NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 35: Langkah Pertama Sang Asura Muda

Langit di atas Gunung Pedang Terbang terbentang luas, biru pucat seperti lembar kain yang baru dicuci hujan. Udara tipis berhembus dari arah timur, membawa aroma lembah dan bisikan dingin dari hutan-hutan yang terbentang jauh di bawah.

Liang Chen berdiri di tepi jurang itu, diam. Ia memandangi awan yang bergerak perlahan di bawah kakinya, seperti lautan putih yang tak berujung.

Di bawah sana, tersembunyi di balik kabut, terletak dunia fana yang dulu pernah menjadi rumahnya , dan kuburan keluarganya. Desa Hijau, tempat suara tawa ibunya pernah memenuhi udara pagi, kini hanya tinggal bayangan dalam ingatan.

Liang Chen menatap ke arah timur lama sekali, hingga cahaya mentari pagi memantulkan warna keemasan di mata hitamnya yang dalam.

Ia mengangkat tangan kanan perlahan. Energi Pembantaian di tubuhnya bergetar lembut, mengalir keluar dari pori-porinya seperti uap merah tipis. Namun kali ini tidak liar.

Tidak membakar, tidak mengamuk. Energi itu tenang, seolah mengikuti irama napasnya. Liang Chen menatap telapak tangannya dan tersenyum tipis ,  senyum yang jarang muncul, hampir seperti keretakan di batu keras.

“Ayah, Ibu…” suaranya lirih, tapi cukup jelas untuk hilang bersama angin. “Kekuatan ini… bukan lagi milik amarah. Ini milik tekad.”

Ia terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu mengendap. Setiap helaan napas membawa ingatan lama ,  darah, api, dan suara tangisannya di malam pembantaian. Tapi kini, saat ia mengingat semua itu, dadanya tidak lagi terasa sesak. Rasa sakit masih ada, tapi kini berubah menjadi sesuatu yang lain: arah.

Dalam pikirannya, ia kembali melihat wajah ayahnya di hari terakhir. Tatapan keras itu, dingin namun lembut di tepiannya. “Keteguhan adalah pedang terakhir seorang pria.” Begitu ayahnya berkata dulu, sebelum menatap langit yang terbakar.

Lalu ibunya ,  lembut dan hangat seperti air di musim semi, menepuk pipinya sambil berbisik, “Hiduplah, Chen’er. Selama kau hidup, tidak ada yang sia-sia.”

Liang Chen memejamkan mata, membiarkan dua suara itu bergema di dalam dirinya. Mereka menjadi jangkar bagi pikirannya yang sering kali diseret oleh amarah.

Kini, setelah semua pelatihan panjang itu, ia tahu keduanya bukan sekadar kenangan. Mereka adalah dua sisi yang membuatnya tetap manusia, bahkan saat Warisan Asura berdenyut di dalam tubuhnya seperti jantung kedua.

Ia menunduk, menatap Kesunyian Malam di pinggangnya. Bilah hitam itu tampak tenang, tetapi sesekali memantulkan cahaya merah samar dari dalam logamnya.

Liang Chen mengusap gagangnya perlahan, seperti berbicara dengan teman lama. “Kau juga berubah,” gumamnya. “Dulu kau haus darah. Sekarang, kau menunggu perintahku. Mungkin… kita sama.”

Angin berhembus lebih kencang, membuat jubahnya berkibar. Dari arah barat, suara langkah pelan terdengar. Liang Chen tidak perlu menoleh; langkah itu terlalu khas, terlalu mantap.

Guru Kui Xing muncul di balik kabut. Rambut putihnya menari ditiup angin, wajahnya seperti ukiran batu yang tak pernah berubah. Ia berdiri di samping Liang Chen tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat. Bersama-sama, mereka menatap lembah di bawah sana.

“Hari ini langit bersih,” kata Guru Kui Xing akhirnya. “Mungkin pertanda baik untuk turun gunung.”

