Dari semenjak lahir Syailendra dipaksa untuk "tak terlihat", dirumah, disekolah dan juga di lingkungan sekitarnya. Namun ternyata seorang perempuan bernama Ratu memperhatikan dan dengan jelas dan tertarik padanya. Perempuan cantik dan baik yang memberikan kepercayaan diri untuknya.
Sedangkan Ratu, Ia sosok perempuan sempurna. Ratu terkenal tak mau berkomitmen dan berpacaran, Ia seorang pemain ulung. Hidup Ratu berubah saat Ia dan Syailendra satu team mewakili olimpiade kimia dari sekolahnya. Mereka tak pernah sekelas, dan Ratu bahkan baru mengenalnya. Tapi sosoknya yang misterius merubahnya, Ratu merasakan sesuatu yang berbeda dengan pria itu, membuatnya merasa hangat dan tak mau lepas darinya.
Namun dunia tak mendukung mereka dan mereka harus berpisah, mereka lalu bertemu sepuluh tahun kemudian. Apakah kisah kasih mereka akan tersambung kembali? Atau malah akan semakin asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 - Satu Dekade
10 tahun kemudian....
Syailendra pikir, perputaran hidupnya akan berhenti sewaktu ia lulus sekolah menengah dan melanjutkan hidup ke Jakarta. Ternyata dugaannya salah besar. Justru itu adalah awal dari kebangkitan dirinya hingga berada di puncak karir seperti saat ini.
Berbekal ketekunan dan kejujuran yang tinggi, Syailendra akhirnya bisa bertahan di hotel milik ayahnya itu sampai mendapatkan jabatan yang sesuai dengan tingkat pendidikannya saat ini.
Kini Syailendra, si lelaki biasa yang hidupnya suram itu telah mati. Yang ada hanyalah Syailendra si manager hotel yang mendapatkan banyak prestasi di tingkat kota mau pun provinsi. Bahkan setahun lalu ia berhasil membuat hotel itu mendapatkan penghargaan sebagai hotel terbersih di kota Jakarta, sekaligus menyabet penghargaan Green Hotel Award.
Membanggakan, bukan? Tentu saja. Tidak mudah bagi Syailendra sampai ke titik ini. Tidak mudah baginya mengubah pandangan ayah dan ibu tirinya yang selama ini memandangnya sebelah mata. Syailendra berhasil membuat mereka bergantung padanya alih-alih mengharapkan anak pertama dan kedua mereka untuk melanjutkan kepemimpinan Gunawan di hotel ini.
Sebagai informasi, anak tertua Amelia dan Gunawan memilih melanjutkan kuliah ke luar negri demi mencapai tujuannya menjadi dokter. Dan yang paling mengejutkan dari itu semua, anak bungsu mereka 5 tahun lalu masuk jeruji besi atas kasus perundungan kepada teman kuliahnya. Ia mendekam di penjara sampai saat ini, dan kabarnya baru akan dibebaskan sekitar 3-4 tahun lagi. Otomatis Syailendra yang memegang tahta tertinggi kepemimpinan di hotel itu. Karena hanya ia yang bisa Gunawan harapkan sebagai penerus usahanya.
Hubungan antara ia dan orang tuanya itu semakin membaik. Kini mereka semua sudah pindah ke Jakarta dan ia tinggal bersama kedua orang tuanya. Perlakuan mereka berubah dari yang semua menganggapnya anak buangan, sekarang mulai diperlakukan adil seperti anak sendiri.
Maka di sinilah Syailendra berada saat ini. Tepatnya di Bandara Internasional Hongkong, sedang menunggu di waiting room untuk penerbangan ke Indonesia usai melakukan tinjauan cabang hotel terbarunya yang ada di kawasan Victoria Park.
Ya, memang beginilah keseharian Syailendra. Yang dulunya tidak pernah naik pesawat, kini rutin bepergian minimal sekali dua minggu hanya untuk melakukan perjalanan dinas. Ah, Syailendra masih ingat betapa susahnya dulu ia berangkat tiap hari ke sekolah naik bis. Sekarang Syailendra sudah tidak pernah lagi naik kendaraan umum satu itu. Ia sudah memiliki mobil pribadi. Harganya lumayan mahal. 4 kali lipat harga mobil biasa.
Drrt ... drrt.
Sedang asyik menggulir layar ponselnya untuk membaca e-mail dari kolega, benda pipih miliknya itu bergetar, menampilkan nama perempuan yang membuat Syailendra menghela napas berat. Perasaannya tak karuan mendapati nama itu di layar.
Tania.
Nama yang dua tahun belakangan ini mewarnai hidupnya. Gadis itu... tunangannya. Amelia yang mengenalkan Tania padanya karena selama ini ia tidak pernah membawa perempuan ke rumah. Syailendra yang merasa hidupnya kosong itu akhirnya menerima saja saran dari ibu tirinya itu.
