Seorang pemuda berusia 25 tahun, harus turun gunung setelah kepergian sang guru. Dia adalah adi saputra.. sosok oemuda yang memiliki masa lalu yang kelam, di tinggalkan oleh kedua orang tuanya ketika dirinya masih berusia lima tahun.
20 tahun yang lalu terjadi pembantaian oleh sekelompok orang tak di kenal yang menewaskan kedua orang tuanya berikut seluruh keluarga dari mendiang sang ibu menjadi korban.
Untung saja, adi yang saat itu masih berusia lima tahun di selamatkan okeh sosok misterius merawatnya dengan baik dari kecil hingga ia berusia 25 tahun. sosok misterius itu adalah guru sekaligus kakek bagi Adi saputra mengajarkan banyak hal termasuk keahliah medis dan menjadi kultivator dari jaman kuno.
lalu apa tujuan adi saputra turun gunung?
Jelasnya sebelum gurunya meninggal dunia, dia berpesan padanya untuk mencari jalan hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 sang pengintai
Setelah Maudy menyelesaikan ritual membersihkan tubuhnya, langkah kakinya membawanya ke dapur. Pikirannya sudah terpatri pada satu menu penyelamat yang paling ia kuasai: mie instan. Itu adalah satu-satunya harapan untuk sarapan, sebab Maudy tidak terpikir sedikit pun bahwa rayan, sang pemilik rumah, sudah menyiapkan makanan. Dalam benaknya, ia berasumsi setelah memasak rayan pasti langsung kembali ke kamarnya, tenggelam dalam urusan pribadinya.
"Ini."
Tepat ketika ia tiba di ambang dapur, pandangannya langsung menangkap pemandangan yang membuat langkahnya terhenti. Di atas meja kayu sederhana, sudah tersaji lengkap: beberapa potong roti panggang yang hangat, sepiring nasi, dan lauk-pauk sederhana yang tertata rapi.
Kehangatan familiar yang sama kembali menjalar di dadanya, kali ini terasa lebih dalam. Senyum tipis dan tulus perlahan mengembang di bibir Maudy. Pemuda itu begitu perhatian kepadanya. Mereka tidak memiliki ikatan darah sedikit pun, namun perlakuan rayan jauh melampaui kebaikan seorang saudara.
"Kenapa dia begitu baik..."
Maudy berbisik lirih, jemarinya menyentuh permukaan meja yang masih agak hangat. Rona merah malu menjalar tipis di pipinya, bercampur dengan rasa bersalah yang menusuk. Rasa malu karena ia sudah menumpang dan justru bangun begitu siang. Rasa bersalah karena sebagai tamu—dan seorang wanita—seharusnya dirinyalah yang lebih dulu bangun untuk menyiapkan sarapan bagi pemuda yang telah menolongnya itu.
Ia menghela napas panjang, menenangkan gejolak di hatinya. "Dia begitu baik padaku," pikir Maudy, tekadnya mengeras. "Aku harus segera mencari pekerjaan agar bisa sedikit membantu keuangannya dan tidak terlalu merepotkannya."
Maudy tahu ia belum bisa kembali ke pekerjaan lamanya sebagai pelayan restoran. Saat ini, ia mungkin sedang dicari-cari oleh kedua orang tuanya. Selain itu, orang-orang suruhan pria tua itu pasti tidak akan menyerah begitu saja untuk menemukannya. Ia harus bersembunyi lebih dulu, setidaknya sampai situasi mereda.
Sementara itu, di dalam kamarnya, rayan baru saja merasa cukup meneliti isi dari kitab misterius pemberian gurunya. Ia memutuskan untuk keluar setelah samar-samar mendengar suara langkah kaki Maudy menuju ke arah dapur.
"Gadis itu. Sebaiknya aku melatihnya agar tidak menjadi seorang pemalas," gumam rayan dalam hati. Sudah dua hari gadis itu menginap di rumahnya, dan selama dua hari itu pula Maudy memiliki kebiasaan buruk: bangun terlalu siang.
Tok.
Tok.
Tok.
Tepat ketika rayan baru melangkahkan kaki keluar dari kamar, suara ketukan pintu dari depan terdengar.
"Permisi...!"
Tok.
Tok.
Tok.
"Permisi, apakah ada orang di dalam?"
Suara itu terdengar ragu.
"Alamatnya tidak salah, kok. Maudy memberiku alamat rumah ini? Tapi kok kelihatannya sepi sekali," lirih orang di luar.
Itu adalah Hani, gadis cantik yang merupakan teman dekat Maudy. Sebelumnya Hani telah menghubungi Maudy, dan kini ia langsung mendatangi alamat yang diberikan.
"Permisi... Maudy, apakah kamu ada di dalam?"
Hani mencoba mengetuk pintu sekali lagi. Namun, sebelum kepalan tangannya sempat menyentuh daun pintu, rayan kebetulan membukanya dari dalam. Alhasil, kepalan tangan Hani yang hendak mengetuk pintu justru tepat mengenai dada kiri rayan.
