Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Cinta?
Suasana apartemen yang semula penuh kehangatan berubah mencekam dalam sekejap. Setelah kepergian Ziva dan kedua orang yang mengikutinya, Calvin berdiri diam di tengah ruangan, napasnya memburu, wajahnya merah padam menahan amarah yang tak terbendung. Matanya liar, seperti ingin meledak.
Tiba-tiba, ia berteriak kencang, "Sialan semua ini!!"
Dengan satu tendangan keras, meja kecil di samping ranjang terjungkal, menghantam dinding hingga pecahan kaca berserakan di lantai. Vas bunga yang semula berdiri manis pun dilempar ke arah cermin, memecah refleksi mereka menjadi serpihan tak utuh.
"Daddy, tolong… berhenti! Kamu bikin aku takut!" jerit Raline dari balik selimut, tubuhnya gemetar hebat.
Namun Calvin tak mempedulikannya. Ia mengacak-acak seluruh isi apartemen, menarik gorden, menjatuhkan lampu meja, bahkan merobek seprai dengan brutal. Tangannya bergetar, bukan karena lelah, melainkan karena luapan emosi yang tak tahu harus dilampiaskan ke mana.
"Daddy...."
Saat Raline mencoba mendekat untuk menenangkannya, Calvin berbalik dan menatapnya tajam.
"BERHENTI PANGGIL AKU DADDY!" teriaknya hingga membuat Raline mundur satu langkah. "Mulai sekarang, aku bukan siapa-siapa lagi buat kamu!"
Dengan langkah besar, Calvin mendekat dan mencengkeram rahang Raline. Tatapan matanya penuh benci, seolah wanita yang dulunya ia peluk mesra kini hanyalah musuhnya.
"Semua ini salah kamu, Raline! Kalau kamu nggak godain aku dulu, kalau kamu nggak pancing aku setiap kali kita ketemu—aku nggak akan sampai kayak gini! Hidupku hancur sekarang. Istriku pergi. Reputasi dan hartaku semua di ujung tanduk! Semua… GARA-GARA KAMU!" bentaknya.
Air mata Raline jatuh satu per satu, tetapi ia tak bisa melawan. Kedua tangannya mencengkeram lengan Calvin yang mencengkeram wajahnya begitu kuat.
"Ka… Kamu juga ikut... kamu juga yang mulai, Calvin… Aku—aku pikir kamu cinta sama aku…"
Calvin justru tertawa miris. "Cinta? Kamu pikir aku cinta sama cewek miskin yang bahkan nggak punya arah hidup kayak kamu?! Hah?! Kamu cuma pelarian buatku, Raline. Pelampiasan! Dan kamu pikir kamu cukup pantas buat jadi bagian dari hidupku?"
Setelah kata-kata itu, tiba-tiba tangan Calvin terangkat dan plak!—pukulan keras mendarat di wajah Raline. Tubuh gadis itu terhempas ke ranjang, menangis sesenggukan sambil memegangi pipinya yang memerah.
Calvin hanya menatapnya sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. Ia merapikan kembali kemeja dan celananya, menyisir rambutnya dengan tangan gemetar. "Aku harus perbaiki semuanya. Aku harus kembali ke Ziva, dan pastikan dia nggak sebar video itu."
Dengan langkah tergesa dan emosi yang belum padam, Calvin berjalan menuju pintu. Sebelum pergi, ia menoleh sebentar ke arah Raline yang masih menangis tertelungkup di ranjang, lalu membanting pintu sekuat tenaga hingga terdengar suara retakan dari kusen.
Hening. Setelah semuanya, hanya isak tangis Raline yang terdengar.
Gadis itu perlahan bangkit, menatap kaca yang retak di depannya. Dirinya terlihat begitu berbeda dari beberapa jam lalu. Wajahnya bengkak, matanya merah, tubuhnya gemetar. Ia menyentuh pipi yang tadi dipukul, air matanya kembali mengalir deras.
"Aku bodoh… aku bodoh banget…" gumamnya lirih. "Aku ninggalin Harry… pria yang tulus, yang nggak pernah marah walau aku selalu nyakitin dia… demi laki-laki kayak Calvin..."
Kenangan tentang Harry mulai bermunculan. Senyum hangatnya, caranya memeluk Raline saat gadis itu sedang terpuruk, bahkan perhatian-perhatian kecil yang tak pernah gagal membuat Raline merasa dicintai.
"Aku udah hancurin semuanya… aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana lagi…" katanya sambil memeluk lututnya.
Malam itu, Raline menangis seorang diri di unit apartemen yang kini hancur berantakan, bukan hanya oleh emosi Calvin, tetapi oleh kenyataan pahit yang baru saja menampar hidupnya. Ia baru benar-benar menyadari: cinta yang ia pikir sempurna, ternyata hanya ilusi dari nafsu dan kebohongan.
÷÷÷
Langkah kaki Harry terdengar berat saat ia melangkah masuk ke rumah besar keluarga Hartanto. Rumah itu biasanya terasa hidup dengan suara dari ruang tengah, atau sekedar bunyi-bunyi kecil dari kegiatan mama dan papanya. Namun sore ini, suasana berbeda. Sepi. Terlalu sepi.
