Sequel dari Sang Pemilik Cinta
Sebelumnya, mohon maaf karena cerita ini banyak mengandung bawang, karena memang saya membuat karya ini seperti nano nano, ada sedih, bahagia, komedi, dan kebucinan seorang suami pasa istrinya.
Novel ini bukan mengedepankan tentang poligami atau pelakor, tetapi ini tentang psikologi Mario yang di hantui rasa bersalah pada adik kembarnya semasa remaja, juga tentang seorang gadis bernama Inka yang broken home, psikologi seorang anak korban perceraian di usia yang sama.
Kemudian, mereka menikah karena kesepakatan yang saling menguntungkan.
Mario yang tak percaya dengan ikatan pernikahan dan memilih live together bersama pacar-pacarnya, di jodohkan oleh sang ayah dengan anak sahabat ayahnya. Mario menolak dan lebih memilih menikahi Inka, teman dari istri sahabatnya yang baru sekali bertemu.
Di tengah pernikahan yang mulai adanya benih-benih cinta, mereka di uji dengan ujian yang membangkitkan psikologi masa lalu keduanya muncul.
Jadi, siapkan mental kalian dan hanya yang berhati baja, yang bisa membacanya sampai end.
Terima Kasih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elis Kurniasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
karena kamu juga perempuan
Di lorong rumah sakit, Mario berlari menuju tempat yang di infokan Riska.
"Bunda.. Bagaimana keadaan Sasha?" Tanya panik Mario, setelah menemukan Riska yang duduk di ruang tunggu operasi.
Riska hanya menggeleng, karena memang dari tadi ia hanya menunggu dan belum ada kabar dari dalam sana.
Sasha sudah mengalami pecah ketuban, sehingga dokter menyarankan untuk melakukan tindakan operasi cesar secepatnya. Melalui persetujuan Mario via telepon, dokter pun langsung membawa Sasha ke ruang operasi.
Pintu ruang operasi terbuka.
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?"
"Istri dan anak bapak selamat, anda bisa melihatnya ke dalam."
Hanya Mario yang di izinkan untuk masuk ke dalam ruangan itu, dengan menggunakan pakaian yang di sarankan suster. Mario menghampiri Sasha dan mengelus rambutnya sambil berjongkok.
"Selamat Sasha, kamu sudah menjadi ibu." Kata Mario dengan suara lirih. Walaupun yang di lahirkan Sasha bukanlah anaknya, tetapi Mario merasa terharu dengan prosesi yang di lalui Sasha. Hatinya terenyuh melihat perjuangan seorang perempuan.
"Ini pak, putri anda cantik. Silahkan di gendong!" Mario menggendong bayi perempuan yang mungil itu, kemudian mengadzaninya.
Mario terus menatap bayi mungil itu dan mengelus pipinya. Ini kali pertama ia menggendong bayi, tangannya kaku. Ia melihat begitu malangnya bayi ini, jika ia tak bertanggung jawab. Bayi mungil ini tidak sepantasnya menanggung dosa orang dewasa yang haus akan nafsu.
"Pak Mario, dokter meminta anda untuk menemuinya sekarang!" Tiba-tiba suster mengambil alih bayi itu, padahal Sasha belum menggendongnya. Hanya baru melihatnya sekilas.
Sasha di dorong ke ruang perawatan, sedangkan bayinya di bawa suster.
"Sepertinya ada yang tak beres dengan bayi ini." Batin Mario, di saat ia melangkahkan kakinya menuju ruang dokter.
Mario memasuki ruangan dokter dan duduk berhadapan.
"Begini pak Mario, saya sudah melakukan beberapa analisa pada bayi anda. Sepertinya ada gangguan pada jantung bayi anda. Jantung bayi anda tidak memiliki serambi di bagian kirinya. Itu baru kemungkinan, besok kami akan menganalisa lebih lanjut, semoga perkiraan saya salah." ucapan dokter itu, mengejutkan Mario.
Mengapa Tuhan menghukum bayi mungil itu atas apa yang di lakukan manusia sampah, penjahat kelamin itu? Atau memang ada hikmah yang ingin Tuhan sampaikan padanya? Entahlah.