Liang Chen menoleh sedikit. “Pertanda?” tanyanya pelan.

Guru Kui Xing mengangguk. “Langit tidak selalu memihak mereka yang berjalan di jalan darah. Tapi kalau langit bersih, mungkin ia hanya sedang menonton, bukan mengutuk.”

Liang Chen tertawa kecil, suara itu kering, tapi tidak pahit. “Kalau begitu, semoga langit tidak bosan menontonku.”

Guru Kui Xing menatap muridnya lama, kemudian berkata, “Kau tidak lagi anak yang tersesat di tengah pembantaian. Kau sudah menjadi sesuatu yang lain. Tapi sebelum kau turun, aku ingin tahu satu hal.”

Liang Chen menatapnya, diam menunggu.

“Apakah kau tahu untuk apa kau berjalan sekarang?”

Pertanyaan itu sederhana, tapi menusuk dalam. Liang Chen menunduk sedikit, lalu menjawab perlahan, “Aku berjalan untuk membalas dendam, tapi bukan karena kebencian. Aku berjalan untuk melindungi apa yang tersisa dari hati manusia di dalam diriku.”

Guru Kui Xing mengamati wajah muridnya. Ada kesunyian panjang sebelum ia berbicara lagi.

“Jawaban yang bagus,” katanya akhirnya. “Tapi dunia tidak akan memberimu waktu untuk mempertahankannya. Dunia akan mengujimu lebih keras dari pedang apa pun yang kuayunkan.”

Liang Chen mengangguk. “Aku tahu, Guru. Tapi aku juga tahu, kalau aku tidak turun… aku akan berhenti menjadi muridmu.”

Angin gunung berhembus lagi, lebih lembut kali ini. Di langit, seekor elang melintas di atas kepala mereka, terbang tinggi ke arah timur ,  menuju dunia di bawah sana.

Guru Kui Xing menghela napas pelan. “Kalau begitu, lihatlah sekali lagi dunia yang akan kau masuki. Karena setelah langkah pertamamu, langit tidak akan lagi setenang ini.”

Liang Chen menatap lembah sekali lagi. Matahari perlahan naik di atas kabut, membelah awan dengan sinar emasnya.

Di dalam dirinya, Energi Pembantaian bergetar lembut ,  seperti menjawab panggilan takdir.

Sore menjelang ketika mereka tiba kembali di halaman batu di depan pondok bambu yang telah menjadi rumah Liang Chen selama berbulan-bulan.

Cahaya matahari terakhir menyentuh permukaan pedang di tangan Guru Kui Xing, menyalakan pantulan merah samar yang seolah berasal dari hati logam itu sendiri.

Guru Kui Xing duduk di atas batu besar, membuka kendi arak dan menuangkannya ke tanah. Uap tipis menguap, bercampur dengan aroma pahit arak tua. Liang Chen berdiri tegak di hadapannya, seperti murid yang menunggu ujian terakhir.

“Chen’er,” kata Guru Kui Xing, suaranya pelan tapi mengandung bobot. “Sebelum kau turun gunung, aku ingin mendengar jawabmu pada satu hal.”

Liang Chen menatapnya penuh hormat. “Aku mendengarkan, Guru.”

Kui Xing menatap muridnya lama sekali, seolah mencoba membaca pikiran yang tersembunyi jauh di balik mata hitam itu. “Jika suatu hari kau bertemu seseorang yang kuat. Seseorang yang mungkin berlumur dosa, tapi tidak menyerangmu. Apa yang akan kau lakukan?”

Liang Chen terdiam. Angin berembus dari celah tebing, mengibaskan jubahnya. Ia memejamkan mata, memikirkan semua yang telah diajarkan selama ini: kendali, keseimbangan, dan arti keadilan.

“Aku akan melumpuhkannya,” jawabnya akhirnya. “Tidak membunuh.”

