Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 — Menutup Pintu, Membuka Diri
Hujan turun tipis sore itu, membasahi kaca jendela kontrakan Zahwa. Ia duduk di kursi kecil dekat dapur, secangkir teh hangat di tangan. Pikirannya tidak ke mana-mana, tapi juga tidak benar-benar diam.
Ponselnya bergetar.
Nama itu muncul lagi.
Farhan.
Zahwa menatap layar cukup lama. Tidak ada lagi jantung yang berdegup liar. Tidak ada marah. Tidak ada rindu. Hanya satu perasaan yang kini dominan: cukup.
Pesan Farhan masuk bertubi-tubi.
> Wa, aku salah.
Aku dipindahkan ke luar kota.
Aku baru sadar semua setelah kamu pergi.
Aku masih suamimu… setidaknya di hatiku.
Zahwa menghela napas panjang. Ia meletakkan ponsel di meja, berdiri, lalu mengambil wudu. Ada hal-hal yang harus diselesaikan dengan kepala dingin dan hati bersih.
Setelah shalat, ia kembali duduk. Kali ini, ia membalas.
> Farhan, aku sudah memaafkan. Tapi itu tidak berarti aku kembali. Kita sudah selesai. Tolong jangan hubungi aku lagi.
Ia menekan kirim.
Tangannya tidak gemetar.
Dadanya tidak sesak.
Pintu itu, akhirnya, tertutup.
---
Di luar kota, Farhan membaca pesan itu dengan mata memanas. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa kehilangan. Bukan karena Zahwa pergi, tapi karena ia tidak lagi punya akses pada ketulusan itu.
Ia menatap cermin di kamar mess kecilnya. Wajahnya lelah. Egonya runtuh.
“Kenapa baru sekarang?” gumamnya.
Jawabannya pahit: karena selama ini Zahwa selalu ada. Dan manusia sering lalai terhadap yang setia.
---
Di Jakarta, Daniel berdiri di depan jendela ruang kerjanya. Arvino baru saja pergi setelah rapat panjang. Keputusan-keputusan besar telah diambil. Bisnis berjalan. Tapi hatinya masih bertanya-tanya.
Ia membaca laporan sambil sesekali melirik ponsel. Tidak ada pesan dari Zahwa hari ini.
Daniel tahu, Zahwa sedang menutup satu fase hidupnya. Dan ia memilih tidak mengganggu.
Tapi sore itu, ponselnya bergetar.
Zahwa.
> Mas Daniel, hari ini aku menyelesaikan satu hal penting. Terima kasih sudah ada, walau dari jauh.
Daniel menutup mata sesaat. Ada rasa lega yang sulit dijelaskan.
Ia membalas:
> Aku bangga padamu. Benar-benar.
Tidak lebih. Tidak kurang.
---
Beberapa hari kemudian, Daniel mengundang Zahwa ke sebuah pertemuan kecil. Bukan rapat resmi. Bukan makan malam mewah. Hanya diskusi konsep di ruang kerja terbuka.
Zahwa datang dengan tunik krem dan rok panjang cokelat muda. Sederhana. Anggun.
“Kamu kelihatan lebih ringan,” kata Daniel.
Zahwa tersenyum. “Karena akhirnya aku tidak membawa masa lalu.”
Mereka duduk berhadapan. Tidak ada jarak berlebihan. Tidak ada ketegangan.
“Aku mau bilang sesuatu,” ucap Daniel akhirnya. Suaranya lebih pelan dari biasanya. “Aku tidak ingin kamu merasa aku menunggu sebagai tekanan.”
Zahwa menatapnya tenang. “Aku tidak merasa ditekan.”
“Aku ingin melangkah,” lanjut Daniel, jujur. “Tapi aku ingin melangkah dengan izin waktu dan keadaan. Kalau kamu butuh aku tetap di tempatku sekarang, aku bisa.”
Zahwa terdiam sejenak. Ia memilih kata dengan hati-hati.
“Aku tidak menutup diri,” katanya pelan. “Tapi aku juga tidak ingin terburu-buru. Aku ingin berdiri utuh dulu. Sendiri. Tanpa bayang siapa pun.”
Daniel mengangguk. “Itu yang membuatku menghormatimu.”
---
Malam itu, Zahwa berjalan pulang dengan perasaan tenang. Tidak ada euforia. Tidak ada janji. Tapi ada rasa aman, yang jarang ia rasakan sebelumnya.
Di kontrakannya, ia membuka jendela. Angin malam masuk pelan.
Ia menulis di buku kecilnya:
Hari ini aku menutup pintu lama tanpa membanting. Dan membuka diri tanpa tergesa.
Air matanya jatuh. Bukan karena sedih. Tapi karena lega.
---
Di sisi lain kota, Daniel duduk di mobilnya sebelum pulang. Ia tidak langsung menyalakan mesin.
Ia mengerti satu hal malam itu:
cinta yang baik tidak datang untuk menyelamatkan,
tapi untuk menemani seseorang yang sudah selamat dari dirinya sendiri.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak perlu berlari.
---
Sementara itu, Farhan duduk sendirian di kamar mess. Ponselnya sunyi. Tidak ada lagi nama Zahwa di notifikasi. Dan ia sadar, penyesalan tidak pernah datang tepat waktu.
---
Zahwa menutup hari dengan doa yang berbeda.
“Ya Allah,” bisiknya, “jika dia bukan jalanku, kuatkan aku tanpa dia. Jika dia Kau siapkan, hadirkan dengan cara-Mu.”
Dan di langit yang sama, dua hati sedang belajar hal yang sama:
bahwa mencintai dengan benar,
kadang berarti menunggu tanpa kepastian,
namun dengan keyakinan penuh.