatap lelaki itu tapi masih duduk diatas pahanya. Merzi lanjut berkata,
"Kau tidak dengar apa yang kuminta tadi pada ayah? Dengan nyali besar, dihadapan semua orang aku meminta kau menjadi kekasihku. Tapi—"
Ucapan Merzi terhenti ketika tangan besar Ebha menyentuh pahanya yang tak tertutup kain. Gadis itu menahan napas. Tangannya gatal ingin menghempaskan tangan Ebha.
"Tapi apa?" Ebha memiringkan kepalanya dan menunduk, mengintip Merzi yang terpaku pada tangannya. "Apa, Nona Merzi? Lanjutkan lah. Tapi biarkan saya memegang paha anda. Hanya memegang tidak akan lebih. Saya akan mendengarkan."
Merzi tak tahan. Tubuhnya menolak sentuhan apapun itu jika tak mendesak. Dia berdiri membuat tangan Ebha terlepas dari atas pahanya.
"Jangan pernah menyentuh Merzi seperti itu, Ebha." Ujar Merzi membelakangi Ebha.
Tanpa Merzi tahu bahwa Ebha ikut berdiri. Lelaki itu membungkuk, membisikkan kalimatnya disamping telinga Merzi, "mustahil jika sepasang kekasih tidak saling menyentuh, Nona."
Badan Merzi merinding mendengar ucapan Ebha. Dia mengusap lengannya sendiri.
"Bukan hanya si perempuan yang menyentuh, saya juga ingin bersentuhan dengan kekasih saya kelak." Ebha mempertahankan posisinya yang membungkuk dibelakang Merzi, menunggu reaksi gadis itu selanjutnya.
Hingga setelah hening beberapa saat, Merzi perlahan menoleh ke samping, dimana napas Ebha menerpa kulitnya. Dia mundur hingga punggungnya menabrak dada lebar Ebha. Lalu Merzi menarik kedua tangan Ebha ke depan badannya. Menggiring lelaki itu untuk memeluknya dari belakang.
"Merzi suka pada Ebha. Apakah Ebha ingin menjadi kekasih Merzi?"