Guru Kui Xing menaikkan alis. “Dan jika ia bangkit lagi dan menyerangmu setelah kau pergi?”

“Kalau begitu,” Liang Chen membuka matanya, pandangannya tajam, “aku akan membunuhnya. Tapi bukan karena dendam. Karena itu perlu.”

Hening panjang turun di antara mereka. Lalu Guru Kui Xing meneguk araknya perlahan. “Kau belajar dengan baik.

Pedang yang memotong tanpa alasan adalah pedang yang sudah rusak. Dan muridku tidak akan membawa pedang rusak turun gunung.”

Liang Chen menunduk sedikit, rasa hormat di matanya dalam. “Semua yang aku punya berasal dari ajaran Guru.”

Guru Kui Xing menggeleng pelan. “Tidak, Chen’er. Aku hanya menunjuk arah. Jalan itu kau yang tempuh sendiri.”

Sesaat kemudian, ia berdiri. Tatapannya beralih ke langit barat yang mulai merah. “Sekarang dengarkan baik-baik. Dunia di luar gunung tidak mengenal kedamaian.

Di sana, pedang bicara lebih keras daripada niat baik. Sekte-sekte besar menyebut diri mereka penjaga kebenaran, tapi mereka membunuh atas nama kebersihan dunia.”

Liang Chen menatap gurunya, alisnya berkerut. “Sekte Pedang Murni?”

Guru Kui Xing tidak langsung menjawab. Ia berjalan perlahan ke arah tepi halaman, menatap jauh ke arah barat.

“Mereka adalah contoh sempurna dari ironi dunia kultivasi. Mereka menyebut Asura iblis. Mereka menyebut Jalan Panjang Umur suci. Padahal keduanya sama-sama haus kekuasaan.”

Ia menoleh, menatap muridnya. “Raja Naga Berdarah dulunya adalah salah satu dari mereka. Seorang pemuda berbakat yang berpikir keadilan bisa ditegakkan dengan darah. Tapi semakin dalam ia menggali, semakin dalam ia tenggelam dalam kekuatan yang tidak bisa dia kendalikan.”

Liang Chen diam. Kata-kata itu seperti angin dingin yang menyusup ke dadanya. “Jadi, Raja Naga Berdarah bukan hanya iblis…”

“Bukan,” kata Guru Kui Xing perlahan. “Dia adalah cermin. Dan suatu hari, kau akan melihat bayanganmu sendiri di dalam cermin itu.”

Liang Chen mengangkat pandangannya ke langit yang mulai gelap. Ia tahu maksud gurunya ,  bahwa setiap langkah di Jalan Asura adalah ujian melawan diri sendiri. Ia menggenggam gagang Kesunyian Malam lebih erat.

“Aku tidak akan menjadi dia,” ucapnya pelan namun tegas.

Guru Kui Xing menatapnya lagi. Ada kilatan samar di mata tuanya, bukan senyum, tapi semacam pengakuan. “Aku berharap begitu.”

Angin malam turun dari puncak gunung, membawa hawa dingin dan kabut tipis. Uap arak di tanah telah hilang, digantikan oleh aroma tanah basah dan suara serangga malam.

“Mulai besok,” kata Guru Kui Xing akhirnya, “kau tidak akan lagi mendengarkan suaraku di setiap langkah. Di luar sana, hanya pedangmu dan pilihanmu yang akan bicara.”

Liang Chen mengangguk pelan. “Tapi ajaranmu akan tetap bersamaku, Guru. Di setiap ayunan pedangku.”

Guru Kui Xing menatap muridnya sekali lagi, kemudian memalingkan wajah ke arah lembah. “Kalau begitu, buktikan kata-katamu.”

Malam itu turun perlahan di atas puncak gunung. Langit seolah diselimuti kabut perak, dan bintang-bintang tampak seperti mata para dewa yang memandang diam ke bawah.

