NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Status: sedang berlangsung
Genre:Anime / Reinkarnasi
Popularitas:618
Nilai: 5
Nama Author: Lidelse

Reni adalah pemuda pekerja keras yang merantau ke kota, dia mengalami insiden pencopetan, saat dia mengejar pencopetan, dia tertabrak truk. Saat dia membuka mata ia melihat dua orang asing dan dia menyadari, dia Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidelse, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tekanan Mental

Lyra dan Gilga segera kembali ke tempat mereka meninggalkan dua anak kecil itu. Lyra menyerahkan kucing jingga itu, menerima ucapan terima kasih polos dari anak-anak tersebut, dan segera menarik Gilga menjauh. Lyra telah melepas jubah putih panjangnya dan memberikannya kepada Gilga.

"Pakai ini,"

perintah Lyra.

"Setidaknya tutupi noda darah dan Mana merah itu. Kita harus terlihat sempurna saat bertemu Nenek."

Gilga mengangguk, mengenakan jubah putih Lyra yang kontras dengan kaos merahnya yang sobek, terlihat seperti seorang bangsawan yang baru saja bertarung dalam duel rahasia.

Mereka berhasil menyelinap kembali ke Penginapan Alexa Noviert tanpa menarik perhatian resepsionis. Namun, keberuntungan mereka berakhir di pintu suite mereka.

Marlina sudah menunggu mereka. Dia duduk di sofa dengan postur yang sempurna, secangkir teh di tangannya, tetapi matanya menatap tajam ke arah jubah putih Lyra yang kini dikenakan Gilga. Aura politiknya memenuhi ruangan.

"Kalian terlambat dua jam,"

kata Marlina, suaranya tenang tetapi dingin.

"Dan kenapa jubahmu dipakai oleh Gilga, Lyra? Dan kenapa dia memiliki noda darah di dadanya?"

Lyra melangkah maju, posturnya sempurna, wajahnya kembali tanpa ekspresi dan sangat terkontrol.

"Gilga menolong seorang wanita tua yang dirampok di gang kecil, Nenek,"

lanjut Lyra dengan suara yang sedikit bergetar karena drama yang dibuat-buat.

"Pencuri itu mencoba melukai wanita tua itu dengan pisau shrapnel dari Mana kotor. Gilga berhasil melindungi wanita itu, tetapi sedikit terluka dalam prosesnya."

Lyra menunjuk jubah putih di bahu Gilga.

"Jubah Lyra hanya untuk menutupi luka agar tidak menarik perhatian penjaga Sincorta. Kami tidak ingin menimbulkan keributan."

Marlina menyipitkan mata. Ia tahu Gilga adalah Archmage Darah yang brutal dan pasti terlibat dalam kekerasan. Tapi Gilga sebagai seorang pahlawan?

Gilga, si Kucing Pintar, segera memainkan perannya. Ia membungkuk dalam-dalam kepada Marlina.

"Maafkan saya, Nenek,"

kata Gilga dengan nada hormat yang dalam.

"Saya tidak bisa membiarkan wanita renta itu terluka. Saya harus bertindak. Saya pastikan luka itu tidak serius dan pencuri itu sudah kami serahkan ke penjaga distrik terdekat."

Marlina menghela napas. Dia merasa jijik dengan drama itu, tetapi Lyra telah memberikan alasan yang tidak bisa disangkal tanpa investigasi penuh—dan Marlina tidak punya waktu untuk itu.

"Baik,"

kata Marlina, nadanya mereda.

"Aku tidak suka jika kalian berdua melakukan hal-hal heroik di gang-gang gelap, tetapi saya menghargai tindakan etismu, Gilga. Sekarang, bersihkan dirimu. Lyra, besok adalah hari terakhirmu. Aku ingin kau menghabiskan setiap menitnya untuk meninjau strategi aliansi. Tidak ada lagi jalan-jalan."

"Baik, Nenek,"

jawab Lyra dan Gilga serempak.

Suite Lyra: Nafas Lega

Marlina akhirnya pergi, dan kali ini, Lyra mengunci pintu dengan dua lapisan Mana tambahan.

