Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Uniform Pertama
📝 Diary Mentari – Bab 27
"Kebaikan kadang datang dari arah yang tak kita duga—seperti cahaya kecil yang menyusup pelan ke dalam ruang hati yang nyaris padam.”
...****************...
Aku sudah bekerja selama dua minggu di Bali Tropic Wear. Dalam kurun waktu singkat itu, aku tumbuh dari gadis pemalu yang gemetar saat menyapa pembeli, menjadi seseorang yang mulai terbiasa dengan ritme dunia kerja. Setiap pagi, aku membuka toko dengan kunci yang dipercayakan oleh Mba Ketut. Setiap langkahku menyapu lantai, mengelap rak kaca, dan menata baju-baju di hanger terasa seperti langkah kecil menuju dunia baruku. Dunia di mana aku bukan lagi anak SMA di kampung Karet, melainkan gadis muda yang tengah menjemput nasib di Ubud.
Hari itu Pak Kartika datang lebih awal. Ia memerhatikan cara kerjaku, dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa takut. Ada ketenangan yang kurasakan, mungkin karena aku mulai mengenal siapa diriku dan apa kemampuanku. Setelah melihat caraku melayani pembeli, Pak Kartika menepuk pundakku.
“Bagus, Tan. Semangatmu luar biasa. Terus belajar, ya. Nanti kalau sudah siap, kamu belajar juga di kasir.”
Aku mengangguk cepat, menahan senyum yang nyaris meledak dari wajahku.
“Pak, jadi dikasi uniform ya?” tanya Mba Ketut dari belakang.
“Iya, kamu kasih aja. Sudah waktunya,” jawab Pak Kartika, lalu berlalu meninggalkan toko.
Uniform. Kata itu sederhana, tapi bagiku artinya besar. Sejak hari pertama bekerja, aku hanya memakai satu setel baju: kemeja putih dan celana panjang hitam—satu-satunya pakaian rapi yang kubawa dari kampung. Sudah kucuci berkali-kali malam hari dan kukeringkan sebisaku agar bisa kupakai lagi esoknya.
Hari itu juga aku bertemu dengan Yuli, teman pertamaku di toko ini.
“Hai,” sapa suara ramah yang membuatku menoleh.
Dia sangat cantik. Rambutnya lurus, panjang, dan sedikit pirang, wajahnya dihiasi lesung pipi yang manis saat tersenyum.
“Aku Yuli,” katanya sambil mengulurkan tangan.
“Mentari,” jawabku pelan, menyambut uluran tangannya.
“Baru lulus?” tanyanya ramah.
Aku mengangguk.
“Udah tiga hari aku perhatiin kamu pake baju yang sama terus ya?”
Aku terkejut. Selama ini aku merasa seperti makhluk asing di antara lima SPG cantik lainnya. Mereka selalu tampil modis dan wangi, sedangkan aku? Selalu merasa seperti anak kampung yang nyasar.
“Hmm… iya,” jawabku pelan, menunduk.
“Kenapa nggak beli di pasar? Banyak kok baju murah di sana,” katanya.
“Aku… nggak tahu pasarnya di mana. Dan… aku juga nggak punya uang,” kataku jujur.
Suaraku hampir tak terdengar. Aku tahu Yuli mendengarnya. Dia menatapku, kali ini tanpa senyum.
Aku cuma punya 150 ribu. Itu untuk makan siangku sebulan sebelum gajian.
Uang itu berasal dari tiga sumber: 50 ribu dari Bapak, 50 ribu dari Kakek Nenek, dan 50 ribu lagi tabunganku sendiri. Dengan uang itu aku membeli makan siang dari tukang jajan keliling yang sering lewat depan toko. Di istana, aku hanya makan pagi dan malam bersama keluarga Pak Kartika, itupun tanpa bisa memilih menu. Aku tidak boleh membeli yang lain..."desah batinku
“Mau pakai baju bekas aku?” tanya Yuli tiba-tiba.
Aku menoleh cepat.
“Masih bagus kok. Aku juga dulu waktu training cuma punya dua stel baju. Nanti aku bawain ya,” katanya sambil tersenyum.
Aku nyaris menangis. Di tengah dunia yang terasa asing, ada satu tangan yang menyentuh hatiku dengan hangat.
Keesokan harinya, Yuli datang membawa plastik berisi dua pasang baju.
“Nih, semoga muat ya. Kalo kekecilan bilang, masih ada yang lain di rumah,” katanya ringan.
Aku menerimanya dengan kedua tangan, menunduk dalam-dalam.
“Terima kasih… Yuli.”
“Eh, jangan formal gitu ah. Kita kan temenan,” katanya sambil tertawa.
Sejak saat itu kami jadi lebih dekat. Yuli jadi tempat curhat pertamaku, sahabat pertamaku di toko, orang pertama yang membuatku merasa tidak sendirian di Ubud.
Hari itu, Mba Ketut memberiku uniform toko: blus biru langit dengan bordiran logo Bali Tropic Wear di dada kiri dan rok hitam selutut.
Aku memeluk seragam itu seperti anak kecil yang menerima hadiah ulang tahun.
“Besok langsung pakai ya,” kata Mba Ketut.
Aku mengangguk penuh semangat. Malam itu, seragam itu kutaruh di atas tempat tidur, kupandangi lama sebelum kusimpan rapi di lemari.
Aku menangis diam-diam malam itu. Tapi bukan karena kesedihan, melainkan karena rasa syukur yang tak tertahan. Aku sudah bertahan dua minggu. Aku punya seragam. Aku punya teman. Dan aku sudah mulai menemukan bagian dari diriku yang hilang di antara tembok-tembok dingin istana itu.
Esok paginya, untuk pertama kalinya aku mengenakan seragam.
Aku berdiri lama di depan cermin kecil, tersenyum melihat pantulan diriku sendiri.
Hari itu aku tak lagi merasa seperti anak kampung.
Aku adalah Mentari.
Gadis yang berani merantau, bertahan, dan perlahan menjemput takdirnya.
“Seragam ini bukan hanya kain dan benang—ia adalah bukti bahwa aku bertahan, bahwa aku bisa, dan bahwa aku pantas ada di sini.”
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.