Buk.
Deg.
Rayan dan Hani terpaku, saling memandang untuk beberapa saat. Alis rayan sedikit terangkat karena terkejut sekaligus bingung, sementara mata Hani yang bulat membelalak karena terkejut. Suara rayan yang datar akhirnya menyadarkan Hani, dan ia menarik tangannya dengan cepat.
"Cari siapa?" tanya rayan tanpa sedikit pun ekspresi pada wajahnya.
"K-kamu... kenapa kamu membuka pintu secara tiba-tiba?" Bukannya menjawab, Hani justru melontarkan protes dengan wajah sedikit memerah, mungkin karena rasa malu.
"Kamu mengetuk pintu rumahku. Bukankah seharusnya aku memang membukanya?" ucap rayan, keningnya sedikit mengernyit. Baginya, ucapan gadis di depannya ini agak aneh.
"Tetap saja! Kamu kenapa harus membuka pintu tiba-tiba? Untung saja aku tidak memukul wajahmu," balas Hani dengan nada kesal yang dibuat-buat.
"Cari siapa? Dan ada perlu apa datang ke rumahku?" ulang rayan, suara dan tatapannya tetap dingin dan datar, membuat Hani langsung menatapnya lekat.
Maudy sebelumnya memang tidak memberi tahu dirinya tinggal bersama siapa. Maudy hanya memberinya sebuah alamat. Jadi, saat pemuda ini mengatakan 'rumahku', seketika pikiran Hani langsung berkelana jauh, membayangkan berbagai kemungkinan yang menarik.
"Oh, kalau begitu, apakah Maudy ada di dalam? Katakan padanya ada seorang gadis cantik ingin bertemu dengannya," Ucap Hani penuh kebanggaan. Ia sedikit membusungkan dadanya ke depan, berharap melihat ekspresi terpesona dari pemuda dingin di depannya.
Namun, jawaban rayan selanjutnya membuat Hani agak terkejut.
"Masuk dan temui saja di dalam. Kebetulan aku memiliki sedikit urusan," ujar rayan. Ia memang baru menyadari ada beberapa sosok yang diam-diam memperhatikan dirinya dari kejauhan. rayan langsung pergi, berbalik meninggalkan Hani yang diam terpaku dengan mulut sedikit terbuka, mendengar jawaban pemuda itu.
Hani baru tersadar bahwa pemuda itu bahkan tidak terlalu memperhatikannya.
"Cih... Pria aneh. Jelas-jelas ada wanita cantik sepertiku di depannya, tapi dia berlagak seolah tidak menyukai gadis cantik sepertiku," gumam Hani, bibirnya mengerucut sebal. Ia memang cukup memiliki rasa percaya diri yang besar terhadap penampilannya.
"Ah, sudahlah. Karena dia menyuruhku masuk, kenapa aku harus tetap diam di sini?" lirih Hani.
Ia pun perlahan masuk ke dalam rumah. Setibanya di dalam, ruangan yang tampak sangat kecil di mata Hani membuatnya langsung bisa mengamati dua kamar, jalan menuju dapur, dan kamar mandi.
"Kenapa sepi sekali," gumamnya lagi. Jika saja pemuda itu sebelumnya tidak keluar dari rumah ini, Hani akan mengira ia telah memasuki rumah hantu.
"Maudy... apakah kamu ada di dalam?" Hani mulai memanggil nama temannya.
Sedangkan Maudy sendiri, ia tampak asyik menikmati makanan seorang diri. Awalnya Maudy hanya ingin mencicipi sedikit saja, namun setelah ia merasakan masakan pemuda itu untuk yang kedua kalinya, lagi-lagi sulit bagi Maudy untuk berhenti. Maudy sampai tidak menyadari bahwa Hani terus memanggil namanya.
"Mmmpp... Ya Tuhan, makanan ini terlalu enak," lirih Maudy, mata terpejam menikmati setiap kunyahan daging sapi yang dimasak sederhana oleh rayan. "Rasanya ingin terus memakannya."
"Maudy... di mana kamu? Ini aku Hani, datang menemuimu!"
Panggilan Hani makin keras. Ia berjalan ke arah dapur, dan saat itu ia langsung meneriaki Maudy yang tampak asyik makan.
"Astaga, Maudy! Apakah pendengaranmu sedang bermasalah?"
"Uhuk! Uhuk!" Maudy sampai tersedak hebat, kaget mendengar suara Hani yang mengagetkannya.
Hani seketika tertawa terbahak-bahak melihat kondisi Maudy yang tersedak. Ia segera menuangkan air putih dan memberikannya kepada temannya.
"Ada apa denganmu? Aku juga pernah punya masalah, tetapi aku akan selalu melupakan masalahku saat sedang makan!" ucap Hani. Ia mengira Maudy makan sambil melamun, sehingga panggilannya tidak terdengar.
"Hani, apa yang kamu bicarakan? Sebaiknya kamu menjawab pertanyaanku, kenapa kamu tiba-tiba ada di sini?" ucap Maudy. Ia sama sekali tidak menyadari kapan Hani masuk, dan seharusnya Hani mengetuk pintu terlebih dahulu. Bagaimana kalau Kak ray tahu?
"Bodoh! Tentu saja aku datang untuk menemuimu," jawab Hani.
"Tidak, maksudku... kenapa kamu tidak mengetuk pintu terlebih dahulu? Dan bagaimana caramu bisa masuk?"
Melihat raut wajah kebingungan dari Maudy, Hani pun menjelaskan.
"Aku tadi sudah mengetuk pintu rumah, dan seorang pemuda membukanya, lalu dia menyuruhku untuk masuk menemuimu."
Maudy hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf 'O', lalu kemudian berkata kembali, "Eh, tunggu... lalu di mana Kak ray...?"
Jika pemuda itulah yang membukakan pintu, bukankah berarti pemuda itu tidak pergi keluar? Pikir Maudy. Ia awalnya mengira pemuda itu telah pergi setelah mempersiapkan makanan untuk dirinya.
Sedangkan Hani langsung menyipitkan matanya menatap Maudy. "Siapa Kak Ray yang kamu maksud? Apakah pemuda yang membuka pintu itu?"
Mendengar Maudy menyebut nama itu begitu akrab, rasa penasaran Hani langsung tumbuh subur. Pasalnya, ia tahu Maudy tidak memiliki saudara laki-laki maupun perempuan.
"Ah, nanti aku akan menceritakan semuanya padamu. Sekarang biarkan aku menyelesaikan makananku terlebih dahulu," ucap Maudy.
Karena ia sudah terlanjur mengundang Hani datang, dan Hani sudah bertemu dengan pemuda itu, Maudy memutuskan akan menceritakan segalanya pada sahabatnya.
Hani pun langsung melihat ke atas meja berukuran satu meter itu. Ia melihat ada beberapa potong daging sapi bakar dan satu panci sayur sederhana, namun yang membuat Hani bingung adalah aroma masakan itu tampak begitu sedap, menggugah selera bahkan dari kejauhan.
"Emm... Hani, apakah kamu sudah makan?" tanya Maudy. Hani tampak diam, pandangannya terus mengarah pada potongan daging itu.
"Hani, jika kamu mau, makanlah. Kamu pasti akan terkejut merasakan rasanya," ucap Maudy, sedikit tersenyum usil melihat Hani tampak terus memandangi potongan daging bakar itu.
Glek.
Hani menelan ludah tanpa sadar. "Eh, tidak-tidak. Aku sudah makan, kok. Sebenarnya aku juga membawa beberapa makanan untukmu," jawab Hani. Ia sudah cukup berpengalaman dalam segala jenis makanan, tetapi melihat potongan daging bakar dan sayur sederhana di depan Maudy itu, entah mengapa hatinya terasa tergelitik untuk mencoba.
"Jangan berbohong, aku tahu kamu belum makan!" tegas Maudy. "Duduk dan makanlah. Aku pastikan kamu tidak akan mau berhenti memakannya, terutama daging bakar ini," ucap Maudy sembari menggigit sepotong daging di tangannya.
"T-tidak perlu. Aku akan mengambil makanan yang kubeli sebentar di mobil," kata Hani, meskipun melihat makanan itu tampak enak. Namun, Hani tidak terbiasa makan daging yang dibakar sederhana seperti itu. Menurutnya, meski memiliki aroma yang enak, bentuknya terlalu sederhana untuk menghasilkan rasa yang luar biasa..
"Oh, baiklah. Kalau begitu cepat ambil, dan kita makan bersama," kata Maudy, mendapat anggukan dari Hani. Hani pun langsung berjalan keluar.
* * * * *
Di luar rumah rayan, tepatnya di seberang jalan berjarak sekitar dua puluh meter, tampak dua orang berpakaian rapi mengenakan jas hitam, bersembunyi di balik pohon. Pandangan mereka terus mengarah ke arah rumah rayan.
"Luhut... Apakah menurutmu kita harus menghampiri nona?" ucap salah satu pria berjas hitam itu pada rekannya.
"Tidak perlu. Kita lihat saja terlebih dahulu," jawab rekannya yang bernama Luhut. Mereka melihat pemuda yang sebelumnya mengobrol dengan Nona Hani berjalan menjauh ke arah belakang rumah.
"Tapi... bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Nona di dalam?" ucap rekannya kembali, wajahnya menunjukkan sedikit kekhawatiran.
"Jangan terlalu meremehkan Nona Muda. Lagipula, sebelumnya Nona mengatakan hanya ingin pergi menemui temannya. Jadi, kita tunggu saja di sini," jawab Luhut dengan nada datar dan tegas.
Hingga tiba-tiba, sebuah suara yang sangat dekat mengejutkan mereka berdua.
"APAKAH KALIAN SEDANG MENGINTAI SESEORANG?"