Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
"Cantik!" Kang Sumar membasahi bibirnya sendiri, melihat kecantikan Ratih.
Juragan melirik, melempar sebuah kue kering buatan Ningsih tepat mendarat di antara kedua bibirnya yang terbelah. Kang Sumar tertegun, mengunyah kue itu dan menelannya.
Kang Sumar terentak saat kembali membuka mata dan menatap Ratih yang melangkah mendekati meja kerja juragan. Membeliak matanya, rasa tak percaya dengan sosok yang tengah berjalan anggun di hadapannya.
Tadi begitu cantik, tapi kenapa sekarang begini? Apa yang sebenarnya terjadi? Kang Sumar bergumam di dalam hati, bergidik tubuhnya sendiri.
Ratih berdiri beberapa langkah dari meja kerja juragan. Ia bahkan meminta anaknya yang baru berusia sepuluh tahun untuk membawa minuman yang ia buat sendiri. Gadis kecil itu meletakkan gelas yang dibawanya di hadapan juragan, tersenyum manis berharap sang juragan akan meliriknya.
"Silahkan diminum selagi hangat, Bapak!" ucapnya lembut, ia menatap juragan begitu lama tetap saja laki-laki itu tidak terusik sama sekali.
"Mmm!" sahut juragan tanpa melirik padanya sama sekali.
Senyum Sekar surut, apalagi saat tangan juragan bergerak mengusirnya. Ia berbalik, berlari keluar sambil menangis.
"Juragan! Sekar merindukan kamu, dia ingin bermain dengan bapaknya. Tolong luangkan waktu sebentar saja untuk menemani Sekar bermain. Dia anak Juragan!" protes Ratih tak terima anaknya seolah-olah tidak dianggap sama sekali.
"Dia anak saya atau bukan kamu tahu sendiri di dalam hatimu!" sahut juragan tanpa menatap Ratih yang mengernyit.
Deg!
Jantung Ratih berdentam, berdebar-debar tak karuan.
"Apa maksud, Juragan? Tentu saja dia anak kamu. Kalau bukan anak kamu, lalu anak siapa lagi?" ucap Ratih bergetar, air matanya berlinang menjatuhi pipi. Dia menangis pilu.
"Sumar, antar dia kembali ke kamarnya!" titah juragan enggan melihat air mata buaya yang mengalir di pipi Ratih.
Ratih tertegun, tubuhnya bergetar menahan emosi. Mata merah menyala seolah-olah ingin memangsa siapa saja yang ada di hadapan.
"Juragan, kenapa kamu selalu seperti ini sama saya? Bisa tidak kamu lihat saya? Saya juga istri kamu, Juragan!" ujar Ratih dengan perasaan yang berkecamuk.
Kang Sumar menatap bingung keduanya, pertengkaran rumah tangga ia tidak berani ikut campur.
"Tanyakan itu pada hati kamu sendiri! Kamu sendiri yang tahu jawabannya," sahut juragan menatap tajam pada Ratih.
Wanita itu mematung, setiap kali dia bertanya dan setiap itu juga juragan akan menjawab seperti itu. Ia berbalik dan pergi meninggalkan ruang kerja juragan dengan air mata berlinang. Juragan Nata menghela napas panjang, mengusir sesak yang menghimpit rongga dada.
Ia mengusap wajah, menutupnya beberapa saat. Bayangan-bayangan masa lalu menari-nari di pelupuk, rasa sakit dan kecewa semua hadir tanpa diminta. Ia membuka tangan, menatap suguhan di hadapannya satu per satu.
"Ugh! Kenapa tiba-tiba panas sekali? Tidak nyaman rasanya," gumam Kang Sumar sembari mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah.
Juragan membeliak, menatap kue kering yang dibawa Ningsih. Tanpa sadar tadi melemparnya ke mulut Kang Sumar. Juragan mendengus, betapa licik istri-istrinya itu. Ningsih bahkan mengulangi kesalahan yang dibuat Ratih.
"Kenapa kamu, Sumar?" tanya Juragan melirik laki-laki yang terus menarik-narik pakaiannya.
"Saya tidak tahu, Juragan. Tiba-tiba merasa kepanasan dan tidak nyaman. Apa Juragan tidak merasakan apa-apa?" ujar Kang Sumar menoleh pada sang tuan yang menahan senyum.
"Itu karena kamu yang tidak mendengar Wulan. Bukannya Wulan sudah mengatakan untuk tidak memakan apapun dari dapur lain? Kenapa kamu makan kue ini?" ujar Juragan menggoda orang kepercayaannya itu.
Kang Sumar membelalak, mencoba memuntahkan kue yang baru saja ia makan.
"Percuma, Sumar. Kue itu sudah larut di dalam darah kamu," katanya, tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Ju-juragan, tolong saya. Bagaimana cara menghilangkan racun ini?" Kang Sumar memohon, wajahnya memerah nyaris menangis.
"Saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolong kamu, Sumar. Carilah istri kamu, hanya dia yang bisa menolong kamu," ujar Juragan sembari menepuk bahu Kang Sumar.
"Tapi saya khawatir, sebelum kamu tiba di rumah kamu akan menyeret perempuan lain karena pengaruh obat ini dan menganggap dia istri kamu. Itu akan membuat kamu celaka!" lanjut Juragan serius.
Obat setan itu pernah membuat saya gila! Beruntung saat itu saya masih bisa mengendalikan diri saya, tapi Sumar ... saya khawatir dia akan mencelakai diri sendiri.
Sret!
Kang Sumar mengeluarkan belati dan mengangkat tangan kirinya.
"Saya harus tetap sadar sampai tiba di rumah!" katanya dengan yakin.
Dengan cara menyayat diri sendiri, rasa sakit akan membuat Kang Sumar tetap tersadar.
"Tidak perlu! Saya bisa menolongnya!" Suara itu membuat juragan membelalak.
Tidak!
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa