NovelToon NovelToon
Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:BTS / Selingkuh / Cinta Terlarang / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Adrina salsabila Alkhadafi

Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34: Gua Dingin dan Pengakuan di Tengah Kabut

​Luna tiba di gua kecil itu, lututnya lemas karena kelelahan. Gua itu terasa dingin dan berbau lembap, tetapi terlindung dari angin. Ia meringkuk di sudut, ranselnya menjadi bantal yang tipis. Ia tahu, Raka akan menemukan tempat ini. Ini adalah satu-satunya tempat yang memberinya rasa aman dari masa lalu, dan Raka mengetahui setiap detail masa lalunya.

​Ia mendengar suara. Bukan hanya ranting yang patah, tetapi langkah kaki yang disengaja. Suara yang tidak lagi bersembunyi.

​"Dia tahu aku ada di sini," bisik Luna. Raka tidak lagi bermain kucing-kucingan; ia sedang mendeklarasikan penemuan.

​Luna meraih batu kecil di sampingnya. Ia tidak akan melawan Raka secara fisik—itu sia-sia—tetapi ia akan mempertahankan martabatnya.

​Cahaya senter yang tajam menusuk kabut di mulut gua. Siluet Raka muncul, tampak seperti hantu rapi yang tidak pantas berada di lingkungan alam liar. Jasnya kini kotor lumpur, rambutnya basah. Namun, matanya berkilat tajam, fokus penuh kemenangan.

​"Aku selalu tahu kamu akan ada di sini, Luna," suara Raka bergema, tidak ada lagi kelembutan; hanya otoritas. "Mengapa kamu suka sekali memilih tempat yang penuh memori?"

​Luna tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, matanya dipenuhi campuran amarah dan rasa lelah yang mendalam.

​Raka berjalan masuk, senternya menerangi setiap sudut, hingga menemukan Luna yang meringkuk.

​"Kamu membuatku harus berbohong lagi pada Naira. Aku harus mengatakan padanya bahwa urusan mendesak ini adalah klien baru di area terpencil. Kamu mengacaukan jadwal pekerjaanku."

​"Kamu bisa kembali, Mas. Aku tidak menahanmu," jawab Luna, suaranya serak. "Aku hanya meminta kamu meninggalkan aku."

​Raka tersenyum tipis. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya: Lukisan abstrak yang Luna tinggalkan di bawah batu.

​"Kamu meninggalkan petunjuk yang sangat jelas," ujar Raka, memegang lukisan itu. "Hitam dan Merah. Hitam yang menguasai. Itu adalah dirimu yang sebenarnya, Luna. Kamu tidak bisa melukis tanpa kegelapan itu. Kamu tidak bisa hidup tanpa konflik. Kenapa kamu menyangkalnya?"

​"Lukisan itu adalah perpisahan, Mas. Aku meninggalkan kegelapan itu di belakang," balas Luna.

​"Tidak," Raka menggeleng. "Itu adalah permintaan. Kamu meninggalkannya agar aku tahu kamu masih mencariku. Kamu ingin aku melihat betapa marahnya kamu dan betapa kamu membutuhkan konfirmasi dariku. Kamu bosan dengan kebebasan, Luna. Kamu lebih suka diatur oleh kebenaran yang kotor daripada diatur oleh kebohongan yang polos."

​Raka menaruh lukisan itu di tanah, lalu maju selangkah. Matanya menuntut.

​"Kamu ingin mengakhiri ini karena aku menjadikannya strategis. Kamu merindukan kejujuran gila yang dulu kita bagi. Baik. Kita akhiri strategi itu sekarang."

​Raka menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak mencintaimu, Luna. Aku tidak pernah mencintaimu. Aku membutuhkan pengkhianatanmu untuk merasa nyata. Aku butuh kamu tahu betapa buruknya aku agar aku bisa menjadi sempurna bagi Naira."

​Pengakuan itu menusuk Luna lebih dalam daripada pisau. Itu adalah kebenaman yang dingin, kejujuran yang menelanjangi. Luna telah mencari cinta, dan ia hanya menemukan alat.

​"Dan aku," balas Luna, air matanya akhirnya menetes, bercampur dengan kotoran di pipinya. "Aku membencimu karena kamu benar. Aku butuh kegilaan itu. Aku membencimu karena kamu membuatku kecanduan menjadi versi terburuk diriku. Tapi aku tidak bisa melanjutkan ini, Mas. Aku tidak bisa melihat kehamilan Kak Naira dan tahu bahwa aku membawa bau tanah liat dan bau dosamu di bawah semua perhatian palsu itu."

​Raka memandangnya, melihat air mata yang nyata, ketakutan yang nyata, dan kelelahan yang nyata. Bukan akting. Luna benar-benar ingin keluar.

​Ia menyadari, jika ia memaksanya kembali sekarang, Luna akan hancur, dan kehancuran itu akan merusak sandiwaranya. Raka tidak membutuhkan Luna yang hancur; ia membutuhkan Luna yang berfungsi sebagai alibi.

​Raka mundur, tatapannya beralih dari amarah menjadi perhitungan yang dingin.

​"Baik," Raka menghela napas. "Kamu ingin berhenti? Aku akan membiarkanmu berhenti."

​Raka melemparkan kunci Unit 903 ke lantai gua. Kunci itu berdeting, suara yang memutus ikatan mereka.

​"Ambil. Kau bebas. Tidak ada lagi Unit 903. Tidak ada lagi keramik. Aku akan kembali ke Naira. Aku akan menjadi ayah yang sempurna. Dan kamu, kamu akan tetap berada di sini, menjadi seniman yang menghilang untuk mencari jati diri."

​Raka mengeluarkan dompetnya, mengeluarkan selembar uang tunai tebal. Ia melemparkannya ke samping Luna.

​"Itu uang untuk hidupmu selama enam bulan. Jangan pernah hubungi aku. Jangan pernah hubungi Naira. Enam bulan dari sekarang, aku akan meminta Naira mencarimu, dan kamu akan kembali sebagai 'Luna yang sudah sembuh' dan siap menjadi tante yang sempurna."

​Raka menoleh, melihat lukisan itu lagi, lalu menatap Luna.

​"Ini adalah pengakhiran yang kamu inginkan, Luna. Dengarkan aku baik-baik: Kamu tidak lagi menjadi bagian dari strategiku. Tapi kamu akan menjadi bagian dari alibi masa depanku. Jaga dirimu. Dan jangan pernah berikan petunjuk lain."

​Tanpa kata lain, Raka berbalik, meninggalkan senternya di tanah. Ia berjalan keluar dari gua, kembali menembus kabut, meninggalkan Luna sendirian dalam gelap dengan kunci, uang, dan pecahan lukisannya.

​Luna menunggu suara mobilnya menjauh. Ia menunggu hingga keheningan alam kembali menelan semuanya. Ia meraih kunci Unit 903. Kunci itu dingin. Kunci itu tidak lagi menuju dosa, tetapi menuju janji kosong tentang masa lalu.

​Luna kini benar-benar bebas. Namun, kebebasan itu terasa lebih berat dan lebih dingin daripada ikatan yang pernah ia miliki.

1
kalea rizuky
benci perselingkuhan apapun alesannya sumpah eneg bgg
putri lindung bulan: iya kk, aku juga benci,tapi mau apalagi,nasi sudah jadi bubur
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!