NovelToon NovelToon
Senjakala Di Madangkara Dalam Kisah Mengais Suka Diatas Luka

Senjakala Di Madangkara Dalam Kisah Mengais Suka Diatas Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Ilmu Kanuragan / Action / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:96
Nilai: 5
Nama Author: Eric Leonadus

Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.

Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Babak Keenam

#06

‘Semesta raya bergolak, aku terdiam,

Hatiku yang tersakiti bukan karena cinta, aku bungkam,

Di saat para sahabat, sanak kadang pergi

Hati serasa gundah gulana...

Di sana mereka berpesta pora ...

Aku membawa diriku yang terluka ...

Mereka tertawa penuh kepura – puraan,

Sementara, aku berjalan terseok – seok meratap sesal ...

Wahai Sang Dewi Purnacandra ...

Sinarilah aku dengan deepa keemasanmu ...

‘tuk menghapus segala noda kelabuku ...

Apakah deepamu sudah luntur oleh angkara murka ?

Oleh segala jenis kemunafikan di mayapada ini ....

Aku hanyalah sebutir debu yang tak berarti apa – apa ...

Dipermainkan oleh hembusan angin,

Yang kelak sirna oleh Sangkala ...

Namun, haruskah aku terdiam...

Saat BATARA KALA melahapku hidup – hidup ...

Wahai sang Bayu ...

Sebelum sukma terlepas dari ragaku ...

Takkan kubiarkan duniaku luluh lantak oleh bara sang penipu ....’

Nyanyian itu terdengar penuh keputus asaan dan amarah, mengiring sang raja siang ke peraduan, menyambut wajah rembulan tua yang menggantung rendah di langit jingga tertutup awan hitam tipis bercampur kabut dan udara dingin. Sekalipun demikian mampu menerangi jalanan lengang berbatu, penghubung perbatasan antara ibukota kerajaan Madangkara dengan Pajajaran, Sumedang larang dan Tanjung Singguru.

Deretan gunung dan per bukitan yang membentang dari ujung Timur hingga Selatan bagaikan sekumpulan raksasa sedang tidur sementara pepohonan besar, lebat dan tumbuh di tepi jalan, bagaikan sekumpulan prajurit dari dunia gaib berjaga di sepanjang jalan.

Dari kejauhan, terdengar derap langkah kaki kuda semakin lama semakin dekat. Derap langkah kuda itu berhenti di persimpangan jalan, seekor kuda kokoh berwarna putih ditunggangi oleh seorang pemuda gagah berpakaian abu – abu. Dialah ARYA WIDURA, yang telah meninggalkan ibukota Kerajaan Madangkara untuk kembali ke Blambangan.

“Aku sudah jauh meninggalkan Madangkara ... tidak mungkin kulanjutkan perjalanan di malam hari, kudaku juga butuh beristirahat barang semalam. Baik, akan kucari penginapan dulu,” kata Widura seorang diri.

Baru saja hendak beranjak dari tempat itu, telinganya mendengar suara mencurigakan. “Hm, mereka masih mengikutiku sampai kemari ... satu, dua, tiga ... lebih kurang ada 10 orang. Mereka menyebar ke segala penjuru dan gerakannya ringan sekali. Jelas, mereka bukanlah orang – orang sembarangan. Siapa mereka itu ? Apakah pembunuh – pembunuh bayaran suruhan Permadi ? Kalau memang demikian ... kebetulan sekali, akan kulampiaskan saja kekesalanku ini pada mereka,”

“Hei, siapakah kalian ? Tidakkah merasa letih sepanjang perjalanan tadi mengikutiku ?!” seru Widura.

Tidak ada jawaban. Widura tersenyum, “Baiklah, jika kalian tidak mau keluar, biarlah aku yang memaksa kalian keluar !!” sambil berkata demikian, ia melompat turun dari punggung kudanya, memungut beberapa batu dan melemparkan ke arah tamu – tamu tak diundang itu bersembunyi.

“WUT ...WWUUTT ...WWWUUUTTT ...”

