Sebagai seorang putra mahkota Kekaisaran Tang, sudah selayaknya Tang Xie Fu meneruskan estafet kepemimpinan dari ibunya, Ratu Tang Xie Juan.
Namun takdir tidak berpihak kepadanya. Pada hari ulang tahun dan penobatannya sebagai seorang kaisar, terjadi kudeta yang dipimpin oleh seorang jenderal istana. Keluarga besarnya tewas, ibunya dieksekusi mati, dan kultivasinya dihancurkan.
Dengan cara apa Tang Xie Fu membalaskan dendamnya?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muzu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kultivasi X
Pagi baru merangkak; awan-awan berarak; burung-burung berkicau bersama jatuhnya daun-daun yang terserak. Sinar matahari pagi perlahan menyinari tubuh seorang pemuda yang tertidur di atas batu besar yang landai. Hawa panas yang mulai menyengat membuat tubuhnya menggeliat, dan pada akhirnya membuka kedua mata yang tertutup rapat.
Xie Fu terbangun, dan ekor matanya bergerak memperhatikan arus sungai yang mengalir deras, lalu memiringkan kepala, dan bibirnya bergerak mengeluarkan kata-kata lirih.
“Ibu, aku selalu terbangun dengan membawa kesedihan yang dalam. Untuk apa aku hidup dengan kondisi yang menyedihkan ini? Kematian seolah tak sudi menghampiriku, sedangkan kehidupan terus mengejekku.”
Kata-kata yang terucap diiringi isak yang tertahan. Xie Fu memejamkan kembali kedua matanya seolah dia mencampakkan kehidupan di sekitarnya. Ia sunyi dalam derasnya air sungai yang menderu, ia risau dalam desau angin yang berembus, dan ia sesak dalam alunan burung-burung yang berkicau.
Rasa sakit yang sebelumnya reda kembali mencengkeram tubuhnya, dan menggerogotinya dengan nyeri yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Xie Fu meringis menahan sakit dan kembali membuka mata, lalu memutar tubuh. Seketika ia terperanjat melihat kedua kakinya yang bengkak dan membiru. Ia menarik napas panjang, lalu mendesah lirih untuk menenangkan gejolak di dadanya.
“Cukup,” ucapnya. Ia tak ingin lagi mengeluhkan kondisinya. “Aku harus berdamai dengan rasa sakit ini.”
Dengan tekad kuat, Xie Fu memaksakan dirinya bangkit dari tempat berbaring. “Ah …!” Xie Fu melengking; tubuhnya bergetar hebat.
Kepalanya terdongak, sementara kedua tangannya mengepal erat menahan sakit yang menjalar seperti sengatan listrik dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Rasa sakit yang dialaminya begitu luar biasa hingga mengguncang sesuatu yang bersemayam di dalam dirinya. Aura yang tersembunyi kini meledak keluar, menghancurkan pepohonan di sekitarnya dalam satu embusan kekuatan.
Tanpa sadar tubuh Xie Fu melayang di atas permukaan sungai. Seberkas cahaya yang melingkupi tubuhnya tampak seperti sosok dewa agung yang memancarkan aura penguasa.
Namun, ketika kesadarannya kembali, cahaya itu sirna dan auranya redup. Seketika itu juga tubuh Xie Fu terjun bebas terbawa derasnya arus sungai.
Byuur!
Dengan sekuat tenaga Xie Fu berenang ke tepian. Mulutnya tampak megap-megap setiap kali kepalanya terangkat. Ia terbawa arus hingga puluhan tombak sampai akhirnya ia berhasil menepi di tepian yang berbatu.
“Lagi dan lagi aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi?” keluhnya setiba di tepian.
Dalam kondisi basah kuyup Xie Fu merangkak menaiki batu besar, lalu duduk bersila di atasnya. Sejenak ia menenangkan diri seraya menghangatkan tubuhnya yang menggigil. Kali ini tidak ada rasa sakit yang dirasakannya. Luka-luka yang menghiasi tubuhnya pun telah pulih tanpa meninggalkan bekas.
“Bagaimana ini terjadi? Tubuhku sembuh sepenuhnya!” ucapnya heran.
Setelah itu, ia melanjutkan dengan memeriksa dantiannya dengan harapan bisa pulih seperti tubuhnya. Namun, harapan tinggal harapan. Xie Fu tidak lagi memiliki dantian, yang berarti dia tidak bisa menjadi seorang kultivator dan terpaksa harus mengubur semua dendamnya.
“Sepertinya semesta tidak merestuiku membalaskan dendam,” ucapnya seraya menundukkan wajah.
“Sudahlah, lupakan saja semuanya,” gumamnya lirih, “setidaknya fisikku sudah pulih, dan ini cukup.”
Seulas senyum terukir dari wajahnya yang tampan. Ia akhirnya memilih untuk berdamai dengan semua yang terjadi, dan memaafkan siapa pun tanpa terkecuali.
“Sebaiknya aku mengasingkan diri dan menjadi seorang pertapa,” imbuhnya menentukan tujuan hidup.
Xie Fu kembali menutup kedua matanya dan menenggelamkan diri dalam meditasi.