Pondok bambu tampak redup, diterangi cahaya tungku arang yang masih menyala lemah. Di hadapan tungku itu, Guru Kui Xing duduk bersila, botol arak di satu tangan, gulungan kertas di tangan lain. Liang Chen berdiri di seberangnya, diam, menunggu.

Suara api berderak pelan, menelan keheningan di antara mereka. Guru Kui Xing akhirnya membuka gulungan kertas itu dan mengamati isinya sebelum menutupnya kembali. Ia tidak menyerahkannya kepada Liang Chen, hanya meletakkannya di atas meja kecil dari kayu hitam.

“Itu bukan untuk sekarang,” katanya pelan. “Itu catatan tentang jalur yang lebih tinggi dari Pondasi Besi. Jika kau berhasil bertahan hidup setahun di dunia luar, kembali dan bacalah.”

Liang Chen menatap gulungan itu, lalu mengangguk. “Aku mengerti.”

Guru Kui Xing meneguk sedikit arak, lalu berdiri perlahan. “Kau sudah melewati apa yang tidak bisa dilewati banyak murid di sekte besar. Tapi jangan biarkan keberhasilanmu membuatmu sombong. Dunia luar tidak mengenal belas kasihan.”

Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan sebuah kantong kulit kecil dan melemparkannya kepada Liang Chen. Suaranya berat saat kantong itu jatuh ke tangan Liang Chen, berisi benda padat dan beberapa pil.

“Di dalamnya ada Pil Panjang Umur Menengah, dua puluh Batu Spiritual tingkat rendah, dan satu batu tanda yang pernah kugunakan ketika masih muda.

Jika kau menunjukkan batu itu di dunia bawah, beberapa orang mungkin akan mengenalinya. Gunakan hanya saat benar-benar terdesak.”

Liang Chen menerima semuanya tanpa banyak bicara. Ia tahu benda-benda itu berharga, tapi juga tahu gurunya tidak memberikannya untuk kenyamanan. Itu hanyalah alat untuk bertahan hidup, bukan jaminan.

Guru Kui Xing menatap wajah muridnya lama sekali. “Sebelum kau turun gunung, aku ingin kau ingat satu hal.”

Liang Chen menatap balik, tenang.

“Pedangmu adalah bagian dari jiwamu,” kata sang guru. “Jika kau kehilangan jiwamu, maka setiap ayunan akan menjadi kejahatan. Tapi jika kau menjaga jiwamu, maka bahkan pembantaian pun bisa menjadi bentuk kebenaran.”

Suara itu pelan, namun menyelinap dalam seperti angin yang menemukan celah. Liang Chen menunduk, kedua tangannya menggenggam Kesunyian Malam di pinggangnya.

“Aku tidak akan melupakan kata-kata Guru,” jawabnya.

Guru Kui Xing menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Kau akan melupakannya suatu hari nanti. Semua murid selalu begitu. Tapi semoga ketika kau melupakannya, dunia masih memberimu kesempatan untuk mengingat kembali.”

Ia menatap api di tungku. Cahaya oranye memantulkan kerutan di wajahnya, membuatnya tampak lebih tua, tapi juga lebih damai. “Sekarang, pergilah tidur. Besok pagi, turunlah. Aku tidak akan mengantarmu. Aku benci perpisahan.”

Namun Liang Chen tidak segera pergi. Ia berlutut di hadapan sang guru, menunduk dalam. “Terima kasih atas segalanya, Guru Kui Xing.”

Guru Kui Xing menatap anak itu tanpa kata. Untuk sesaat, api di tungku berkobar sedikit lebih besar, lalu mereda. “Bangunlah,” katanya akhirnya. “Kau tidak berhutang padaku. Kau hanya berhutang pada tekadmu sendiri.”