Batu – batu itu membelah angin, meluncur dan menyebar ke empat penjuru mata angin. Beberapa batu tidak mengenai sasaran, akan tetapi, batu – batu yang lain berbalik menyerang ke arah Widura bahkan kecepatannya bertambah. Widura sama sekali tidak menyangka serangannya itu dapat dikembalikan dengan begitu mudahnya. Ada lebih kurang 6 buah batu menyerang balik, maka, dengan sigap Widura melompat menghindar.

“DUAR ! DDUUAARR !! DDDUUUAAARRR !!!”

Serangan balik itu berhasil dihindari, akan tetapi, pepohonan yang ada di belakang Widura jadi sasarannya. Beberapa pohon tumbang, sebagian ada yang rusak dan sebagian batu lagi menerpa ruangan kosong. Bersamaan dengan itu 10 sosok bayangan berkelebat, mendarat dan mengepung Widura dari berbagai penjuru, mereka semua mengenakan cadar dan pakaian serba hitam.

“Hm, akhirnya kalian menampakkan diri juga. Kalian pastilah orang – orang suruhan Permadi untuk membunuhku, bukan ?” tanya Widura sinis, “Berapa kalian dibayar untuk mencabut nyawaku ini, hah ?!”

Kesepuluh orang itu tidak menjawab, melainkan saling pandang. Tak lama kemudian, salah seorang dari mereka yang bertubuh tinggi besar maju dan tanpa banyak bicara, menerjang ke arah Widura dengan dua kepalan tangannya. Widura sudah bersiap – siap menyambut datangnya serangan melompat mundur beberapa tindak, untuk sementara ia mengambil posisi bertahan sambil mengukur kepandaian lawan.

Tubuh Widura berlompatan kesana – kemari untuk menghindari serangan lawan yang datang bertubi – tubi bagaikan gelombang air pasang, kemanapun tubuhnya bergerak, kepalan itu sudah bersiap menyambutnya. Tak ada jalan lain bagi Widura selain membentengi tubuhnya dengan tenaga dalam sambil sesekali menangkis dan menepiskan tinju lawannya.

Pertarungan sengit terjadi, nyaris saja kepalan atau tinju lawan itu mendarat di tubuhnya. Widura dapat merasakan terpaan udara panas saat kepalan lawan melewati wajah atau tubuhnya. Hingga suatu ketika, saat kepalan lawan datang dari arah kanan, Widura berkelit ke samping kiri, tapi, di samping kirinya sudah menghadang tinju lain, dan ...

“DASH !”

Kepalan itu mengenai dada Widura dengan telak. Widura terjengkang ke belakang, tubuhnya limbung sesaat untuk kemudian roboh. Untunglah, tenaga dalam Widura sudah mengalir ke sekujur tubuhnya, sehingga serangan tersebut tidak menyebabkan luka serius. Akan tetapi, tampaknya serangan lawan itu tidak berhenti sampai disitu, sosok bertubuh tinggi besar itu melompat tinggi ke udara, saat ia meluncur turun ke bawah, saat itu pula kepalan kanannya sudah melayang hendak menyambar batok kepala Widura.

“DDUUAARR !!”

Ledakan keras terjadi, semua orang menyangka bahwa Widura tewas seketika oleh serangan yang dahsyat itu akan tetapi, mereka dikejutkan dengan sesosok tubuh tinggi besar terlempar di udara, hanya sesaat saja setelah berputar dua kali di udara, tubuh itu mendarat dengan mulus di tanah dan di hadapannya berdiri sesosok tubuh lain berpakaian abu – abu. Dialah Widura, ia masih bisa bertahan terhadap serangan berbahaya itu.

“Seranganmu boleh juga. Aku tak menyangka, tubuhmu tinggi dan besar tapi gerakanmu lincah sekali. Pukulanmu beruntun tanpa henti, tak bisa kuanggap remeh. Baik, akan kutahan dengan TAPAK SAKETI-ku,” kata Widura.

“Tapak Saketi, katamu ? Huh, seandainya saja Brama Kumbara masih hidup, belum tentu ia mampu menahan KEPALAN BADAI GURUN-ku. Sudah lama aku ingin menjajal AJI TAPAK SAKETI itu,” sahut orang bertubuh tinggi besar itu.

