Serafim Dan Zephyr menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dari awal Serafim tahu Calon suaminya sudah mempunyai pacar, dan di balik senyum mereka, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blueberry Solenne, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 - Menunggu Jawaban di Tengah Hujan
(Serafim)
“Elaina,” suaraku bergetar, lidahku terasa kaku setiap kali mencoba berbicara. “Zephyr tahu aku tidak pergi bersama Liam.”
Jantungku berdetak kencang seperti berlari di dalam dada.
Elaina menoleh seketika, matanya membesar.
“Kenapa dia bisa tahu?” tanyanya dengan suara yang sama tegang.
“Dia menjemputku di bandara. Dia pasti akan datang ke sini,” jawabku dengan suara serak, tubuhku merasakan dingin yang menjalar meskipun ruangan cukup hangat.
Elaina menepuk pelipisnya dengan ekspresi frustasi.
“Ya Tuhan… bagaimana ini?”
Aku merasakan napasnya di belakang saat dia memelukku, lengannya terasa kuat namun lembut, mengusap punggungku dengan ritme yang menenangkan.
“Tenang, aku akan coba bicara dengannya,” katanya mencoba menenangkan.
Tak lama kemudian kemudian Liam datang. Elaina menyambutnya, lalu— Zephyr muncul di belakangnya, langkah kakinya terdengar berat di lorong. Detak jantungku semakin cepat, aku memeluk diriku sendiri tanpa sadar.
Suasana menjadi hening. Bayangan itu muncul di ambang pintu.
Aku membeku di sofa, tubuhku kaku seperti patung.
Elaina berdiri di samping Liam, tampak waspada dan siap mencegah jika Zephyr kehilangan kendali.
Zephyr melangkah perlahan ke arahku, lalu berhenti tepat di depanku. Matanya menatapku panjang, seolah membaca pikiranku dalam-dalam.
Tatapan itu membuat dadaku sesak, seperti ada tekanan yang meremas hati.
Suara beratnya pecah,
“Kenapa, Fim?”
Liam dan Elaina menegang, napas mereka membeku dalam ketegangan.
Aku hanya menunduk dan memilih diam. Kata-kata sulit keluar. Tubuhku lemah menahan semua tekanan ini.
“Tolong,” ia berujar dengan nada yang semakin tajam.
“Bicaralah padaku.”
Suaranya berubah menjadi sandaran, seolah tangan yang mencari pegangan di saat badai.
Ia menarik kursi dan duduk di hadapanku, wajahnya sulit dibaca.
“Fim, sampai kapan kau akan diam dan menghindariku?”
Aku berdiri mendadak, tapi sentuhan kuat tangannya menghalangiku, membuatku terhenti. Nafasku tertahan.
“Sebaiknya kau ikut pulang. Kita bicara di rumah,” katanya tegas.
Aku menatapnya, menolak dengan segala kekuatan yang tersisa.
“Aku tidak akan ke mana-mana,” jawabku pelan tapi penuh tekad.
Alisnya berkerut, tanda ketegangan yang meluap.
“Apa maksudmu?”
“Pulanglah, Phyr. Biarkan aku di sini.”
Suaraku gemetar tapi tegas.
Suaranya berubah dingin, seperti es yang membeku di dalam hati.
“Kemas barang-barangmu.”
Aku menepis tangannya dengan kasar, napas mulai tercekat.
“Tidak. Aku tidak mau pulang.”
Elaina turun tangan, suaranya penuh permohonan.
“Phyr… beri dia waktu, tolong. Dia membutuhkan waktu.”
Frustrasi Zephyr terdengar dalam suaranya yang parau.
“Dia sudah lama seperti ini padaku.”
Liam maju selangkah, rahangnya mengepal, tampak marah, tapi aku buru-buru menggeleng, memintanya jangan ikut campur.
Wajah Liam memerah, menahan amarah yang nyaris meledak.
Zephyr meraih tanganku kembali, lebih kuat.
“Lepaskan! Aku tidak mau!” aku berteriak, suara serak akibat benturan emosi.
Ia menarikku kasar, sementara aku tetap berdiri dengan kaki menancap tanah, menolak tarikan itu.
Liam tidak tahan lagi menahan amarahnya. “Phyr, jangan kasar! Kau tahu dia—”
Ia terhenti tiba-tiba, membuat napasku tersengal. Aku takut ia akan mengungkap sesuatu yang belum siap kudengar.
Zephyr menatap Liam dengan tajam, matanya menyala penuh curiga. “Apa maksudmu?”
“Dia butuh waktu,” desis Liam pelan.
“Biarkan dia di sini.”
“Dia istriku,” balas Zephyr dengan suara rendah, penuh kepemilikan sekaligus kepedihan. “Aku berhak membawanya.”
Ketegangan langsung menggema. Rahang Liam menegang dan gigi bergertak. Elaina buru-buru memegang lengannya agar ia tidak kehilangan kendali.
Zephyr melangkah mendekat lagi.
“Fim… kalau kau marah, katakan semuanya padaku. Jangan diam. Jangan menjauh. Aku juga punya masalah, tapi aku tetap datang ke sini.”
Aku menoleh, air mata mulai membakar pipi, panas dari dalam, tapi aku menelan semuanya, menolak untuk bicara.
Akhirnya, karena kelelahan dan frustrasi, Zephyr mengalah , tapi dia memutuskan menginap di rumah Liam. Ia menolak tidur di kamar, dan memilih tidur sendiri di ruang tengah.
Aku dan Elaina masuk kamar dengan langkah pelan.
“Elaina… kalau dia dengar aku muntah lagi, dia akan curiga,” aku berbisik panik.
Elaina menggenggam bahuku, tatapannya penuh pengertian dan ketegaran.
“Tenang, Fim. Aku ada di sini.”
Pelukannya memberi sedikit ketenangan.
...… 🟡🟡🟡… ...
Aroma sarapan hangat memenuhi dapur. Aku masih merasa pusing dan lemas sampai ke tulang.
Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunanku.
“Fim… maafkan aku—pulanglah bersamaku hari ini,” suara Zephyr terdengar lebih tenang, penuh harap.
“Aku tidak mau,” jawabku pelan.
Ia diam beberapa detik, kemudian berkata,
“Baiklah. Aku harus bekerja. Aku akan memberimu waktu seminggu lagi.”
Sentuhannya lembut saat mencium kepalaku. Dadaku sesak, penuh rindu dan kecemasan yang bercampur.
...…⚫⚫⚫… ...
(Zephyr)
Hari itu, Serafim seharusnya pulang ke Velston, aku sengaja menjemputnya ke bandara. Tapi... yang kutemui hanya Liam.
Sahabatnya itu mengatakan padaku, kalau Serafim tidak ikut berlibur. Kekecewaan di dadaku berubah jadi amarah.
Ketika aku berusaha membujuknya pulang, tapi dia tetap keras kepala dan menutup hatinya.
Aku kembali bekerja dengan berat hati, mencoba fokus pada tugas sebagai seorang menteri dan perusahaanku.
Saat makan siang, pikiranku melayang pada Serafim.
Apakah dia makan? Apakah dia baik-baik saja?
Tanganku meraih ponsel, tapi aku tahan. Dia pasti mengabaikanku seperti biasanya.
Tiba-tiba telepon berdering. Ayah mertuaku.
“Phyr, bagaimana keadaan Serafim? Liam bilang dia tidak masuk kerja. Ponselnya juga mati.”
Aku tahu Serafim berbohong pada Ayahnya.
“Serafim hanya kelelahan,” jawabku.
“Baiklah. Tolong jaga dia.”
Aku bersandar sejenak, dada terasa berat seperti batu, sulit bernapas. Sekretarisku memanggil karena rapat segera di mulai. Namun kepalaku penuh bayangan Serafim selama rapat.
Di lorong, ponsel bergetar lagi. Liam.
“Phyr… tolong jangan temui dia dulu. Dia belum siap.”
Aku berhenti, bersandar ke dinding, dada sesak, kepala berdenyut.
“Berapa lama lagi kau akan seperti ini, Fim?” gumamku pilu.
Rumah terasa sepi dan menyesakkan. Meski tahu Serafim tidak di sini, aku tetap membuka pintu kamarnya. Setiap sudut seolah merasakan kehadirannya yang hilang.
Kucing kami, Sezy, mengeong pelan.
Aku menggendong dan mengusap kepala bulunya yang lembut.
“Sezy… kau juga mencarinya?”
Akan tetapi... Ia memberontak dan berlari.
Aku tersenyum pahit. Dia seperti pemiliknya, bahkan kucingnya saja menghindariku.
Aku terus menatap Sezy. Setelah diberi minum, dia kembali tertidur di pojok.
Aku sempat memindahkannya ke rumahnya, tapi dia selalu berlari dan tidur di sudut dekat kursi.
Aku pun membiarkannya. Mungkin dia sedang mencari tempat yang nyaman, seperti Serafim.
Suara petir menggelegar, dan tak lama kemudian hujan turun. Dari rintik-rintik, kini semakin deras, dengan sesekali petir menggelegar lagi.
Setiap pulang kerja, aku hanya melihat Sezy bermain dengan mainannya. Namun, seiring waktu, dia mulai mau bermain denganku.
Kadang, saat aku sedang bekerja di ruanganku, dia akan naik ke pangkuanku atau hanya mendekat. Bahkan, saat aku membuka pintu utama, dia langsung menyambutku. Aku pun sering memberinya makan.
Aku duduk di ruang tengah, menunggu kopi dibuat. Bibi Naureen berbisik ada surat untukku di kamar.
Amplop cokelat tergeletak di meja, namaku tertulis rapi disana. Seolah mengundang rasa penasaran sekaligus ketakutan.
Napasku tercekat saat perlahan kubuka segel amplop, dan selembar kertas putih terlipat rapi terjatuh ke tanganku.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati yang tiba-tiba berdegup lebih kencang.
Mataku menatap isi surat itu—huruf demi huruf yang terasa seperti pukulan.
Gugatan perceraian.
Kata-kata itu membuat dadaku sesak, sebuah kenyataan pahit yang sulit kupercaya.
Hujan di luar semakin deras, suara gemuruh petir menambah sunyinya ruangan dan beratnya suasana.
Bersambung…
Dia jelas nganggep Zephyr tak lebih daripada alat/Doge/