Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Keesokan harinya, cahaya matahari menyelinap lembut lewat celah tirai kamar. Suasana pagi terasa tenang, tapi di benak Rangga justru berkecamuk.
Ia duduk di sisi tempat tidur dengan kepala tertunduk, jari-jarinya saling menggenggam.
Pandangannya kosong menatap lantai dengan masih mempertimbangkan, apakah ia harus kembali ke rumah sakit hari ini… atau tetap di rumah menemani Nayla.
Nayla, yang baru saja terbangun, memperhatikan suaminya diam-diam.
Ia bisa merasakan kegelisahan itu meski Rangga tak mengatakan sepatah kata pun.
“Mas...” ucap Nayla pelan.
Rangga menoleh cepat, seolah tersadar dari lamunannya.
“Kamu sudah bangun?” tanyanya sambil tersenyum tipis, meski sorot matanya tetap berat.
“Kamu mikirin kerjaan, ya?” tanya Nayla lembut.
Rangga terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.
“Pasienku sudah banyak yang nunggu... tapi aku juga nggak tenang ninggalin kamu.”
Nayla menggenggam tangan suaminya, menatapnya dalam.
“Aku nggak apa-apa, Mas. Kalau kamu harus kerja, aku bisa jaga diri. Bi Ina juga masih di sini, kan?”
Rangga memejamkan mata sesaat, lalu menarik napas dalam.
“Aku cuma takut kamu butuh aku… dan aku nggak ada di situ.”
Nayla tersenyum tipis, meski sorot matanya lembut tapi tegas.
“Kamu selalu ada di sini,” ujarnya sambil menyentuh dada Rangga, “Di hati aku.”
Kata-kata itu membuat Rangga terdiam tak perlu panjang lebar, hanya satu pelukan hangat sebagai jawaban.
"Yakin kamu nggak apa-apa aku tinggal?" tanya Rangga.
Nayla mengangguk pelan, lalu menatap Rangga dengan senyum tenang.
“Yakin, Mas. Aku sudah jauh lebih kuat sekarang,” ujarnya lembut.
“Aku tahu kamu juga punya tanggung jawab. Kamu dokter, banyak orang yang butuh bantuan kamu.”
Rangga masih menatapnya penuh keraguan.
“Tapi kamu yang paling aku takutkan kalau kenapa-kenapa…”
Nayla menggenggam tangannya erat.
“Justru karena aku tahu kamu sayang sama aku, aku bisa lebih tenang. Dan aku janji, aku akan baik-baik saja di rumah. Bi Ina juga bakal jagain aku.”
Rangga menunduk, mencium punggung tangan istrinya dengan lembut.
“Kalau ada apa-apa, langsung kabarin aku, ya?”
“Aku janji,” jawab Nayla dengan senyum yang membuat hati Rangga sedikit lebih ringan.
Ia tahu, ini bukan keputusan mudah. Tapi untuk bisa melangkah maju, ia harus percaya pada kekuatan Nayla… dan pada cinta mereka yang tetap utuh, meski badai sudah berkali-kali datang.
Dengan hati berat namun penuh tekad, Rangga berdiri dari kursi di samping tempat tidur Nayla.
Ia menatap wajah istrinya yang sedang terlelap dengan tenang, lalu membungkuk ringan sambil mengecup keningnya.
“Aku berangkat dulu ya, Nay. Jaga diri baik-baik, dan jangan ragu panggil aku kalau butuh apa-apa,” ucap Rangga lembut.
Nayla membuka matanya sedikit, tersenyum kecil, dan mengangguk.
Rangga kemudian mengambil tas kerjanya, melangkah keluar kamar dengan langkah mantap.
Di luar rumah, udara pagi menyapa hangat. Mobilnya menunggu, dan Rangga tahu hari ini adalah hari di mana ia harus membagi waktunya antara tanggung jawab dan cinta.
Dengan napas dalam, ia menyalakan mesin mobil dan memulai perjalanan menuju rumah sakit.
Nayla mengusap pelan rambutnya, lalu bangkit dari tempat tidur dengan semangat yang mulai tumbuh.
Ia melangkah pelan menuju dapur, di mana Bi Ina sedang membereskan beberapa peralatan.
“Bi, aku mau buat brownies cake,” ucap Nayla dengan nada lembut tapi penuh harap.
Bi Ina menoleh, tersenyum hangat. “Oh, boleh, Non. Mau buat yang spesial ya?”
“Ya, hari ini ulang tahun Mas Rangga,” Nayla menjelaskan sambil tersenyum kecil.
Bi Ina mengangguk, lalu berkata, “Kalau begitu, biar aku bantu, ya. Kita bikin kejutan kecil buat Mas Rangga.”
Nayla menatap Bi Ina penuh semangat, “Iya, bi. Aku pengin Mas Rangga senang hari ini. Soalnya dia kelihatan capek dan kayaknya lupa sama ulang tahunnya sendiri.”
Bi Ina mengangguk mengerti, “Tenang, Non. Kita buat yang terbaik buat Mas Rangga.”
Mereka berdua mulai menyiapkan bahan-bahan, suara riang perlahan mengisi rumah, sebuah langkah kecil untuk kebahagiaan sederhana.
Di dapur, Bi Ina sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk memasak gulai kepala ikan kakap hidangan favorit Rangga yang selalu membuat suasana jadi hangat.
Ia mengiris bawang merah, bawang putih, dan cabai dengan cekatan, sambil sesekali mencicipi kuah gulai agar rasanya pas.
Aroma rempah yang harum mulai menyebar ke seluruh rumah.
Di sisi lain, di meja kecil dekat jendela, Bi Ina juga menyiapkan es Manado segar, dengan campuran cincau, kelapa muda, dan sirup manis yang menyegarkan.
“Ini pasti Mas Rangga suka sekali,” gumam Bi Ina sambil tersenyum puas.
Dengan hati-hati, ia menata gulai dan es Manado ke dalam piring dan gelas cantik, siap disajikan bersama brownies cake yang sedang dibuat Nayla.
Semua persiapan itu menjadi ungkapan kasih sayang sederhana dari mereka berdua, untuk hari istimewa sang kepala keluarga.
Di rumah sakit, Rangga menatap deretan pasien yang sudah menunggu dengan sabar di ruang tunggu.
Wajah-wajah penuh harap itu mengingatkannya pada tanggung jawab besar yang dipikulnya sebagai seorang dokter.
Meski pikirannya sesekali melayang ke rumah, ke Nayla yang tengah menyiapkan kejutan kecil untuknya, Rangga tahu bahwa hari ini ia harus fokus sepenuhnya pada pekerjaannya.
Dengan napas dalam, ia mengatur langkah menuju ruang konsultasi, menyapa pasien satu per satu dengan senyum hangat.
Setiap kata dan tindakan yang ia berikan adalah bentuk cinta dan pengabdian yang tak kalah besar dari yang ia berikan pada istrinya di rumah.
Pasien pertama yang memasuki ruang konsultasi adalah seorang pria paruh baya dengan wajah penuh kekhawatiran.
Ia duduk di kursi di depan meja Rangga, menarik napas panjang sebelum mulai berbicara.
“Dokter, saya sudah beberapa minggu ini merasakan nyeri di dada sebelah kiri, terutama saat saya bekerja atau berjalan jauh,” ucap pria itu dengan suara sedikit gemetar.
Rangga menatap penuh perhatian, mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.
“Kita akan periksa lebih lanjut, Pak. Tolong ceritakan lebih detail, kapan nyeri itu mulai muncul dan bagaimana intensitasnya,” ujar Rangga sambil menyiapkan alat pemeriksaan.
Pria itu mulai menjelaskan gejalanya dengan lebih rinci, sementara Rangga mendengarkan dengan seksama, mempersiapkan langkah diagnosis yang tepat.
