Dominic, sang maestro kejahatan, telah menawarinya surga dunia untuk menutup mata atas bukti-bukti yang akan menghancurkan kerajaannya.
Yumi, jaksa muda bercadar itu, telah menolak. Keputusan yang kini berbuah petaka. Rumahnya, hancur lebur. Keluarga kecilnya—ibu, Kenzi, dan Kenzo, anak kembarnya—telah menjadi korban dalam kebakaran yang disengaja, sebuah rencana jahat Dominic.
Yumi menatap foto keluarga kecilnya yang hangus terbakar, air mata membasahi cadarnya. Keadilan? Apakah keadilan masih ada artinya ketika nyawa ibu dan anak-anaknya telah direnggut paksa? Dominic telah meremehkan Yumi. Dia mengira uang dapat membeli segalanya. Dia salah.
Yumi bukan sekadar jaksa; dia seorang ibu, seorang putri, seorang pejuang keadilan yang tak kenal takut, yang kini didorong oleh api dendam yang membara.
Apakah Yumi akan memenjarakan Dominic hingga membusuk di penjara? Atau, nyawa dibayar nyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab
Kediaman Kakek William.
Dominic dan Kakek yang sudah tiba di Mansion, mengedarkan pandangannya, mencari Liana. Namun tak menemukan wanita itu.
Tapi saat hendak menuju kamarnya, Dominic tak sengaja melihat sosok Liana yang sedang duduk di salah satu kamar tamu, seperti mengerjakan sesuatu di hadapannya.
Ia mendekat perlahan, melihatnya dari balik pintu yang sedikit terbuka. Liana sedang duduk di depan kanvas, kuas di tangannya bergerak dengan lembut, menciptakan keajaiban di atas kanvas putih. Lukisannya menampilkan pemandangan alam yang memesona. Sebuah pantai terpencil dengan pasir putih yang lembut, ombak yang tenang membasahi bibir pantai, dan langit senja yang dihiasi warna jingga, merah muda, dan ungu yang lembut.
Pohon kelapa yang tinggi menjulang di kejauhan, menambah keindahan pemandangan tersebut. Keseluruhan lukisan memancarkan ketenangan dan keindahan yang menenangkan jiwa. Terlihat betapa terampilnya Liana melukis, menciptakan ilusi kedalaman dan tekstur yang luar biasa.
"Bagaimana bisa dia melakukannya? Apa dia benar-benar Azalea?" gumam Dominic, suaranya hampir tak terdengar, namun penuh keterkejutan. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. Wanita yang bernama Liana itu, dengan keahlian melukisnya yang luar biasa, benar-benar mirip dengan Azalea, wanita yang dulu sangat ia cintai dan ternyata memiliki bakat melukis yang sama.
"Tapi, kenapa dia tidak pakai hijab? Dan kenapa dia datang dari keluarga Danuarta? Bukankah dia dari keluarga Fardhan?" Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi benak Dominic, membingungkan dan semakin memperdalam rasa penasarannya. Identitas Liana yang sebenarnya menjadi teka-teki yang harus ia pecahkan. Kemiripannya dengan Azalea, perbedaan latar belakang keluarganya, dan hilangnya hijab yang biasanya dikenakan Azalea, semua itu menjadi potongan-potongan puzzle yang harus ia satukan untuk menemukan kebenaran. Dominic merasa dirinya terjebak dalam sebuah misteri yang rumit dan penuh kejutan.
Liana tak sengaja melihat sosok Dominic yang berdiri di ambang pintu seperti sedang melamun.
"Tuan Dom?" panggil Liana membuat Dominic lagi-lagi tersentak kaget oleh panggilan itu.
Dominic terdiam menatap Liana yang berjalan mendekat.
"Hey! Siapa nama Kakak?" panggil seorang gadis berhijab, suaranya sedikit terengah-engah. Ia berdiri dengan kaki sedikit pincang, tampaknya baru saja terjatuh.
Dominic, yang baru saja berbalik hendak pergi, terhenti dan kembali melihat gadis itu.
Dominic tersenyum lembut, sebuah senyuman hangat yang mampu mencairkan suasana. "Panggil saja Dom," jawabnya, tatapannya penuh kelembutan, menunjukkan rasa sayang yang tulus. Ia benar-benar mencintai gadis ini.
"Kak Dom?" ulang Azalea, suaranya polos dan lugu.
"Iya," jawab Dominic singkat, sebelum akhirnya melangkah pergi, meninggalkan Azalea yang masih terpaku di tempatnya, hatinya dipenuhi rasa kagum dan sedikit harapan. Sosok Dominic yang lembut dan baik hati telah meninggalkan jejak indah di hatinya.
"Tuan, Tuan, Dom? Tuan Dominic?" panggil Liana beberapa kali, namun tak mendapat jawaban.
Setelah beberapa kali ia baru mendengar Liana, Dominic akhirnya tersadar dari lamunannya.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini? Bukankah tidak baik seorang wanita tinggal di rumah laki-laki yang bukan mahram?" tanya Dominic, suaranya datar namun terdengar lebih bersahabat dari sebelumnya.