Jika ditanya bagaimana perasaan Syailendra pada Tania, jawabannya adalah; belum cinta. Jahat? katakanlah begitu. Namun Syailendra tidak bisa membohongi perasaannya karena di hatinya masih tersimpan nama seorang perempuan. Dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Yaitu Ratu Anggrianto.
"Ya? Kenapa nelfon?"
Kalimat singkat itu langsung Syailendra utarakan saat gadis berusia 21 tahun—yang saat ini masih kuliah itu—menyapanya mesra dari seberang sana.
"Ih, galak banget, sih, Mas? Emang aku butuh alasan nelfonin tunanganku sendiri?"
Syailendra menghela napas. Ribet memang berdebat dengan anak kecil. Ia memilih mengalah saja.
"Ya sudah, terserah kamu saja."
"Jangan galak-galak, dong. Aku kan cuma kepengen tau kamu udah take off apa belum? Masih lama sampai Indonesianya?"
"Dua puluh menit lagi sesuai jadwal," ujar Syailendra jujur.
"Take care, ya! Jangan godain pramugari, jangan caper sama cewek, jangan—"
"Tania," potong Syailendra cepat, hingga membuat gadis itu terkikik di seberang sana.
"Oke, aku salah. Mana mungkin kamu yang godain mereka. Paling mereka yang godain kamu. Kan tunangan aku ini ganteng banget!"
"Ada yang kamu mau bicarakan lagi?"
"Ada!" seru perempuan itu, seolah tak rela telfonnya Syailendra matikan. "Aku cuma mau ngasih tau kamu, kalau Mama kamu ada di Singapura sekarang. Kami lagi di pusat perbelanjaan lihat-lihat tas branded. Mama kamu minta ditemenin shopping sama aku!"
Dahi Syailendra mengernyit mendengarnya. Dari dulu sampai sekarang, ibu tirinya itu mana pernah pamit jika mau pergi ke mana pun padanya? Bahkan Amelia lebih memilih memberitahu Tania ketimbang dirinya. Anak tiri yang serasa dianak-tirikan. Begitulah kira-kira perasaan Syailendra saat ini.
"Ya sudah, hati-hati kamu di sana. Kalau semisal Mama belanja dan duit kamu kepakai, tolong kasih tau aku. Nanti aku transfer uangnya—"
"Nggak perlu. Lagian aku sama mama kamu sefrekuensi. Kami ini gila barang-barang branded. Lumayan nyambung kalau ngomong. Ah, jangankan aku yang traktir. Ini aja belanjaanku dibayarin sama Mama kamu!" seru Tania.
Syailendra menghela napas. Ya, memang benar Amelia sangat sayang pada gadis dewasa awal itu. Dari awal ibu tirinya itu bersikeras menjodohkannya dengan Tania yang merupakan putri dari rekan bisnis Gunawan.
"Ya sudah. Kalau gitu Mas tutup dulu telfonnya. Mau masuk ke pesawat. Udah mau take off."
"Nanti kabarin kalau udah landing di Jakarta. Jangan hilang kontak lagi. Sesekali prioritasin aku, kek!"
"Iya," jawab Syailendra singkat.
"Okay, calon suamiku. I love you!"
Syailendra tidak menyahut, dan tanpa ia sadari hal itu membuat Tania di seberang sana merasa sedih.
"Ya udah, deh. Aku tutup dulu telfonnya. Papaaay!"
Usai menutup sambungan telfon itu, Syailendra menaruh ponselnya kembali ke saku celana. Bohong jika Syailendra merasa tenang setelah mengabaikan gadis itu. Syailendra sendiri juga merasa tak tega tiap ia membiarkan Tania mengoceh sendiri dan mengemis kabar darinya. Selalu Syailendra coba membuka hati untuk Tania, namun sampai detik ini hatinya tak kunjung terbuka.
Padahal kalau dipikir-pikir, Tania itu gadis yang baik. Di mahasiswa kedokteran di Singapura yang memiliki otak jenius serta meraih banyak prestasi di kampusnya. Soal paras, tidak usah diragukan lagi. Tania itu cantik. Banyak lelaki yang tergila-gila padanya. Hanya saja Tania memilih Syailendra di antara semua lelaki itu. hal itu yang sangat disayangkan Syailendra. Padahal jika Tania mau, Tania bisa memilih lelaki mana pun yang ia sukai untuk dijadikan kekasih. Sayangnya gadis itu malah memilih menjatuhkan hati pada lelaki yang sama sekali tidak mencintainya.
Tapi ya... mau bagaimana lagi? Tania tidak mau dengan siapa pun kecuali dirinya, dan ia juga tidak bisa menolak keinginan Amelia sebagai orang yang cukup berjasa di hidupnya selama ini.
Faktor lainnya karena Ratu sampai saat ini belum ditemukan. Gadis itu benar-benar hilang jejak setelah kasus orang tuanya terbongkar.
Sedang asyik melamun, pandangan Syailendra tidak sengaja teralihkan ke arah perempuan berkacamata hitam yang tiba-tiba berdiri dari kursi paling depan. Tunggu. Kenapa ia familiar dengan wajah itu. Rasanya seperti pernah kenal, tapi di mana?
