NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7

Malam itu, Hanif baru saja selesai praktik weekend di rumah sakit. Pasien membludak sejak pagi, dan sekarang, pukul sebelas malam, tubuhnya terasa remuk. Langkahnya gontai saat menyusuri parkiran yang sepi.

Ia menguap kecil, menekan remote motor—dan mendecak. Ban belakang motornya kempes. Gembos total. Hanif memandangi roda itu dengan tatapan kosong. Sialnya, shuttle sudah berhenti beroperasi sejak satu jam lalu. Ojek online? Jarak ke gerbang rumah sakit saja sudah bikin lututnya gemetar.

“Sialan. Ada aja masalah!” umpat Hanif.

Tubuhnya yang capek total itu membutuhkan istirahat. Sejak tadi pagi bermacam ragam pasien anak-anak yang ia temui. Dari yang patuh sampai yang bandel hingga membutuhkan tenaga untuk menanganinya. Oh, ayolah. Semesta gemar sekali bercanda. Sudah nyaris tengah malam, lho, ini!

Di tengah kesengsaraannya itu, tanpa Hanif sadari, ada mobil yang mendekat perlahan ke arahnya. Di dalamnya ada seorang wanita—Sekar. Perempuan itu mengernyitkan dahi melihat pemandangan Hanif berjongkok di depan motornya.

“Kenapa dia?” celetuk Sekar.

Dia mencoba abai, mencoba tak peduli. Tapi rasa penasarannya memenangkan pertarungan logika. Bayangan Hanif yang memberinya puding kala itu tercetus begitu saja di kepala. Sekar mengela napas panjang. Dia menimbang sebentar, sebelum akhirnya menyentuh tombol jendela.

Bersamaan dengan itu Hanif menoleh ke belakang—menyadari kehadirannya. Pandangan mereka bertemu detik itu juga.

“Motor kamu kenapa?”

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Sekar. Datar, dingin, seperti biasanya.

Hanif terdiam sebentar. Memandang Sekar dengan sorot ragu campur lelah.

“Seperti yang kamu lihat,” gumamnya.

“Saya nggak tau. Dan saya malas nyari tau.”

Hanif mendecakkan lidah. Tapi akhirnya jujur juga. “Gembos. Nggak tau kenapa bisa gini. Mana udah malam.”

Sekar terdiam. Jemarinya mengetuk-ngetuk kemudi. Sebenarnya bisa saja ia pergi. Toh Hanif adalah pria menyebalkan yang merusak moodnya belakangan ini. Tapi, di sisi kemanusiaan, rasanya tak tega ia biarkan orang ini kesusahan. Hari sudah larut. Tak ada siapa-siapa yang bisa Hanif mintai tolong di sini.

Satu menit berpikir, akhirnya Sekar mengalah pada sisi kemanusiaannya. Dia pun membuka pintu dari dalam hingga membuat Hanif mengernyit kaget.

“Masuk,” ucapnya pendek.

Hanif terkejut. “Kamu yakin?”

“Saya nggak suka menawarkan sesuatu dua kali, Pak Dokter. Silakan masuk, atau saya tinggal. Saya nggak mau buang waktu,” ketus Sekar.

Hanif mendesis. “Kamu masih aja galak. Memang nggak masalah saya nebeng sama kamu? Kamu ... emang udah nggak marah sama saya?”

Sekar menghela napas singkat. “Asal kamu enggak bahas kejadian lift waktu itu.”

Senyum Hanif terbit mendengarnya.

“Dengan senang hati,” katanya.

Tanpa menunggu lebuh lama, dia pun berdiri, bersiap memasuki mobil—

“Kamu yang nyetir. Saya nggak suka nyetirin orang. Apalagi laki-laki,” ucap Sekar tanpa menoleh.

Hanif mengangguk. “Tentu. Saya juga nggak suka disetiri perempuan.”

Sekar pun turun setelahnya, berganti posisi ke jok penumpang, dan Hanif masuk ke pintu jok kemudi.

Mobil melaju pelan keluar dari area parkir. Hening menyelimuti mereka. Hanya suara mesin dan embusan AC yang mengisi ruang.

Jalanan tampak lengang. Membuat mereka berdua semakin canggung. Sekar menatap lurus ke depan, sesekali melirik Hanif lewat ekor mata. Sama halnya dengan Hanif. Lelaki itu serasa mati gaya.

Benar kata Joe. Berada di sisi Sekar rasanya ... horor. Perempuan itu betah tak bicara. Bahkan untuk sekedar berdeham pun Sekar seolah menahan suaranya.

Jadi sebenarnya aku udah dimaafin apa belum?

Aneh. Dia aneh. Kenapa juga ada orang yang betah puasa suara tanpa ngomong apa-apa? Dia setakut itu berinteraksi sama manusia?