"Lakukan yang terbaik pada bayi itu, Dok."
"Lakukan apapun!" Mario menegaskan kembali ucapannya.
"Baik pak, saya akan lakukan yang terbaik. Jika rumah sakit ini tidak memungkinkan, kami akan pengirim bayi anda ke rumah sakit khusus jantung." Mario mengangguk patuh.
Dengan langkah gontai, Mario menuju kamar perawatan Sasha. Ia bingung apa yang harus di katakan, jika Sasha bertanya tentang putrinya.
"Ada apa, Yo? Mengapa Sasha tidak bisa menemui bayinya." Langkah Mario di hentikan oleh Riska, tepat di pintu masuk ruang perawatan.
Kemudian, Mario menceritakan semua percakapannya tadi bersama dokter yang menangani Sasha melahirkan. Riska menutup mulutnya, ia tak tahan dengan suara tangisnya. Begitu malang nasib putrinya itu, sejak kecil ia tak pernah merasakan kebahagiaan.
"Sejak kecil, Sasha selalu di hina teman-temannya karena mempunyai ibu seperti aku. Mempunyai ayah yang sering mondar mandir lapas. Kemudian beranjak dewasa, ia dilecehkan oleh ayah tirinya, hingga mengalami pemerkosaan dan kini anak yang di lahirkan..." Tangis Riska pecah, ia tak sanggup lagi untuk melanjutkan perkataannya.
Mario memeluk ibu mertuanya. Riska di giring keluar untuk bisa menangis sekencang-kencangnya.
"Rio, berjanjilah pada bunda, bahagiakan anak bunda." Sejenak Mario terdiam. Ia takut untuk tidak bisa membahagiakan Sasha, ia takut kebohongannya akan terungkap, karena sebaik-baik menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga. ia juga takut kehilangan Inka.
"Rio?" Riska menatap wajah Mario dan menunggu jawabannya.
"Rio akan lakukan yang terbaik untuk Sasha dan putrinya, Bun. Percayalah! Tidak akan ada hal buruk yang terjadi pada mereka."
Tak lama kemudian, Mario dan Riska menemui Sasha. Mario dengan telaten mengurus Sasha.
Hari demi hari, akhirnya Sasha mengetahui kondisi putrinya. Bayi mungil yang baru dua hari ia lahirkan, di pindahkan ke rumah sakit khusus jantung, karena setelah menginjak hari ke tujuh, bayi itu harus di operasi untuk memasang serambi jantung buatan pada bagian dada kirinya.
Sudah satu minggu Mario di Yogya. Sesekali ia pun menyempatkan diri untuk berkomunikasi dengan Inka. Beberapa kesempatan video call yang dilakukan Mario terhadap Inka, terlihat istrinya itu pun tengah sibuk dengan urusan butiknya.
"Kamu masih lama di sana?" Tanya Inka, ketika Mario menghubunginya lewat video call lagi.
"Kamu kangen?" Mario malah balik bertanya dengan senyum meledek.
Benar sekali, Inka tengah merindu. Ini adalah kali pertama Mario meninggalkan Inka lebih dari satu minggu. Biasanya, ia akan di bawa, jika Mario melakukan perjalanan bisnis yang membutuhkan waktu lebih dari satu minggu.
Inka menggeleng. "Bukan begitu, tapi mama dan papa juga menyanyaimu."
"Jangan bohong, bilang aja kamu yang kangen." Mario memancing Inka untuk mengatakan itu.
"Iya, aku kangen." Akhirnya kata-kata yang Mario inginkan keluar juga dari bibir manis Inka, terlihat jelas senyum Mario yang mengembang.
"Puas?" ledek Inka, membuat Mario tergelak.
Sungguh perempuan yang sekarang sedang berada di layar ponselnya itu, selalu bisa melerai penatnya, selalu bisa membuatnya tertawa dan sejenak melupakan setiap masalahnya.
"Inka, aku mencintaimu. Jangan pernah benci atas apa yang aku lakukan saat ini. Karena kamu juga perempuan, dan aku yakin kamu bisa memaklumi keputusanku." Mario berkata pada dirinya sendiri. Setelah panggilan video call itu selesai.