Rangga mengangguk perlahan, lalu mulai memeriksa tekanan darah dan denyut nadi pasien dengan teliti.
“Saya juga akan melakukan elektrokardiogram (EKG) untuk melihat aktivitas jantung Bapak secara detail,” Rangga menambahkan sambil menyiapkan alat EKG.
Pria itu terlihat sedikit lega mendengar penjelasan Rangga, namun kekhawatirannya masih tersisa.
Setelah pemeriksaan EKG selesai, Rangga menatap hasilnya dengan serius.
“Hasil ini menunjukkan ada sedikit gangguan irama jantung yang perlu kita tangani segera. Tapi jangan khawatir dulu, kita akan atur perawatan dan obat-obatan yang tepat agar Bapak bisa kembali sehat,” Rangga meyakinkan.
Pria itu mengangguk penuh harap, “Terima kasih, Dokter. Saya akan ikuti saran Anda.”
Rangga tersenyum hangat, “Bagus, Bapak. Jangan ragu untuk hubungi saya jika ada keluhan atau perubahan ya.”
Pasien itu kemudian meninggalkan ruang konsultasi dengan langkah yang lebih ringan, sementara Rangga bersiap menyambut pasien berikutnya.
Pasien berikutnya masuk dengan langkah pelan, seorang wanita paruh baya yang tampak lelah dan sesak napas.
“Nyonya, saya Rangga, dokter spesialis jantung. Apa yang bisa saya bantu hari ini?” sapa Rangga ramah.
Wanita itu menarik napas panjang sebelum mulai bercerita, “Dokter, saya sering merasa sesak napas dan dada saya seperti ditekan, terutama saat saya naik tangga atau sedang capek.”
Rangga mengangguk, memperhatikan setiap kata dengan seksama.
“Kita akan lakukan pemeriksaan lengkap, mulai dari tekanan darah, elektrokardiogram, dan mungkin tes treadmill untuk melihat fungsi jantung Nyonya saat beraktivitas,” jelas Rangga.
Wanita itu terlihat cemas, tapi merasa tenang mendengar penjelasan dokter.
“Jangan khawatir, kita akan cari tahu penyebabnya dan rencanakan perawatan terbaik untuk Nyonya,” Rangga menambahkan penuh keyakinan.
Ia lalu memulai pemeriksaan dengan teliti, sambil sesekali memberi semangat dan dukungan agar pasien merasa nyaman.
Setelah menangani pasien demi pasien tanpa henti, tubuh Rangga mulai terasa lelah.
Ia tak sempat melirik jam dinding sampai akhirnya matanya menangkap angka yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Hatinya langsung teringat pada Nayla, yang pasti sudah menunggu di rumah dengan penuh rindu dan kekhawatiran.
Dengan cepat, Rangga melepaskan jas putihnya dan mengganti pakaian kerja yang basah oleh keringat.
“Sudah cukup untuk hari ini,” gumamnya pelan sambil mengusap wajah lelahnya.
Ia bergegas keluar dari ruang praktik, siap untuk pulang dan melepas penat di sisi sang istri tercinta.
Dalam perjalanan pulang, Rangga menyempatkan diri mampir ke sebuah kedai roti bakar yang sudah sering dikunjungi Nayla.
Aromanya yang hangat dan menggoda langsung membuatnya teringat senyum Nayla saat menikmati sarapan kesukaannya itu.
Rangga memesan beberapa potong roti bakar dengan selai kacang dan cokelat, serta segelas susu hangat, semua yang Nayla sukai.
Sambil menunggu pesanan, ia menatap keluar jendela mobil, membayangkan betapa bahagianya Nayla nanti.
Tak lama kemudian, tas kecil berisi roti bakar dan minuman siap ia bawa, dan Rangga melanjutkan perjalanan pulang dengan hati yang lebih ringan.