Liang Chen berdiri perlahan, kemudian berbalik menuju pintu pondok. Sebelum keluar, ia menatap sekali lagi ke dalam ruangan itu ,  pada sosok tua yang kini duduk sendiri, menatap ke arah botol arak dan pedang yang bersandar di tembok. Ada keheningan yang ganjil di sana, keheningan yang terasa seperti doa.

Ia menutup pintu pelan dan melangkah pergi.

Fajar menyelimuti dunia dengan warna keperakan saat Liang Chen berdiri di tepi tebing. Awan tipis melayang di bawah kakinya, dan angin pagi menampar wajahnya dengan lembut. Dunia di bawah sana tampak begitu luas dan asing, penuh cahaya dan kegelapan yang belum ia kenal.

Kesunyian Malam tergantung di pinggangnya, bilahnya membisu namun terasa hidup.

Liang Chen menatap pedang itu sejenak. Ia tahu betul bahwa pedang ini bukan sekadar alat; ia adalah saksi perjalanan, teman yang akan membawanya ke batas dunia ,  atau ke batas dirinya sendiri.

Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam. Dalam kegelapan pikirannya, ia melihat wajah Ayahnya, dengan senyum hangat yang dulu begitu ia kenal.

Ia mendengar suara lembut Ibunya, yang pernah berbisik agar ia hidup, tidak peduli seberapa besar penderitaan menunggunya. Kenangan itu tidak lagi melukai. Kini mereka adalah bara yang menjaga jiwanya tetap menyala.

Langkahnya mantap ketika ia mulai menuruni jalan batu. Setiap pijakan terasa berat, namun ada kejelasan di dalamnya. Jalan yang terbentang di depannya bukan jalan manusia biasa; itu adalah jalan darah dan keputusan, jalan yang menuntut harga bagi setiap kekuatan yang ingin ia capai.

Ia melewati hutan kecil di lereng gunung, tempat suara burung dan gemericik air bergema lembut. Cahaya pagi mulai menembus dedaunan, menimpa wajahnya. Di saat itu, ia menyadari sesuatu ,  dunia yang dulu terasa begitu jauh kini terbuka luas di hadapannya.

Di kejauhan, ia melihat dataran hijau yang memanjang, tempat sebuah desa kecil berdiri samar di antara kabut. Mungkin bukan Desa Hijau yang ia kenal, tapi pemandangan itu cukup untuk membuat hatinya bergetar.

Di sanalah ia akan memulai ujian pertama di dunia nyata ,  ujian untuk membuktikan bahwa semua penderitaan yang ia alami bukanlah sia-sia.

Ia berhenti sebentar di jalan menurun, menatap langit. Cahaya matahari pertama menembus awan, menyalakan lembah di bawahnya seperti laut emas.

Dalam cahaya itu, bayangan tubuhnya jatuh panjang di tanah. Liang Chen menatap bayangan itu dengan mata tenang, lalu tersenyum samar.

“Mulai dari sini,” katanya pelan, “aku bukan lagi anak yang melarikan diri. Aku adalah pemburu yang berjalan di antara bintang dan darah.”

Angin gunung bertiup, membawa ucapannya pergi. Di balik awan, burung-burung berterbangan, dan suara lembah perlahan hidup kembali. Liang Chen melangkah ke depan tanpa menoleh lagi.

Di puncak, di dalam pondok yang kini sepi, Guru Kui Xing masih duduk di tempatnya. Ia menatap arah Liang Chen pergi, lalu meneguk araknya sekali lagi. Senyum kecil terukir di wajah tuanya.

“Pergilah, Asura Muda,” bisiknya perlahan. “Lihatlah dunia, dan lihat apakah jiwamu cukup kuat untuk menanggungnya.”

Angin bertiup kencang, dan untuk sesaat, kabut di sekitar pondok itu terbuka. Di langit, seekor elang melintas di antara awan, mengepakkan sayapnya tinggi, seolah membawa pesan dari gunung ke dunia fana di bawah.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!