🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Sekilas tentang masa lalu...
"Makasih ya Daf, karena udah mau bantuin buat jemput Fera."
Daffa yang sedang bersandar pada sisi mobil sambil melipatkan kedua tangannya di dada hanya mengangguk kecil saat Dion mengucapkan terimakasih padanya. Awalnya dia berfikir untuk mengantarkan Aini sekalian saat masih berada di halaman rumah tadi, namun Dion lebih dulu menelfon dan meminta tolong untuk menjemputkan istri temannya itu.
"Oya, Daf... Sebulan yang lalu saat aku dan Mas Dion liburan ke Paris, kami tidak sengaja bertemu dengan Celine disana," begitu hati-hati Fera menyebutkan nama itu, seseorang yang dia ketahui sebagai mantan istri Daffa sekaligus teman baiknya semasa kuliah dulu.
Tak menanggapi, Daffa lebih memilih untuk diam. Meskipun tak bisa bohong jika dirinya selalu merindukan sosok wanita yang masih bertahta di hatinya itu. Empat tahun dia menunggu, dan selama itu juga dia merasa hidup dalam kesepian dan kesendirian. Hidupnya benar-benar terasa hampa.
Dion menyenggol lengan istrinya. Meskipun tak memberikan tanggapan yang bagaimana, tapi jelas sekali Daffa terlihat tidak suka jika nama itu kembali disebutkan.
"Aku harus kembali ke kantor. Kalau begitu aku duluan," pamitnya tak ingin berlama-lama disana, suasana hatinya mendadak berubah tidak senang.
Dion menepuk lengan Daffa, ada rasa tidak enak karena istrinya sempat menyebut nama Celine kembali, "Sekali lagi makasih, Daff."
"Sama-sama,"
Begitu Daffa berlalu pergi, kini hanya tinggal mereka berdua di depan gedung kantor Dion. Padahal sudah beberapa kali Dion mengingatkan sang istri supaya tidak menceritakan tentang pertemuan mereka dengan Celine pada Daffa. Tapi tetap saja, mulut perempuan memang sangat sulit untuk dikendalikan.
"Aku salah bicara ya tadi?" tanyanya menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk, padahal dia hanya ingin bilang jika Celine menitipkan salam dan bilang sangat merindukan Daffa. Tapi belum sampai kata-kata itu terucap, situasinya terlihat sudah genting, membuatnya memilih tak melanjutkan.
"Nggak salah, tapi lain kali diam adalah pilihan terbaik," Dion menggenggam tangan sang istri dan membawanya masuk ke dalam gedung kantornya.
-
-
-
Begitu sampai di ruangan, Daffa membuka laci meja kerjanya dan mengambil sebuah foto dari dalam sana. Lima tahun lalu begitu bahagia dia difoto itu, bisa bersanding dengan wanita yang sudah dia pacari selama tiga tahun sebelumnya.
"Celine..."
Begitulah dia menyebut, suaranya nyaris tak terdengar. Setelah sekian lama hanya berani menyebut dihati saja, baru kali ini dia berani menyebut nama mantan istrinya kembali dengan bibirnya.
Dua pilihan yang dia berikan empat tahun lalu nyatanya tak membuat Celine memilih dirinya, wanita itu lebih memilih untuk mengembangkan karir dengan iming-iming akan menjadi seorang model terkenal. Hingga ketika salah satu kenalannya menawarkan untuk ikut bergabung dalam sebuah project diluar negeri, Celine memilih untuk ikut. Sekilas, lintasan tentang masa lalu itu kembali terbayang...
Flashback on
Dengan wajah sumringah, Celine berjalan memasuki rumah. Kegiatan berkumpul bersama dengan teman-temannya membuatnya lupa waktu dan berakhir dengan pulang hingga larut malam. Meskipun begitu, dia tidak takut Daffa akan memarahinya, suaminya itu begitu menyayangi dan memanjakannya.
"Mamaku sudah sering menanyakan tentang anak, tak bisakah kamu menghilangkan kebiasaan kamu untuk kumpul tidak penting bersama dengan teman-teman kamu dan lebih fokus mengikuti program kehamilan seperti yang disarankan oleh mamaku,"
Celine mendesah pelan, begitu pulang sudah disambut dengan ucapan seperti itu. Usianya masih dua puluh tiga tahun, meskipun sudah menikah tapi dia masih belum siap jika ditanya soal kehadiran anak. Celine ingin menggapai mimpinya dulu, yaitu menjadi seorang model terkenal.
Memiliki tubuh proporsional dan wajah cantik membuatnya bangga, dengan kegiatan berkumpul bersama dengan teman-temannya dia mulai memiliki banyak kenalan, dan mulai ada beberapa yang menawarinya bekerjasama untuk menjadi seorang model.
"Sayang, kita sudah pernah membahas tentang ini bukan? Dan kamu juga setuju jika kita tidak memiliki anak dulu." Celine membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama dari sana.
"Lihat sayang, aku ditawari untuk ikut fashion show di Paris. Jika aku bisa ikut, peluang untuk menjadi model terkenal semakin dekat. Daf... Boleh ya aku pergi?" begitu senang Celine bercerita, hingga dia tidak bisa melihat jika perubahan ekspresi wajah suaminya sudah mulai kesal.