“Baiklah. Sekalipun Tapak Saketi-ku tidak sedahsyat mendiang PRABU BRAMA KUMBARA, namun, sepertinya masih bisa menahan serangan KEPALAN BADAI GURUN milikmu,” ujar Widura sambil memasang kuda – kuda untuk merapal TAPAK SAKETI. Kaki kanannya menjejak bumi satu kali dan ditarik ke belakang membentuk setengah lingkaran sementara kaki kanannya bergerak maju, sedang kedua tapak tangannya disatukan dan ditarik ke dada, asap putih tipis mengepul keluar dari jari – jemarinya. Itulah AJI TAPAK SAKETI.

Di pihak lawan, orang bertubuh tinggi besar itu mengepalkan kedua tapak tangannya keras – keras, otot dan urat nadinya bertonjolan keluar. Ia mengaliri kepalan itu dengan tenaga dalamnya, detik berikut ia berseru keras, tubuhnya melambung tinggi ke udara dan melancarkan 3 pukulan secara beruntun ke arah Widura.

“WUSH ! WUSH ! WUSH !!”

Beberapa kilatan cahaya berwarna hitam meluncur deras bagai anak panah ke arah Widura yang masih berdiri tegak dan kokoh bagaikan batu karang sementara, berkas – berkas sinar itu semakin lama semakin dekat.

“HHIIAATTHH !!!”

Teriakan Widura membahana, dengan gerakan yang susah diikuti oleh mata, ia mendorongkan telapak kanannya ke arah berkas – berkas sinar tersebut sementara tapak kirinya bergerak menyerang ke arah dada lawannya.

“DDUUAARR !!!”

Ledakan keras terjadi, baik Widura maupun pria bertubuh tinggi besar itu sama – sama terpental beberapa tombak ke belakang. Tubuh mereka sama – sama terbaring di tanah untuk sesaat lamanya. Perlahan – lahan tubuh Widura bergerak – gerak dan berhasil bangun terlebih dahulu sementara, pria bertubuh tinggi besar itu masih tergeletak di tanah. Nafas Widura naik turun, namun setelah mengatur pernafasannya, wajahnya tampak kembali segar.

“Luar biasa, ia memiliki tenaga dalam yang hebat, nyaris sama denganku. Seandainya tenaga dalamnya lebih tinggi dariku, belum tentu aku bisa merobohkannya,” desis Widura sambil mengamati lawannya yang masih terbaring lemah tak berdaya, entah tewas atau pingsan.

“Giliranku, orang Blambangan ...”

Seorang bertubuh cebol dan gemuk sudah berdiri berkacak pinggang di hadapan Widura, iapun mengenakan cadar hitam, “Chom – Chom, bukanlah tandinganmu, tapi, akulah yang pantas menjadi lawan tandingmu,” katanya. Setelah berkata demikian, mendadak tubuh si cebol itu seperti menghilang dari hadapan Widura, “Hei, dimana orang itu ?!” serunya.

Baru saja Widura menutup mulutnya, ia merasakan punggungnya seperti dihantam oleh sebuah benda yang cukup berat. Ia tersungkur ke tanah dari arah belakang terdengar suara tawa parau.

“Ha... ha... ha.... ha.... baru didorong sedikit saja sudah ambruk !”

Widura menoleh ke belakang, pria cebol itu sudah berdiri sambil menenteng sebuah tongkat besi berwarna hitam legam dan panjang. Tingginya dua kali lipat dari tinggi badannya, pada salah satu ujungnya terdapat ukiran tulang tengkorak manusia.

“Cepat sekali gerakannya, tahu – tahu ia sudah berhasil menyerangku dari belakang, untung itu hanya sebuah tongkat besi ... jika tombak atau pedang, nyawaku bisa melayang,”

“Berdirilah, kau orang Blambangan.... hadapi aku jangan bengong saja,” tantang pria cebol itu, “Rasanya tidak seru kalau kau kubunuh tanpa adanya perlawanan sama sekali,”

“Baik. Waspadalah, kau !” seru Widura sambil bergerak cepat menerjang ke arah si cebol. Tapi, lagi – lagi menghilang dari pandangan Widura, “Tepat dugaanku, ia mengandalkan kecepatan gerak kaki untuk menghilang dan muncul kembali secara mendadak. Mata biasa tak mampu mengikuti kecepatan geraknya. Aku harus mengandalkan perubahan udara untuk mengetahui dimana dia akan muncul dan menyerang. Nah, masih mencoba menyerangku dari belakang. Baik, akan kuladeni,”

Dari arah belakang Widura, tongkat besi itu mendadak meluncur dengan kecepatan tinggi. Widura membalikkan badan, tapak kirinya yang sudah dialiri Aji Tapak Saketi bergerak menyambutnya. Dua orang itu sama – sama berteriak nyaring, tubuhnya mengapung di udara, dan ...

