Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH - 35 : Ombak Kecil Bernama Laut
Dua dekade telah berlalu sejak keluarga besar Aira dan Raka berkumpul di Pantai Marina untuk merayakan pernikahan Banyu dan Nadia.
Kini, Aira dan Raka telah memasuki usia senja, keduanya berusia 77 tahun. Rambut mereka kini sepenuhnya beruban, dan langkah mereka lebih lambat karena usia, tetapi cinta mereka tetap hangat dan abadi seperti dulu pertama kali mereka bertemu di dermaga kecil di Pantai Marina.
Rumah mereka di daerah Candi, yang telah menjadi saksi bisu perjalanan cinta mereka, kini menjadi pusat berkumpulnya keluarga besar mereka. Dinding-dinding rumah itu dipenuhi foto-foto kenangan, dari foto Aira dan Raka muda, hingga foto anak-anak dan cucu-cucu mereka yang terus bertambah.
Rinai, yang kini berusia 55 tahun, telah menjadi penulis dan seniman terkenal di kancah internasional. Novel-novelnya, yang sering terinspirasi dari cerita keluarga dan laut, telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan pameran seninya sering diadakan di kota-kota besar. Dia dan suaminya, Dimas, seorang arsitek, tinggal di Semarang, tidak jauh dari rumah Aira dan Raka, agar bisa sering mengunjungi orang tua mereka.
Putri mereka, Laut, kini berusia 23 tahun, seorang gadis muda yang penuh semangat dan kreativitas. Laut baru saja lulus dari jurusan Desain Komunikasi Visual dan sedang mengerjakan proyek film pendek pertamanya, yang terinspirasi dari cerita keluarganya.
Banyu, kini berusia 45 tahun, telah menjadi desainer kapal terkemuka, dengan beberapa desain kapalnya yang digunakan oleh perusahaan maritim internasional. Dia dan Nadia, istrinya yang seorang biologis kelautan, tinggal di Jakarta, tetapi mereka sering pulang ke Semarang untuk berkumpul dengan keluarga.
Mereka memiliki dua anak, Ardi, seorang pemuda berusia 18 tahun yang sedang menempuh pendidikan di akademi maritim, dan Samara, seorang remaja berusia 15 tahun yang memiliki ketertarikan pada biologi kelautan seperti ibunya, sering menghabiskan waktu di laut untuk penelitian kecil-kecilan.
Pagi itu, Aira dan Raka sedang duduk di beranda depan rumah, menikmati teh hangat sambil memandang halaman yang kini dihiasi bunga-bunga yang ditanam oleh Laut. Aira mengenakan cardigan tebal di atas kaus panjang, rambutnya yang putih di kuncir rapi, sementara Raka mengenakan jaket tipis dan celana panjang, sebuah tongkat kecil di sampingnya untuk membantu berjalan.
Mereka tersenyum kecil saat mendengar suara mobil yang tiba di depan rumah, Rinai dan Laut telah datang untuk mengunjungi mereka.Laut melompat keluar dari mobil, mengenakan kaus oversized dan celana jeans, rambut panjangnya dibiarkan tergerai dengan topi jerami kecil di kepalanya.
Dia berlari ke arah Aira dan Raka, memeluk mereka erat dengan penuh kasih.
“Nenek! Kakek! Aku kangen banget!” serunya, matanya berbinar penuh kebahagiaan.
Aira tersenyum, tangannya yang sedikit gemetar mengelus pipi Laut dengan lembut.
“Nenek juga kangen sama Laut. Kamu… kamu tambah cantik, ya,” katanya, nadanya penuh kelembutan sambil memandang cucunya dengan penuh cinta.
Raka tersenyum, matanya yang sedikit berkabut karena usia tetap berbinar saat melihat Laut.
“Laut, Kakek seneng banget kamu dateng. Aku… aku denger kamu baru selesai proyek film pendek?” tanyanya, nadanya penuh rasa ingin tahu.
Rinai berjalan ke arah mereka, tersenyum sambil membawa keranjang kecil berisi buah-buahan segar.
“Mama, Papa, aku bawa buah-buahan kesukaan kalian, mangga sama jeruk,” katanya, nadanya penuh kelembutan.
“Laut… dia emang baru selesai proyek film pendek tentang laut dan dermaga. Dia bilang itu terinspirasi dari cerita keluarga kita,” tambahnya, nadanya penuh kebanggaan pada putrinya.
Laut tersenyum lebar, duduk di samping Aira dan Raka, tangannya memegang ponsel yang berisi cuplikan filmnya.
“Iya, Kakek! Filmku judulnya Ombak Kecil di Dermaga. Aku… aku bikin film ini buat ceritain tentang keluarga kita, tentang Nenek sama Kakek yang ketemu di dermaga waktu hujan, tentang Mama yang nulis cerita-cerita indah, tentang Paman Banyu yang bikin kapal, dan… tentang aku, yang belajar cinta laut dari kalian semua,” katanya, matanya berkaca-kaca karena haru.
Aira tersenyum, air mata haru mengalir di pipi tuanya.
“Laut… itu indah banget. Nenek… Nenek terharu banget kamu bikin film tentang cerita kita. Dermaga itu… tempat yang penuh cinta buat keluarga kita,” katanya, suaranya gemetar karena emosi.
Raka mengangguk, tangannya memegang tangan Aira dengan erat.
“Laut, Kakek bangga banget sama kamu. Kamu… kamu bener-bener lanjutin warisan cinta keluarga kita. Aku… aku pengen nonton film kamu,” katanya, nadanya penuh kelembutan meskipun suaranya sedikit serak karena usia.
