Update setiap hari!
Leon Vargas, jenderal perang berusia 25 tahun, berdiri di medan tempur dengan tangan berlumur darah dan tatapan tanpa ampun. Lima belas tahun ia bertarung demi negara, hingga ingatan kelam tentang keluarganya yang dihancurkan kembali terkuak. Kini, ia pulang bukan untuk bernostalgia—melainkan untuk menuntut, merebut, dan menghancurkan siapa pun yang pernah merampas kejayaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35 Kesalahpahaman
Suasana berubah hening. Puluhan pasang mata menatapnya penuh antusias. Degup musik terasa jauh. Semua menunggu kalimat berikutnya.
Leon membuka mulutnya. “Sebenarnya, aku adalah—”
“RAJA KRIMINAL BAWAH TANAH!” potong Jicko keras-keras, nyaris bersamaan dengan Jhino.
“YEAHHH!!”
Sorakan meledak lebih dahsyat dari sebelumnya. Gelas dilempar ke udara, meja dihantam, lantai berguncang oleh teriakan.
Leon tertegun sesaat, keningnya berkerut. “Bukan begitu—”
“Tentu saja begitu, Bos!” Jicko menepuk dadanya penuh semangat. “Kami semua sudah tahu sejak pertama kali Anda datang. Bos Leon tidak perlu berpikir kami akan takut!”
Jhino menambahkan, wajahnya berseri-seri. “Apapun masa lalu Bos, kami tetap menerimanya! Justru itu membuat kami semakin bangga!”
“Boss Leon! Boss Leon! Boss Leon!”
Kerumunan berteriak kompak, sorakan menggema, menggetarkan dinding MoonClub.
Leon menatap mereka sejenak. Bibirnya akhirnya melengkung membentuk tawa kecil, bukan karena bangga, tapi karena absurditas momen itu.
“Hah… terserah kalian mau menganggapku seperti apa…”
Sorakan kembali pecah, semakin gila. Lampu-lampu klub berkilauan, musik kembali menghentak.
Hari itu, sang Jenderal Perang yang dulu dikenal sebagai pembela negara dan penegak keadilan… kini dielu-elukan sebagai Raja Kriminal Bawah Tanah.
Dan anehnya, tidak ada seorang pun di ruangan itu yang melihatnya sebagai kehinaan. Bagi mereka, itu adalah kehormatan.
....
Di malam yang sama, di sebuah lantai tertinggi gedung kemiliteran Federasi, seorang pria tua berperawakan gagah berdiri tegak di depan kaca jendela besar. Kumis kotaknya rapi, seragam berhias medali bergemerlap di dada, sorot matanya menyimpan beban berat. Dia adalah Lord Marsekal.
Angin malam menyelinap masuk lewat jendela yang setengah terbuka. Pria tua itu menghela napas panjang, suaranya pecah lirih dalam monolog yang hanya bisa ia dengar sendiri.
“Jenderal Perang, Alexander Kruger… Setiap kali aku menatap ke cakrawala ini, aku teringat medan perang dulu. Saat peluru menghujani tanah, saat teriakan kematian menelan langit. Aku masih ingat betul, di momen ketika tubuhku hampir tumbang, kau datang. Kau menyelamatkan nyawaku dengan tanganmu sendiri.
Sejak hari itu, aku bersumpah—tak peduli apapun, aku akan selalu berdiri di sisimu.
Misi yang kau percayakan padaku… sudah kuselesaikan sampai titik akhir. Aku tidak pernah bertanya untuk apa, aku hanya menjalankan keinginanmu. Karena aku yakin, setiap langkahmu bukan demi kepentingan pribadi, melainkan demi bangsa ini.
Aku tidak mengerti, Jenderal, kenapa kau memilih membatasi distribusi minuman keras. Keputusan itu mengguncang ekonomi, membuat kebangkrutan dan kekacauan dimana-mana. Tapi aku melihat sesuatu yang tak dilihat orang lain. Berkat kekacauan itu, dana pemerintah yang tadinya ingin digunakan untuk perang kini dialihkan ke sektor ekonomi.
Artinya, untuk beberapa tahun ke depan… tidak akan ada perang. Dan itu berarti, ribuan nyawa terselamatkan berkatmu. Hanya dirimu, Jenderal Perang, yang mampu menyelamatkan bangsa dengan cara seaneh ini.”
“Tuan Albert, dengan siapa Anda bicara?”
Sebuah suara pelan dari anak buahnya membuyarkan lamunan.
Albert menoleh, lalu tersenyum tipis. “Tidak ada... Aku hanya mengenang masa lalu.”
Bawahannya menghela nafas panjang. "Tidak masalah mengenang masa lalu, tapi apa Anda sudah mengemasi barang-barang Anda? Hari ini—”
“Ya, ya…” Albert mengangguk. “Aku tahu, aku harus angkat kaki sekarang juga."