Harry melepas jasnya dan meletakkannya di gantungan dekat pintu. Kepalanya masih dipenuhi pertanyaan dan amarah. Ia baru saja mengalami perampokan pagi tadi di tengah jalan. Beberapa pria tak dikenal menyerangnya dan membawa kabur sebuah laptop serta ponsel miliknya yang berisi video bukti perselingkuhan papanya dengan Raline.
Dengan napas yang masih berat, Harry mencari-cari sosok orangtuanya. Tapi tak ada siapapun di ruang tamu, ruang baca, bahkan ruang kerja Calvin. Ia akhirnya bertemu Nindy, pelayan yang sedang membersihkan vas bunga dekat tangga utama.
"Nindy, kamu tahu Mama dan Papa di mana?" tanya Harry tajam.
Nindy tampak gugup, lalu menjawab, "Tuan dan Nyonya pergi sejak siang, Tuan Muda. Tidak bilang akan ke mana, hanya bawa mobil bersama sopir."
Harry mengangguk pelan. Wajahnya menegang. "Baik. Kalau begitu, tolong jangan ganggu saya dulu. Saya mau ke kamar."
Baru saja ia hendak menaiki tangga, ponselnya berdering. Nama Robert terpampang di layar. Ia segera mengangkatnya.
"Ya, Robert?"
Suara Robert terdengar cepat dan serius. "Tuan Harry, kami berhasil mendapatkan informasi dari salah satu anggota kelompok yang menyerang Anda pagi tadi. Mereka dibayar oleh seorang perempuan. Dan setelah penyelidikan lebih dalam, kami menemukan nama... Raline, Tuan."
Jantung Harry berdetak keras. Rahangnya mengeras, matanya menatap nanar ke dinding seolah ingin meninju sesuatu.
"Raline?! Jadi dia… dia yang nyuruh orang buat nyerang saya?"
"Benar, Tuan. Kami yakin. Dia menyewa mereka untuk merebut laptop dan ponsel yang Anda bawa. Mungkin dia takut rahasianya terbongkar."
Harry menghela napas panjang. Kini ia benar-benar tak bisa menahan amarah. "Mereka berdua sudah kelewatan!" gumamnya. "Papa dan Raline. Sama-sama brengsek!"
Ia segera berjalan cepat menuju ruang kerjanya. Dengan gerakan kasar, ia membuka laptop dan mulai mengakses file video rekaman pengintaian yang dimilikinya—video yang menunjukkan Calvin dan Raline sedang bermesraan di beberapa tempat, termasuk di mobil dan apartemen.
"Aku harus sebarkan ini. Semua orang harus tahu kebusukan mereka," gumam Harry dengan suara berat.
Namun, sebelum ia sempat menekan tombol upload, suara mobil terdengar dari luar jendela. Ia berdiri kaku dan berjalan menuju balkon kamar. Ia melihat Ziva baru saja turun dari mobil. Wajah wanita itu kusut, sembab, dan matanya merah karena menangis.
Harry segera turun ke lantai bawah dan menyambut mamanya yang baru masuk lewat pintu depan. "Ma, ada apa? Mama kenapa?" tanyanya lembut sambil meraih bahu ibunya.
Ziva terisak, menggeleng pelan, namun kemudian jatuh dalam pelukan anaknya. "Harry… mama lihat semuanya, Nak… semuaaa…"
"Apa maksud mama?" Harry berpura-pura bingung.
Ziva menarik napas panjang, suaranya parau. "Tadi… mama ke apartemen tempat Calvin biasa nginep kalau ada rapat kampus. Mama curiga… dan ternyata benar… dia di sana. Sama perempuan itu… sama Raline!"
"Raline?" Harry mengerutkan kening, berpura-pura terkejut. "Raline yang tunangan aku itu, Ma?"
Ziva mengangguk lemah, matanya kembali basah. "Iya, Nak. Mereka lagi di ranjang… berdua… Mama lihat dengan mata kepala Mama sendiri, Harry. Mama nggak tahan…"
Harry menggertakkan gigi dalam diam. Tapi ia tetap menahan dirinya, menyembunyikan fakta bahwa ia telah tahu semua itu sejak lama. Ia harus tetap tenang demi menjaga Ziva, yang kini sudah sangat rapuh.
"Mama... tenang dulu, ya. Duduk dulu. Aku ambilin air putih," ujarnya lembut sambil memapah Ziva ke sofa.
Setelah menenangkan sang ibu, Harry kembali masuk ke ruang kerjanya, menatap layar laptopnya dengan penuh pertimbangan. Jari-jarinya melayang di atas keyboard. Video itu siap disebarkan. Tapi hatinya masih ragu.
"Kalau video ini tersebar… nama Mama juga bisa terbawa. Papa bisa kehilangan segalanya. Tapi… mereka pantas mendapatkannya."
Matanya menatap layar dengan dingin. Ia tahu waktunya akan tiba. Dan saat itu, Calvin dan Raline akan membayar lunas semua pengkhianatan ini.
serem, tegang, tp buat penisirin. ikut kepoinlah ya thor....
lanjutlah thor. semabgat ya...