Syailendra tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena terdengar pengumuman bahwa calon penumpang sudah boleh melakukan boarding pass untuk naik ke dalam pesawat. Sayangnya perempuan itu berdiri lebih dulu darinya, jadi sekarang ia ada di barisan antrian paling depan.
Ratu?
Nama itu tercetus di benak Syailendra, namun dengan cepat ia menggeleng samar, meyakini dirinya hanya salah lihat. Lagian tidak mungkin Ratu ada di sini, bukan? Paling itu hanya perasaannya saja karena sibuk memikirkan Ratu belakangan ini.
Membuang pikirannya barusan, Syailendra pun berdiri dari dudukan dan berjalan menuju pesawat melalui jalur Business class. Setibanya di dalam pesawat, saat ingin duduk di kursinya, jantung Syailendra berdegup kencang melihat perempuan tadi ternyata duduk di sebelahnya.
Bukan, bukan karena tahu ia duduk bersebelahan dengan perempuan itu, melainkan karena tahu siapa sosok di balik kaca mata hitam itu.
Detik di mana perempuan itu membuka kaca matanya, detik itu juga tatapan mereka bertemu di titik yang sama. Jantung Syailendra mencelus, mukanya tampak kaget kala sadar gadis yang duduk di kursi sebelahnya itu adalah gadis yang menghilang 11 tahun lalu tanpa kabar. Gadis yang menjadi cinta pertamanya waktu SMA.
Dialah Ratu Anggrianto.
Syailendra yakin tidak salah lihat. Dan keyakinannya itu makin bertambah saat perempuan itu berujar kaget—
"Syai?"
Untuk beberapa saat tubuh Syailendra menegang. Namun tidak berlangsung lama karena pramugari datang dan menyuruhnya untuk duduk. Maka Syailendra pun duduk di samping Ratu tanpa melepas tatapannya dengan gadis itu.
Ia amati wajah cantik yang sudah terlihat dewasa dimakan usia itu. Garis rahangnya makin tegas. Wajah polosnya diberi riasan tipis hingga menambah kesan cantiknya. Kuku-kuku yang dulunya polos karena tidak boleh memakai kuteks ke sekolah itu kini dihiasi warna merah mengkilap—senada dengan dress yang tengah dipakainya. Guna memastikan status perempuan itu, Syailendra lirik jemari Ratu sekali lagi. Ternyata kosong, tak dihiasi cincin, yang menandakan perempuan itu masih lajang. Belum menikah.
"H—hai," sapa Syailendra gugup.
Demi Tuhan, suara Syailendra tak mampu keluar di situasi seperti ini. Rasa rindu yang telah memuncak, rasa sakitnya karena dulu dibuang begitu saja, serta rasa cinta yang tak pernah padam seolah menari-nari di atas penderitaannya. Padahal sudah ia rangkai 1001 kata sejak lama untuk ia semburkan pada Ratu apabila suatu hari mereka bertemu.
Namun hari ini, semua kata-kata itu buyar. Hanya tatapan matanya yang bermain. Yaitu tatapan penuh luka dan rindu.
Jeda mengambil alih suasana. Hanya terdengar suara pramugari yang tengah memberikan safety demonstration sebelum pesawat take off. Selama itu pula tatapan Syailendra tak kunjung berpindah dari Ratu.
Ia amati raut wajah perempuan itu. Sayangnya, Ratu sangat pintar menyembunyikan ekspresinya. Wanita itu terlihat tenang seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Malah dengan Sengaja Ratu mengalihkan pandangan. Tak sedikit pun menoleh ke arahnya seolah sengaja membatasi interaksi mereka.
Hal itu berlangsung sampai akhirnya pesawat yang mereka tumpangi lepas landas sampai akhirnya berada di ketinggian 3000ft. Selama itu pula mereka saling diam.
Syailendra tunggu Ratu membuka pembicaraan lebih dulu, namun tak ada tanda-tanda sampai detik ini gadis itu akan bicara padanya. Melihat Ratu yang memakai earphone ke telinganya, di sanalah batas kesabaran Syailendra diuji. Dengan cepat ia rebut earphone Ratu hingga membuat gadis itu menoleh ke arahnya dengan mata berkaca-kaca—seperti tengah menyembunyikan luka.
"Kenapa kamu ambil, bisa balikin nggak earphone aku sekarang juga?"
"Nggak ada yang mau kamu jelaskan ke aku?" Syailendra bertanya to the point.
"Apa memangnya?"
"Aku yakin kamu tahu apa maksud ucapanku barusan," jawab Syailendra dengan suara rendah dan bergetar.
Ratu terdiam. Gadis itu membuang muka ke arah lain.
Dan seolah tidak membiarkan komunikasi mereka terputus, entah Ratu sadar atau tidak penjelasan macam apa yang ingin ia dengar, Syailendra kembali bertanya—
"Kenapa kamu ngilang saat selesai Ujian kenaikan kelas?"