Ia kembali menatap ke luar jendela. Sorot matanya berkilat oleh keyakinan yang tak tergoyahkan.
'Aku akan selalu loyal kepadamu, Jenderal. Meski aku tidak lagi berdiri di barisan militer, meski seragamku telah dilucuti… aku hanya berharap satu hal: agar namamu tetap bersih, seterang bintang di langit malam ini.'
Albert mengepalkan tangannya erat. Kumis kotaknya bergetar, namun wajahnya tetap tegak berwibawa.
Hari itu, seorang perwira agung kehilangan jabatannya. Tapi meski begitu, kesetiannya tidak pernah pudar sedikitpun...
...
Beberapa hari kemudian, Lunebridge City, Perusahaan cabang Lunar Beauty.
Rapat yang menguras sisa tenaga akhirnya usai, para eksekutif perusahaan, mitra datang, dan para manager membubarkan diri dari ruang rapat, meninggalkan Evelyn sendirian di ruangan luas yang penuh tumpukan dokumen itu.
Evelyn menunduk, tangannya menekan kening, wajahnya tenggelam di balik jari-jarinya. Pikirannya berputar—tentang laporan penjualan, strategi ekspansi, hingga tuntutan media yang tak pernah berhenti.
Kini, dia adalah CEO dari cabang perusahaan kecantikan Lunar Beauty milik ibunya, namun semuanya tampak berat dan tidak berjalan lancar bahkan untuk Evelyn yang merupakan lulusan terbaik di universitasnya.
CLINK!
Untuk sejenak, keheningan itu pecah oleh bunyi gelas kaca yang diletakkan dengan hati-hati di atas meja. Aroma segar buah jeruk segera menyebar. Evelyn mendongak, matanya yang sedikit lelah menatap sosok pria muda berparas tampan, dia adalah Yonas, asistennya.
“Kau terlihat lelah, minumlah.” katanya lembut.
Evelyn mengerjap, memandang gelas jus itu dengan heran.
“Bukankah seharusnya kau membawakan kopi untukku begadang nanti?"
Senyum tipis muncul di wajah Yonas. “Kau sudah begadang beberapa hari ini.Tubuhmu butuh istirahat, bukan kafein. Kau harus tidur nyenyak supaya bisa tetap fokus.”
Evelyn menatapnya lama, seolah ingin mencari kebohongan di wajah itu. “Apa… terlihat jelas?”
Yonas mengangguk pelan. “Ya. Bahkan saat rapat tadi, kau sering melamun. Mereka tidak menyadarinya, tapi aku melihatnya.”
Hening sejenak. Evelyn akhirnya meregangkan sendi tubuhnya, bahunya terasa berat, napasnya panjang.
“Aku tidak ingat kapan terakhir aku benar-benar tidur nyenyak. Semua pekerjaan ini seperti banjir yang tidak berhenti masuk ke kepalaku.”
Yonas mencondongkan badan sedikit, suaranya tenang. “Kalau begitu… biarkan aku yang menahan sebagian banjir itu. Santai sejenak, serahkan saja pekerjaan sulitnya padaku.”
Evelyn tersenyum kecil, getir. “Bukankah tugasmulah sudah cukup banyak? Kau bisa kelelahan juga, Yonas.”
“Itu tidak masalah. Tugasku sebagai asisten bukan hanya mengurus berkas atau menjadwalkan rapatmu. Tugasku adalah menjaga dirimu. Itu bagian dari pekerjaan dan pilihanku," jawab Yonas, mantap dan tanpa ragu.
Senyum lembut pertama kali muncul di wajah Evelyn. Senyum itu begitu tipis, tapi nyata. Senyum yang membuat Yonas merasa bangga, seolah segala usahanya tidak sia-sia.
“Apa kau selalu seperhatian ini pada semua orang?” tanya Evelyn pelan, matanya menatap tajam, seakan ingin menembus isi hati Yonas
“Tidak. Aku hanya seperti ini hanya pada orang-orang yang aku pedulikan.”
Evelyn terkekeh kecil, senyum lembut menari di bibirnya. “Apa barusan kau menggodaku?”
Namun Yonas tidak menjawab. Ia hanya mengambil beberapa dokumen di meja Evelyn, menumpuknya dengan rapi, lalu menatapnya sebentar sambil berkata: "Istirahat saja malam ini. Aku yang akan mengurus sisanya.”
Sebelum Evelyn sempat menimpali, Yonas sudah berbalik dan melangkah keluar.
Evelyn menghela napas panjang sambil menggeleng kecil. “Waahh… anak itu. Sejak kapan dia tumbuh dewasa begitu?”
ayooo muncullah!!!
gmn malu'a klu tau angeline anak si komandan🤭😄