Liana terkekeh geli mendengar ucapan Dominic. "Saya pikir Anda tidak tahu tentang haram dan halal," gumamnya, suaranya pelan namun masih terdengar jelas oleh Dominic. Kalimat itu mengandung sindiran halus, menunjukkan bahwa Liana menyadari sikap dan perilaku Dominic yang sebenarnya. Ia seakan mengingatkan Dominic akan kesalahannya sendiri. Ketegangan di antara mereka masih terasa, namun kini diselingi dengan sedikit kejenakaan.
"Papa yang minta aku tinggal di sini sebentar. Setelah mereka datang, aku baru ikut Papa lagi kembali ke rumah," jawab Liana, tersenyum manis.
Senyumnya begitu menawan, dan Dominic tak bisa menahan diri untuk tak melihatnya. Senyum itu… sangat mirip dengan senyuman Azalea. Kemiripan itu semakin mempertegas keraguan dan kebingungan di hatinya. Ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa wanita di hadapannya ini memiliki kemiripan yang sangat kuat dengan Azalea, wanita yang telah lama menghilang dari hidupnya. Perasaan campur aduk memenuhi hatinya: kebingungan, kerinduan, dan — sedikit harapan.
**
Pagi yang cerah di rumah Kakek. Di meja makan, Liana duduk di antara Kakek dan Dominic, sedang menikmati sarapan. Tatapan Dominic tak lepas dari Liana. Kemiripannya dengan Azalea begitu kuat, hingga Dominic merasa jantungnya berdebar-debar. Apa dia benar Azalea? Apa benar informasi itu, kalau Azalea hilang ingatan? Pertanyaan itu terus berputar di benaknya.
"Uhuk-uhuk."
Tiba-tiba, Liana tersedak. Wajahnya memerah.
Dominic segera mengambilkan segelas air minum. Tangannya yang kekar dengan lembut menyentuh tangan Liana saat memberikan gelas tersebut. Liana menerimanya dengan sedikit ragu, namun tatapan mata Dominic yang penuh perhatian membuatnya senang.
Dominic menunggu dengan sabar hingga Liana selesai minum, tatapannya tak pernah lepas dari wajah Liana. Setelah Liana tenang, Dominic memberikan sebuah senyuman lembut, dimana wajah itu sebelumnya sering terlihat dingin, kini mulai bisa kembali tersenyum meski masih terlihat kaku.
Senyumannya membuat pipi Liana sedikit memerah. Ia menawarkan sepotong roti panggang, dengan lembut mengambilkannya dari piring dan menyodorkannya pada Liana.
"Makanlah pelan-pelan," kata Dominic, suaranya lembut dan penuh perhatian.
"Terima kasih." lembut Liana berbunga-bunga.
Mengingat kedua pihak keluarga ingin menjodohkan mereka berdua, membuat Liana terlihat semakin senang dan mulai tak sabar ingin benar-benar menjadi istri Dominic.
Kakek William juga ikut senang dengan kedekatan Liana dan cucunya. Karena ia bisa melihat Dominic begitu perhatian pada Liana. Dan tidak harus terus memandangi foto yang dia sendiri tidak pernah melihat, karena tidak di izinkan cucunya untuk melihat foto tersebut. yang mungkin akan mengagetkan Kakek kalau tahu foto itu mirip Liana.
"Kalian berdua terlihat sangat cocok, mungkin lebih baik, kalau kalian segera menikah, Kakek juga sudah tidak sabar melihat itu," ucap Kakek tiba-tiba, suaranya penuh kegembiraan. Ia mengamati cucunya dan Liana dengan senyum lebar.
Liana tersenyum malu-malu, pipinya merona mendengar ucapan Kakek. Ia melirik Dominic, mengharapkan jawaban yang sama.
Namun, Dominic masih terlihat ragu. Ekspresinya menunjukkan keraguan dan ketidakpastian.
"Bagaimana, Dom?" tanya Kakek, suaranya sedikit mendesak. Ia ingin memastikan cucunya benar-benar mau menerima pernikahan mereka.
Sebelum Dominic sempat menjawab, suara salam terdengar dari pintu. "Selamat pagi. Dan Assalamualaikum,"
"Paman?" ucap Dominic mengerut karena tak biasanya sang Paman datang tanpa menghubunginya.
Kakek William mendengus kesal. Kedatangan tamu tersebut jelas tak diinginkan, terutama pada saat suasana hatinya sedang baik.
"Hay, Kakek Dominic, Anda tidak mau menyapa saya? Atau mungkin menjawab salam saya, misalnya?" ujar pria itu, suaranya terdengar sengaja dibuat santai, namun nada sarkastiknya jelas terdengar dan membuat Kakek William semakin jengkel.
"Mau apa lagi kau datang kemari?! Cucuku tidak baik kalau bersamamu!" ketus Kakek William, suaranya keras. Ia tidak suka dengan kedatangan pria itu yang ternyata Paman dari almarhumah ibu Dominic.
Pria itu tersenyum mengejek, senyum yang membuat Kakek William semakin geram. "Rileks, Om William. Aku cuma ingin datang menjenguk ponakanku," katanya, suaranya masih santai, namun sorot matanya tajam.
Kakek William hanya mendengus kesal, "Cih!"
**
Di lain sisi, terlihat Yumi berjalan longlai. Entah karena capek karena kelelahan, atau sudah mulai mengeluh karena perjuangannya yang sangat melelahkan.
"Kak,"
Dan salam kenal para reader ☺️☺️😘😘