Begitu pintu tertutup, Gilga melepaskan jubah putih Lyra dan melemparkannya ke sofa. Keduanya ambruk.

Lyra bersandar di dinding, menghela napas lega yang panjang.

"Aku tidak percaya dia membelinya."

"Aku adalah aktor yang hebat, Lyra. Dan kau adalah pendongeng yang ulung,"

balas Gilga. Ia berjalan ke kasurnya, mengambil handuk kecil, dan mulai membersihkan luka darah di dadanya yang sudah hampir tertutup sepenuhnya oleh Mana-nya sendiri.

Lyra menatap Gilga. Malam sudah larut, dan besok adalah hari terakhir mereka. Lyra berjalan ke kasur Gilga.

Tiba-tiba, tanpa peringatan, Lyra berlari kecil dan menghantam Gilga dengan badannya, membuat Gilga kehilangan keseimbangan. Gilga, yang sedang fokus membersihkan lukanya, terjatuh di kasur dengan Lyra menindihnya.

"Aku bilang jangan berani-berani menyentuh Lyra-ku yang sempurna,"

sindir Lyra, mengulang kata-kata Gilga di bar, wajahnya kini berjarak sangat dekat.

Gilga, yang terkejut, mengeram, tetapi tidak melawan. Ia hanya membiarkan Lyra menindihnya, Mana-nya merespons dengan kehangatan yang akrab.

"Kau berani menggodaku, Cousin?"

tanya Gilga dengan nada rendah, matanya yang merah menatap intens ke mata Lyra.

Lyra tersenyum tipis.

"Aku hanya memastikan kita berdua rileks sebelum hari terakhir pelatihan. Besok adalah hari terakhir kita punya waktu. Kita harus bicara."

"Baiklah, Lyra-ku yang sempurna,"

Gilga menyerah.

"Bicaralah."

Lyra mengubah posisinya, berbaring di samping Gilga, menatap langit-langit.

"Akademi,"

kata Lyra.

"Aku sudah berhasil menyembunyikan levelku di Mage. Ini bagus. Tapi tantangan satu tahun dari Papa—itu akan sulit."

"Tidak sulit. Mustahil,"

koreksi Gilga.

"Kecuali kau menggunakan Temporal Leap untuk memanipulasi waktu belajarmu, yang akan menarik perhatian yang salah."

"Aku tidak akan memanipulasi waktu,"

janji Lyra.

"Aku akan menggunakan kecepatan berpikir dan Mana-ku. Yang aku khawatirkan adalah Valerius. Dia tahu aku datang. Dia tahu aku akan mencarinya. Dia pasti punya perangkap di Akademi."

Lyra menoleh ke Gilga.

"Kau harus menjadi mata dan telingaku di sana, Gilga. Kau harus menggunakan koneksi Rabiot-mu di Distrik Sona dan Akari untuk melacak gulungan Sihir Jiwa. Aku tidak bisa melakukannya dari dalam Akademi. Kau bisa, kan?"

Gilga mengulurkan tangan, menyentuh pipi Lyra.

"Aku datang ke Sincorta untukmu, Lyra. Aku akan mendapatkan gulungan itu. Dan jika Valerius mencoba menyentuhmu, aku akan membunuhnya, dan Nenek Marlina harus menerima konsekuensinya."

"Tidak membunuh. Hanya melumpuhkan dan mempermalukan,"

balas Lyra.

"Aku yang akan membongkar kejahatannya di depan umum. Aku yang akan menjadi penyelamat Kerajaan, Gilga. Bukan hanya seorang siswi Archmage biasa."

Pagi terakhir sebelum memasuki Akademi Elorick. Sinar matahari pagi menembus celah gorden emas, menerangi suite mewah itu. Gilga sudah bangun dan sedang melakukan meditasi Mana, duduk bersila di sudut ruangan. Lyra sudah rapi, mengenakan pakaian latihan yang nyaman, berdiri di depan cermin rias.

Lyra menyisir rambut pink-nya yang panjang dengan gerakan yang terampil, pikirannya fokus pada jadwal padat yang Marlina siapkan.

Tiba-tiba, tangannya berhenti. Lyra menatap pantulannya.