"Aku tidak mengijinkan kamu untuk pergi. Jika masih didalam negeri aku masih bisa menerima, tapi ini..."
"Daffa sayang..." begitu lembut dia memanggil, berharap suaminya itu akan mengerti dan memberikannya ijin. "Ini mimpiku, bahkan jauh sebelum aku bertemu denganmu. Dan aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini begitu saja, Daf..."
"Celine, aku ini suami kamu. Jika aku bilang tidak maka kamu tidak akan pergi," masih dengan menahan kekesalan dihati, Daffa mencoba berbicara selembut mungkin. Pada dasarnya dia memang orang yang lembut dan belum pernah berbicara kasar pada seorang wanita, termasuk pada istrinya.
Senyum diwajahnya lebur seketika, dengan langkah pelan Celine datang mendekat, meraih lengan suaminya dan bergelayut dengan manja.
"Hanya tiga bulan saja, tolong berikan aku kesempatan untuk menggapai mimpiku, setelah itu akan kembali untukmu. Aku hanya mencintaimu, Daf. Aku pasti akan kembali hanya untuk kamu," tangannya turun ke bawah, Celine saling mengeratkan jari-jari tangan mereka.
Sayangnya, akal sehatnya tak menerima begitu saja, Daffa menggeleng tak percaya dengan kerasnya hati istrinya. "Jika aku bilang tidak maka tidak, Celine. Jangan membantahku lagi dan jangan sampai membuatku marah, sekarang bersihkan dirimu dan kita tidur. Ini sudah malam, besok aku harus bangun pagi untuk bekerja."
Daffa melepaskan tangannya dari genggaman Celine, dia berjalan ke arah ranjang. Baru beberapa langkah dia berjalan, suara keras Celine mampu menahan langkahnya kembali.
"Pokoknya aku akan tetap pergi, Daf!" dengan nafas bergemuruh, Celine melangkahkan kakinya mendekat, berdiri tepat di belakang suaminya. "Kamu mengijinkan atau tidak, aku akan tetap pergi."
Sebagai seorang suami, jujur Daffa merasa sangat kecewa dengan ucapan istrinya yang seolah tak menghargai keputusannya. Dengan mata tajam penuh kekecewaan, Daffa membalikkan tubuhnya dan menatap Celine yang masih berdiri disana.
Celine berusaha meraih tangannya, namun Daffa langsung menepisnya. Cintanya nyatanya tak mampu membuat Celine sadar, jika dirinya bisa melakukan dan memberikan apa saja asalkan Celine tetap berada di sisinya.
"Selama ini aku sudah cukup sabar, tapi kamu masih juga tidak paham. Hanya karena mimpi kamu untuk menjadi model terkenal kamu sampai berniat untuk meninggalkan suami kamu, hah?!"
Celine cukup terkejut dengan sikap yang ditunjukkan oleh Daffa, biasanya suaminya tak pernah semarah ini. "Daf, kamu tau ini adalah mimpiku. Apa salahnya kamu memberiku ijin dan membiarkan aku pergi. Toh, aku tidak pergi untuk selamanya, aku hanya butuh waktu tiga bulan saja, setelah itu aku akan kembali,"
Emosinya kian naik, Daffa menahan nafasnya sembari mengusap wajahnya kasar saat merasakan emosinya seperti mau meledak, "Tiga bulan kamu bilang? Apa kamu pikir tiga bulan itu waktu yang singkat untuk kita yang sudah menikah?"
"Celine." Daffa meraih lengan Celine dan memeganginya dengan cukup kuat, hingga wajah Celine meringis menahan sakit. "Apa masih bisa dibilang kamu hanya mencintaiku jika kamu bersikap begini? Aku tidak ingin bernegosiasi disini, keputusanku sudah bulat, aku bilang tidak ya tidak! Kamu tidak akan pernah pergi kemana-mana, Celine!"
Celine menarik tangannya kasar hingga terlepas dari pegangan Daffa, kali ini dia ikutan marah dan tetap berkeras hati.
"Itu namanya kamu egois, Daf! Kamu tidak benar-benar mencintai aku dan hanya mementingkan diri kamu sendiri!!!"
"Celine!!!" tangannya terangkat keatas dan bersiap untuk menampar, namun dia masih bisa untuk menahan. Karena sejatinya dia memang bukan pria yang kasar, namun kali ini Celine sudah keterlaluan menurutnya.
"Apa??? Kamu mau menampar aku? Tampar Daf, tampar!!!" Celine mendekatkan wajahnya, seolah mempersilahkan Daffa untuk menamparnya.
Namun, Daffa segera menurunkan tangannya, meskipun kesal dia tidak akan sampai bertindak kasar.
"Aku hanya akan memberikan kamu dua pilihan. Pergi, atau kita bercerai..."
Belum sampai mendapatkan jawaban, Daffa sudah memilih pergi keluar dari kamar dan membanting pintunya dengan kasar. Karena dia tau, Celine tak akan mungkin menjawab secepat itu. Dan dia memberikan pilihan itu hanya sebagai gertakan saja, ditambah lagi emosinya yang juga sedang tidak stabil. Setidaknya dengan pilihan itu istrinya masih akan mempertimbangkan, memilih kelangsungan hidup rumah tangga mereka atau lebih mementingkan karir.
Flashback end...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