Tak lama setelah itu, Banyu, Nadia, Ardi, dan Samara tiba di rumah. Banyu, yang kini tampak dewasa dengan jaket kasual dan rambut pendek rapi, memeluk Aira dan Raka dengan hangat.
Nadia, dengan senyum lembutnya, membantu membawa beberapa kotak makanan untuk makan siang bersama. Ardi, yang mengenakan seragam akademi maritimnya, tersenyum sambil menunjukkan model kapal kecil yang dia buat untuk lomba di akademinya.
Samara, dengan rambut panjangnya yang di kuncir dua, berlari ke arah Laut, memeluk sepupunya dengan antusias.
“Mama, Papa, kami bawa makanan kesukaan kalian, soto ayam sama gudeg,” kata Banyu, tersenyum lebar.
“Aku denger tadi Laut bikin film tentang keluarga kita?” tanyanya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Rinai mengangguk, tersenyum.
“Iya, Banyu. Filmnya bagus banget, penuh cinta, kayak cerita kita. Aku… aku pikir kita harus rayain ini bareng. Gimana kalau kita ke Pantai Marina sore ini? Laut bilang dia pengen ke dermaga buat syuting adegan terakhir filmnya,” katanya, nadanya penuh antusias.
Aira dan Raka saling pandang, tersenyum penuh kebahagiaan.
“Ide bagus, Rinai. Nenek sama Kakek… kami mau ke dermaga lagi. Tempat itu… tempat itu selalu jadi bagian dari cerita kita,” kata Aira, suaranya lembut sambil memandang Raka dengan mata penuh cinta.
Sore itu, mereka pergi ke Pantai Marina bersama-sama. Aira dan Raka duduk di kursi lipat yang dibawa Banyu, tangan mereka bergandengan erat, sementara Rinai dan Dimas membantu Laut menyiapkan kamera untuk syuting.
Banyu, Nadia, Ardi, dan Samara bermain di pinggir air, Banyu mengajari anak-anaknya tentang ombak dan kapal, sementara Laut merekam mereka sebagai bagian dari adegan filmnya.
Angin laut yang sejuk menerpa wajah mereka, membawa aroma nostalgia yang begitu akrab bagi Aira dan Raka.
Laut berjalan ke arah Aira dan Raka, kameranya di tangan.
“Nenek, Kakek, aku mau syuting kalian berdua di dermaga, adegan terakhir filmku. Aku… aku pengen ceritain bahwa cinta kalian adalah awal dari semua cerita ini,” katanya, matanya berbinar penuh harapan.
Aira dan Raka tersenyum, mengangguk perlahan. Dengan bantuan Rinai dan Banyu, mereka berjalan perlahan menuju dermaga, langkah mereka pelan tapi penuh makna.
Tangan mereka tetap bergandengan, seperti dulu saat mereka pertama kali duduk di dermaga itu puluhan tahun lalu.
Laut merekam mereka dari kejauhan, menangkap momen saat Aira dan Raka duduk di ujung dermaga, memandang laut dengan mata penuh cinta, angin laut menerpa wajah mereka dengan lembut.
“Raka… aku ngerasa hidup kita kayak ombak kecil yang terus bergerak, tapi selalu kembali ke dermaga ini,” kata Aira, suaranya lembut sambil memandang laut yang berkilauan di bawah sinar matahari sore.
Matanya berkabut, bukan hanya karena usia, tetapi juga karena kenangan yang membanjiri hatinya.
Raka tersenyum, mencium punggung tangan Aira dengan penuh kasih, seperti kebiasaan yang tak pernah hilang meski waktu terus berlalu.
“Iya, Aira. Ombak kecil kita… Rinai, Banyu, Laut, Ardi, Samara… mereka semua bagian dari cerita cinta kita. Aku… aku bersyukur banget bisa lewatin semua ini bareng kamu. Aku sayang kamu, selamanya,” katanya, nadanya penuh cinta meskipun suaranya sedikit serak.
Laut merekam momen itu dengan air mata haru, merasa bahwa cinta kakek dan neneknya adalah inti dari filmnya, cinta yang telah mengalir melalui generasi, menjadi ombak kecil yang bernama keluarga mereka.
Setelah syuting selesai, mereka semua berkumpul di selimut besar di pantai, menikmati makan malam sederhana sambil menonton matahari terbenam.
Tawa Laut, Ardi, dan Samara memenuhi udara, sementara Rinai dan Banyu duduk di samping Aira dan Raka, berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing.
“Raka… aku ngerasa hidup kita penuh dengan ombak kecil yang indah,” kata Aira, suaranya lembut sambil bersandar di bahu Raka, memandang keluarga besar mereka yang tertawa bersama di bawah cahaya matahari yang perlahan tenggelam.
Raka tersenyum, memeluk Aira erat dengan tangan yang sedikit gemetar.
“Iya, Aira. Ombak kecil kita… mereka bikin hidup kita jadi lebih bermakna. Aku… aku pengen cerita kita terus hidup lewat mereka, lewat Laut dan generasi berikutnya. Aku sayang kamu, selamanya,” katanya, nadanya penuh cinta.
Di bawah langit Semarang yang mulai gelap, dengan ombak kecil yang berbisik di dermaga, Aira dan Raka saling berpelukan, merasa bahwa ombak kecil bernama Laut, dan semua generasi setelahnya, adalah warisan cinta terindah yang pernah mereka ciptakan, warisan yang akan terus bergerak, seperti ombak yang tak pernah berhenti menyapa dermaga.
padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍
jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