Ia merasakan keanehan yang mendalam. Archmage yang cerdas, ahli strategi yang kejam, tetapi...

Lyra menjatuhkan sisirnya. Sisir itu berdentang pelan di atas marmer. Lyra segera memegangi kepalanya dengan kedua tangan.

"Sial,"

bisik Lyra, suaranya dipenuhi kecemasan yang tiba-tiba.

"Aku lupa aku adalah Reni, tapi... Bahkan suaraku yang asli tidak ku ingat. Apakah aku ini memang Reni yang dulu?"

Lyra mencoba mengingat suara aslinya, penampilan aslinya, ambisi aslinya sebagai pemuda. Semuanya terasa kabur, seperti mimpi yang sangat jauh. Lyra Elara Astrea telah mengambil alih.

Pikirannya langsung melompat ke momen tadi malam:

tangan Gilga yang menyentuh pipinya, kehangatan yang ia rasakan.

"Ahhh, sial,"

desis Lyra, wajahnya kembali sedikit memerah.

"Aku tidak belok. Aku tidak mungkin tertarik pada Gilga. Aku adalah Reni. Ini hanya efek hormon dan trauma politik. Ya. Hanya itu."

Saat Lyra bergumul dengan krisis identitasnya, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Tiba-tiba, ruangan di sekitar Lyra menjadi gelap. Bukan karena gorden tertutup, tetapi cahaya Mana di sekitarnya terserap. Gilga, yang sedang bermeditasi, seketika membuka mata merahnya, Mana-nya tegang.

Lyra membuka matanya lebar-lebar.

Ia tidak berada di kamar mewah itu. Ia berada di ruang hampa yang luas, dikelilingi oleh kegelapan total. Di hadapannya, melayang sebuah sosok berwujud gelap—tidak memiliki bentuk fisik yang jelas, tetapi memancarkan aura yang sangat tua dan dingin, dengan kilatan ungu samar di pusatnya.

Lyra, secara naluriah mengaktifkan Mana, tetapi Mana-nya terasa lambat dan tidak berdaya di hadapan entitas ini.

"Siapa kau?"

tanya Lyra, suaranya dipenuhi otoritas seorang Archmage, meskipun ada ketakutan yang tersembunyi.

Sosok itu tidak memiliki mulut, tetapi suaranya bergema langsung di benak Lyra, terasa seperti es yang pecah.

"Aku bukan siapa-siapa yang perlu kau tahu. Aku hanyalah cerminan dari apa yang kau sembunyikan."

Aura ungu itu berdenyut.

"Kau terlalu fokus pada Temporal Leap, Archmage muda. Kau membangun benteng, tetapi melupakan fondasimu."

Lyra merasakan Mana-nya tersedot, semakin terancam.

"Apa maksudmu?"

Sosok itu mendekat. Dinginnya menembus Lyra hingga ke tulang.

"Kau sudah kehilangan jiwamu yang dulu, Reni. Kau telah membiarkan Lyra Elara Astrea memakan habis Reni. Mana-mu melayang, ambisimu mendominasi, tetapi hatimu... sudah terbiasa dengan kebohongan dan kemewahan."

Sosok itu tertawa, suara yang menusuk.

"Kau tidak mengingat suaramu yang dulu? Itu karena jiwa Reni sudah terdistorsi oleh kehidupan barunya. Kau adalah Lyra sekarang. Ambisimu, kebanggaanmu, ketakutanmu akan sangkar... itu semua adalah milik Lyra."

Sosok ungu itu mulai memudar, meninggalkan satu pesan terakhir yang menusuk.

"Ini adalah mentalmu, Lyra. Archmage yang terbelah. Kau harus memilih, Jadilah Reni yang idealis, atau Lyra yang sempurna. Sebelum salah satu dari mereka menghancurkan yang lain."

Seketika, kegelapan menghilang. Lyra terengah-engah, kembali berdiri di depan cermin kamar mewahnya. Sisirnya masih tergeletak di lantai.

Gilga, yang kini berdiri di belakang Lyra dengan Mana merahnya terkendali, menyentuh bahunya.

"Lyra? Ada apa? Mana-mu bergejolak hebat, dan kau menjerit dalam diam. Apakah kau baik-baik saja?"

tanya Gilga, suaranya khawatir.