Kerelaannya atas semua yang terjadi, dan kebesaran hatinya dalam memaafkan kesalahan orang lain, membuatnya memperoleh kedamaian jiwa. Dan kedamaian yang diperolehnya itu memicu simbol-simbol kuno yang pernah diterjemahkannya muncul di alam bawah sadarnya.
Simbol-simbol kuno itu menampakkan diri dalam balutan cahaya yang berkilau, dan perlahan membentuk pola tubuh seorang raksasa dalam wujud bayangan.
"Tang Xie Fu!" ucap sosok raksasa memanggil.
Tang Xie Fu mengernyit. Ia amati sosok besar yang berdiri di hadapannya itu. Tak lama kemudian ia menyahuti dengan sebuah tanya, “Apa kau wujud dari raksasa yang kutemukan bersama dengan simbol-simbol itu?”
Sosok besar itu mengangguk perlahan seraya merentangkan kedua tangannya. Tampak simbol-simbol kuno melayang di atas kedua telapak tangannya. “Melangkah tanpa menoleh, menggapai tanpa sesal,” ucapnya kemudian.
Sesaat Xie Fu termenung sambil menunduk, lalu mengangkat wajah dengan seulas senyum yang menawan. “Aku tahu maksudmu,” ucapnya bersemangat.
Sosok raksasa itu pun mulai memudar, mengurai dirinya menjadi simbol-simbol kuno yang perlahan meredup.
Xie Fu kembali ke alam sadarnya dengan pandangan yang tertumbuk pada sesuatu yang tak ia duga. Tubuhnya terlilit akar pohon.
"Eh, apa yang terjadi?" gumamnya bingung. Ia merasa baru saja bermeditasi di atas batu besar, tetapi sekarang ia mendapati dirinya berada dalam keadaan yang sulit dimengerti oleh akal sehat.
Xie Fu menggeliat mencoba melepaskan diri dari jeratan akar pohon, tetapi yang terjadi berikutnya justru akar-akar yang melilit tubuhnya semakin erat mencengkeramnya.
"Bagaimana caranya aku bisa lepas?" Xie Fu terus berpikir keras mencari cara terbebas dari lilitan akar.
Waktu berlalu entah berapa lama? Tidak ada cahaya yang menembus lilitan akar. Ketika rasa frustasi mulai merayapinya, Xie Fu memutuskan untuk kembali memasuki alam pikir. Namun, kali ini ia tidak menemukan apa pun di dalamnya selain kekosongan.
“Apa yang harus kulakukan?” gumamnya lirih.
Dari semua bagian tubuh, hanya mata dan mulutnya yang masih bisa bergerak. Tentu saja kedua hal itu tak mampu membantunya untuk melepaskan diri dari lilitan akar pohon. Satu-satunya cara yang bisa ditempuhnya adalah terus berpikir. Kali ini Xie Fu tidak memikirkan cara untuk melepaskan diri dari lilitan, melainkan ucapan dari sosok besar yang ditemuinya di alam pikir.
“Simbol-simbol itu bukan sekadar filsafat, bukan pula sebuah teka teki. Simbol-simbol itu merupakan ….” Xie Fu mulai memahami sisi lain dari simbol yang tidak hanya diterjemahkan ke bahasa yang dipahami, melainkan sesuatu yang melebihi pengetahuannya selama ini.
Pemahaman barunya itu akhirnya menggiring dirinya untuk mendalami kembali setiap simbol yang pernah diamatinya. Dari beberapa simbol yang diamati ulang, ada satu simbol yang menarik perhatiannya yaitu simbol elemen bumi: air, api, tanah, udara, logam, dan kayu.
Xie Fu menyusun simbol elemen bumi dengan pikirannya. Membentuk pola unik layaknya seorang kultivator yang sedang mengolah energi spiritual.
Pada saat ukiran simbolnya terbentuk, terjadi fluktuasi energi di sekitarnya. Xie Fu akhirnya paham bagaimana mengaktifkan simbol di tubuhnya. Ia kemudian mencoba mengukir simbol lain, tetapi tak terjadi apa pun.
“Aneh, kenapa hanya elemen bumi yang memiliki reaksi?” pikirnya kembali dibuat bingung. Ia kembali mencobanya dan mendapati hal sama, tidak bereaksi.
“Sebaiknya aku fokus,” imbuhnya.
Makin lama ia makin memahami esensi dari simbol elemen bumi. Setiap fluktuasi energi di sekitarnya dipicu oleh aura yang terpancar dari simbol yang diaktifkannya.
“Ini kultivasi dengan cara yang berbeda!” serunya, “tidak harus menyerap energi spiritual, juga tidak perlu mengolah berbagai sumber daya, baik eliksir, maupun benda-benda spiritual. Ini adalah inti dari semua jalur kultivasi. Lalu, apa nama kultivasi ini?”
Lama Xie Fu memikirkannya. Banyak hal yang menjadi pertimbangannya, dan terlalu dini untuk mengetahui asal usulnya. Ia kemudian menamainya dengan nama “Kultivasi X”. Sebuah nama yang menuntutnya untuk mengeksplorasi lebih dalam.
jawab gitu si Fan ini tambah ngamuk/Facepalm/