“HIATH !”

“DDUUAARR !!”

Telapak tangan Widura dan tongkat besi itu bertemu. Terdengar bunyi ledakan yang cukup keras. Mereka sama – sama terpental beberapa tombak ke belakang untuk kemudian jatuh terbanting. Widura merasakan bahu kirinya kebas, ia meringis kesakitan sambil menoleh kesana – kemari untuk mencari dimana lawannya berada. Sebelum terjatuh, ia masih sempat melihatnya jungkir balik dan tubuhnya masuk tanah setelah itu menghilang. Sebuah jurus langka menurut Widura. Ia sempat ragu lawannya ini bukan manusia. Ia tidak tahu bahwa jurus yang digunakan lawannya itu dulu sempat menggegerkan dunia persilatan dan satu – satunya orang yang memiliki jurus itu adalah RADEN SAMBA dari SANGGAM yang juga pernah menjadi kekasih DEWI MANTILI SI PEDANG SETAN. Nama jurus itu adalah RONGRONG BUMI.

Widura memusatkan seluruh panca inderanya untuk mencari keberadaan lawan. Ketemu. Ada desiran angin tajam berasal dari atas kepala, saat pandangannya beralih ke atas, tampak si Cebol menyeringai sementara ujung tongkatnya yang dihiasi dengan tengkorak kepala manusia terjulur lurus ke batok kepala Widura. Bukan hanya itu saja, sebuah benda hitam, runcing menebarkan aroma dan suara aneh, seperti suara rintihan tangis dan jeritan, semakin lama semakin dekat.

“Mampus, kau !!” teriak si Cebol.

Dengan gerakan setengah putus asa, Widura berkelit ke samping kiri, Gerakannya sedikit terlambat, ujung besi berwarna hitam itu berhasil menggores pipinya. Tidak berhenti sampai disitu, Si Cebol yang tapak kakinya sudah menapak di tanah, menggerakkan tongkat besinya dengan sangat cepat. Ujung tongkat itu mengarah ke dada Widura.

Tanpa adanya mata pisau di tongkat itu, mungkin Widura akan menahan serangan tersebut dengan TAPAK SAKETI-nya. Akan tetapi kali ini Widura memilih untuk menghindar. Bukan karena takut bentrok dengan sejata lawan, namun, ia merasa luka di pipinya tidak wajar. Pipinya seakan disengat ribuan lebat, panas, pedih dan gatal, menjalar ke seluruh wajah. PISAU ITU BERACUN. Pipi Widura mati rasa, ia mencoba mengeluarkan racun itu dengan tenaga dalamnya sambil menjaga jarak dari jangkauan tongkat, tapi, lawannya sengaja mempersempit jarak.

Widura terpaksa meladeni serangan demi serangan yang dilancarkan secara beruntun. Gerakannya menjadi lambat, selain racun yang menjalar di wajahnya, juga aroma dan bunyi aneh yang keluar saat tongkat itu digerakkan. Konsentrasi Widura terpecah – pecah membuat pertahanannya jebol. Tak terhitung berapa kali tongkat itu menghantam dan menyodok tubuhnya. Hingga akhirnya, sebuah tendangan keras mendarat di dada, membuatnya roboh.

“Ha... ha... ha... ha... ha..., akhirnya jawara Blambangan itu roboh tak berdaya di hadapan KI TENGKES DARI PADEPOKAN RAJABASA,” tawa Si Cebol menggelegar, sementara ia mengibas – ngibaskan jubahnya, bau aneh itu hilang seketika dan ia mengangkat tongkatnya tinggi – tinggi bersiap untuk melakukan serangan terakhir, “Selamat jalan, anak muda ....:

..._____ bersambung _____...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!