Lyra menoleh ke Gilga. Matanya hijau zamrudnya tampak liar. Dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Dia hanya bisa tersenyum tegang dan mengambil sisirnya.

"Tidak apa-apa, Gilga,"

kata Lyra, suaranya terdengar terlalu tenang.

"Aku hanya sedang memikirkan strategi untuk Akademi. Aku harus fokus. Aku harus membuktikan bahwa aku tidak akan membuang-buang waktu di Sincorta. Aku harus menjadi Lyra yang sempurna."

Namun, di dalam hatinya, benih keraguan telah tertanam. Mental Archmage yang terbelah. Lyra tahu, ancaman terbesar baginya bukan Valerius, melainkan dirinya sendiri.

Tiga hari berlalu. Lyra dan Gilga telah menuntaskan pelajaran Etiket, strategi politik dasar, dan penguatan mental. Hari ini adalah Hari Penyambutan di Akademi Elorick, yang terletak di jantung Distrik Alexa, Middle Grail.

Lyra, mengenakan seragam Akademi barunya, berdiri di samping Gilga. Mereka telah meninggalkan kereta Marlina, memilih untuk berjalan kaki ke gerbang utama Akademi untuk mengamati lingkungan.

Kompleks Akademi Elorick adalah pemandangan yang menakjubkan—bangunan-bangunan neo-klasik yang elegan, dikelilingi taman Mana yang terawat sempurna, dan aura ribuan Archmage muda yang bersemangat.

Saat mereka mendekati gerbang, sebuah kereta kuda mewah dengan lambang Elemendorf yang lebih besar dan lebih kuno daripada lambang Marlina, melaju perlahan dan berhenti tepat di depan mereka.

Pintu kereta terbuka, dan seorang pria dengan aura Mana yang menenangkan dan otoritatif melangkah keluar.

Itu adalah Duke Eminan Von Elemendorf, Kakek Lyra, salah satu petinggi Kerajaan yang tinggal di Heaven Grail. Lyra sudah sembilan tahun tidak bertemu Eminan secara langsung, sejak sebelum reinkarnasinya diakui.

Lyra terpaku. Ia mengamati Eminan—pria itu sama sekali tidak ada perubahan di bagian fisiknya. Eminan terlihat abadi, memancarkan kebijaksanaan dan kekuasaan yang telah teruji waktu.

Eminan tersenyum lembut, matanya yang bijaksana memancarkan kehangatan yang tulus.

"Lyra, Gilga. Sudah lama sekali Kakek tidak menemui kalian berdua,"

sapa Eminan, suaranya dalam dan penuh kasih.

Eminan melangkah mendekati Lyra, mengulurkan tangannya, dan menangkupkan pipi Lyra.

"Aku sangat bangga padamu, cucuku,"

kata Eminan, matanya berbinar.

"Aku ingin mengucapkan terima kasih, atas apa yang kau lakukan sembilan tahun lalu."

Eminan menarik tangannya dan menatap Lyra dengan penuh rasa hormat yang mendalam.

"Kau menciptakan Langkah Kuantum yang membuat proses pengambilan dan penambangan kristal kelas tinggi di wilayah-wilayah sulit menjadi sangat gampang. Itu membuat ekonomi Kerajaan Elemendorf tumbuh drastis. Kau menyelamatkan banyak nyawa dan membuat Kerajaan kita lebih stabil. Aku sangat bangga padamu, Lyra."

Pujian dari seorang Duke yang dihormati di Heaven Grail itu membuat Lyra merasakan gelombang kepuasan, mengalihkan sejenak krisis identitasnya. Ia bukan hanya gadis bangsawan biasa; ia adalah aset yang diakui.

Eminan kemudian mengalihkan pandangannya ke Gilga, senyumnya semakin lebar.

"Dan kau, Gilga Von Rabiot. Aku mendengar kau sudah menjadi Archmage di usiamu sekarang. Kau adalah kebanggaan Rabiot, dan aku bangga memanggilmu cucuku. Aku tahu kau akan menjadi pelindung yang tangguh bagi Lyra di sini."