Hanif membatin. Mau sok akrab duluan, dia sadar kapasitasnya hanya menumpang. Dia sibuk mencari bahan obrolan yang bisa mencairkan suasana di antara mereka.

Sampai akhirnya, semesta seolah berpihak padanya. Kruk—terdengar bunyi perut Sekar yang memecah sunyi. Detik itu juga Hanif menoleh.

“Perut kamu yang bunyi?”

Sekar memelotot, sedikit malu. “Reflek tubuh. Biasa.”

Hanif tertawa pelan. Akhirnya keluar juga suara perempuan itu. Sontak ia pakai saja kesempatan ini untuk sok akrab.

“Drive-thru McD, yuk? Aku traktir. Anggap aja kompensasi nebeng.”

Aku. Entah apa motivasi Hanif mengganti panggilan dengan gaya bahasa yang lebih santai. Namun hal itu sukses membuat Sekar menoleh kaget. Hanya sedetik. Sebelum kemudian kembali menoleh ke depan, pura-pura tak tertarik.

Tapi setirnya sudah belok ke kanan, menuju jalan yang mengarah ke restoran cepat saji itu.

Tak lama kemudian, mereka berhenti di antrean Drive-thru. Lampu mobil merah rem menyinari wajah Sekar dari dalam. Hanif melirik ke arahnya.

“Mau makan apa?”

“Nasi ayam. Spicy. Es teh manis.”

Bagus. Akhirnya dia melunak, batin Hanif.

“Dessert?”

Sekar menoleh singkat. “Kalau kamu mesen sundae cokelat, aku tabok.”

Hanif terkekeh. “Noted.”

Pesanan mereka diambil, lalu mobil kembali masuk ke parkiran sepi dekat minimarket. Sekar mematikan mesin, dan menyerahkan sekotak nasi ke Hanif tanpa berkata apa-apa.

Mereka makan dalam diam beberapa saat.  Tapi Hanif tak tahan lagi.

“Kamu sering makan di mobil kayak gini?”

“Better. Daripada makan sama banyak orang. Aku nggak nyaman,” sahut Sekar santai

Hanif mengangguk, menyendok nasi. “Sama aku kamu nyaman nggak?”

Sekar menatapnya sebentar, lalu kembali makan. “Kamu gombal, ya, aslinya.”

“Karena lagi lapar aja,” kekehnya.

Suasana kembali hening. Tapi kali ini, hening yang ringan. Mereka makan, dan sesekali bertukar tatap singkat.

Setelah makanan habis, Hanif menyandarkan kepalanya ke jok. “Gila. Makan jam sebelas malam sama orang yang baru tiga hari lalu marah ke aku. Hidupku makin aneh.”

Sekar tersenyum tipis. “Kali ini kita punya kesamaan.”

Hanif melirik. “Kamu juga ngerasa gitu?”

“Ya. Kamu aneh. Cerewet. Menyebalkan. Berisik.”

Bukannya tersinggung, Hanif malah tertawa kecil. “Dan kamu malah ladenin orang berisik ini. Mana ditumpangin pulang segala.”

“Daripada kamu dikejar-kejar hantu rumah sakit, mending aku tawarkan pulang bareng. Lagian kalau nggak terima, silakan turun. Ini udah di tempat ramai. Kamu bisa dapat ojek online di sekitar sini.”

Hanif langsung menggeleng. Padahal yang dikatakan Sekar memang benar, tapi entah kenapa dia merasa ingin bersama perempuan ini lebih lama.

“Nggak boleh mengerjakan sesuatu setengah-setengah. Harus sampai tuntas,” katanya beralibi.

Sekar tak menjawab. Tapi ia mengambil tisu, lalu menyodorkannya ke Hanif tanpa bicara. Tangannya sempat menyentuh jemari Hanif sekilas.

Mereka sama-sama diam lagi. Tapi kali ini, jantung mereka tidak.

Hanif menatap keluar jendela. Lalu bergumam pelan, hampir tak terdengar, “Malam Minggu kayak gini... biasanya kamu ngapain?”

Sekar berpikir sebentar. “Baca buku. Atau nonton film sendirian.”

“Sekarang?”

Sekar menoleh. “Makan ayam jam sebelas malam bareng dokter yang cerewet.”

Hanif tertawa. “Cerewet tapi bisa bikin kamu senyum sendiri. Tuh bentar lagi juga senyum....”

Sekar mendecak, dia pun mengalihkan tatapan ke jendela. Yang tanpa Hanif tahu, perempuan itu menyunggingkan senyum.

Untuk pertama kalinya senyum itu tak bisa ia tahan. Hanya gara-gara seorang dokter yang mengusik hidupnya beberapa hari belakangan.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!