Gilga, yang biasanya sinis, hanya bisa mengangguk hormat di hadapan Duke Eminan, menunjukkan sisi hormatnya.

"Terima kasih, Kakek Eminan. Saya akan memastikan Lyra tidak mendapat masalah."

Eminan tertawa.

"Bagus. Sekarang, pergilah. Hari ini adalah Kualifikasi Kelas. Tunjukkan pada Akademi Elorick kenapa keturunan Elemendorf yang sebenarnya tidak pernah membuang-buang waktu."

Eminan menaiki keretanya, meninggalkan Lyra dan Gilga dengan beban ekspektasi dan kebanggaan yang baru. Lyra menatap gerbang Akademi, tekadnya semakin kuat.

Kereta kuda Duke Eminan bergerak menjauh dari gerbang Akademi Elorick, melaju perlahan menuju Heaven Grail. Di dalam kompartemen mewah, Duke Eminan duduk bersantai, puas setelah menyaksikan cucu-cucunya.

Di seberangnya duduk seorang pria paruh baya, mengenakan pakaian bangsawan kelas atas dengan lambang Faksi Pertahanan Kerajaan. Pria itu, bernama Luis, adalah teman lama dan penasihat tepercaya Eminan.

Luis menghela napas, mengagumi.

"Keturunan Elemendorf memang luar biasa, Eminan. Archmage Lyra dan Gilga, keduanya sudah mencapai puncak kekuatan di usia mereka yang masih sangat muda. Sejak runtuhnya Olympus dan jaya nya Elemendorf, rasanya kita belum pernah melihat potensi sebesar ini."

Eminan mengangguk, matanya menatap ke kejauhan, ke arah menara-menara Akademi. Ekspresinya melankolis, dipenuhi ambisi yang tak terpuaskan.

"Archmage saja belum cukup, Luis,"

kata Eminan, suaranya pelan dan berat, tetapi penuh otoritas.

"Di zaman ini, untuk benar-benar mengamankan masa depan Sincorta, keturunan Elemendorf harus mencapai tingkat Sage."

Luis, yang merupakan Archmage berpengalaman, seketika tersentak. Tingkat Sage adalah tingkat sihir tertinggi—tingkat pertama.

"Sage?"

Luis meletakkan cangkir tehnya dengan keras.

"Eminan, kau bercanda! Itu adalah tingkatan yang setara dengan dewa! Tingkatan sihir tertinggi, di mana seseorang dapat memanipulasi hukum alam sesuka hati! Kita belum pernah melihat Sage aktif di kerajaan kita selama lima abad!"

Luis mengusap dahinya.

"Racel adalah seorang Dewa Pedang, itu adalah puncak kekuatan. Kau sendiri adalah salah satu Archmage paling dihormati di militer. Tetapi Sage... itu melampaui batas mortalitas, Eminan."

Eminan tersenyum tipis, senyum yang menunjukkan harapan dan keyakinan mutlak.

"Mungkin benar,"

balas Eminan, suaranya kini dipenuhi keyakinan seorang pemimpin visioner.

"Tapi lihat Lyra. Dia bisa melompati ruang dalam sekejap mata. Dia memiliki kecepatan berpikir yang melampaui logika."

Eminan mencondongkan tubuh ke depan, matanya yang bijaksana bersinar dengan cahaya ambisi Elemendorf.

"Aku percaya, Luis. Suatu saat nanti, keturunan Elemendorf akan mencapai tingkatan itu. Mereka akan menjadi Sage. Dan pada hari itu, kita tidak perlu takut pada Dewa Pedang dari Kastil manapun, atau ancaman dari luar dimensi. Kita akan menjadi kekuatan yang tak terbantahkan."

Kereta itu melaju menuju Heaven Grail, membawa ambisi rahasia Eminan yang jauh melampaui apa yang Lyra atau Marlina bayangkan. Lyra tidak hanya dituntut untuk menjadi Archmage yang hebat, tetapi untuk menjadi Sage—tingkat dewa.

1
Anonymous
ceritanya wahhh, sih. cuma kayaknya penulisan nya bisa lebih emosional lagi
Anonymous
gila plot twist nya
Moge
episode 4 udah mulai seru jir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!