Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Masa Lalu Pilihan Mertua
Diva menarik koper pelan, langkahnya mantap menuju pintu rumah yang selama ini hanya menjadi tempat tinggal, bukan rumah dengan kehangatan. Hatinya sudah bulat, tak ada lagi ruang untuk bertahan di antara kepalsuan dan penghianatan,segala hinaan dari ibu mertuanya.
Bu Susan yang duduk di ruang tamu langsung menatap tajam saat melihat Diva melintas dengan koper di tangan.
“Mau ke mana kamu, menantu mandul? Bawa koper segala.” tanyanya dengan nada sengit.
Diva berhenti sejenak, menoleh tanpa ekspresi.
“Pulang,” jawabnya datar namun tegas.
Bu Susan berdiri, menghampiri dengan sikap congkak.
“Ingat ya, kamu masih bersuami! Udah untung dikasih tempat tinggal yang bagus, malah milih pulang ke rumah peninggalan orang tuamu yang jelek itu!”
Diva menatap lurus, matanya menyala.
“Cukup ya, Bu. Ibu boleh hina saya, tapi jangan hina orang tua saya.”
Wajah Bu Susan memerah, namun masih juga melontarkan kata-kata pahit.
“Halah, gak usah sok! Tanpa anakku, kamu itu cuma pelayan toko! Jangan bawa barang-barang anakku tuh, sebelum kamu pergi, mau aku cek isi koper kamu!”
Diva meletakkan kopernya di lantai dan membuka resletingnya perlahan.
“Silakan.” katanya singkat, mempersilakan dengan penuh keyakinan. Semua yang ia bawa hanya miliknya sendiri.
Setelahnya, Diva menutup koper kembali, menarik napas panjang, lalu melangkah keluar dari rumah itu tanpa menoleh sedikit pun.
Dalam hatinya ia berbisik,
“Tunggu saja surat dari pengadilan. Dan soal Arman, semua akan segera sampai ke atasannya. Ini belum selesai.”
Begitu Diva benar-benar pergi, Bu Susan langsung meraih ponselnya dan menekan nomor Arman dengan cepat. Nada sambung terdengar sebentar sebelum tersambung.
"Halo, Man... itu istri kamu barusan keluar rumah bawa koper, katanya mau pulang ke rumah orang tuanya!" suara Bu Susan terdengar penuh nada kesal.
Di ujung telepon, Arman baru saja selesai berbagi peluh. Tapi mendengar kabar itu, ia langsung duduk tegak.
"Apa? Kok bisa? Kenapa Ibu nggak tahan dia?" suara Arman naik satu oktaf, geram bercampur panik.
Bu Susan langsung menjawab dengan nada tinggi,
"Malas Ibu, Man. Dia itu cuma bikin sakit hati ibu terus! Biarin aja, udah bagus kamu punya Raya sekarang jadi menantu. Ibu lebih senang liat kamu sama dia."
Arman mendengus, menahan emosi. Ia tahu situasi makin rumit apalagi kalau Diva benar-benar ada semua bukti seperti ancamannya.
Dalam hati ia bergumam,
“Sial, jangan sampai ini merusak semuanya…”
Diva pulang ke rumah orang tuanya dengan langkah gontai dan mata yang sembab. Wajahnya menyimpan luka yang dalam, tapi sorot matanya tak lagi kosong ada tekad yang perlahan menyala di balik kehancuran itu.
Sesampainya di kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, memandang koper yang hanya berisi sebagian kecil dari hidupnya. Hatinya memang remuk, namun pikirannya mulai jernih.
"Cukup sampai di sini aku diinjak-injak... Aku harus bangkit. Aku tahu apa yang harus kulakukan," ucapnya lirih, tapi penuh keyakinan.
Ia membuka ponselnya, mengecek kembali pesan dari pengacaranya. Semua dokumen sudah siap, bukti-bukti sudah aman, dan kini waktunya ia berdiri untuk dirinya sendiri. Sekuat apapun orang mencoba menjatuhkannya, Diva tahu ia tidak akan jatuh lagi tanpa bangkit lebih tinggi.
Seminggu telah berlalu sejak Diva meninggalkan rumah itu dengan hati yang koyak. Arman sempat mendatanginya, namun hanya sekadar formalitas, tanpa ketulusan, tanpa kehangatan. Sikapnya dingin, seolah tak pernah ada cinta yang tumbuh selama tujuh tahun mereka bersama.
Di rumah, suasana berubah. Raya kini tinggal di sana, membuat Bu Susan terlihat semakin sumringah setiap harinya. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya, terutama saat melihat menantu pilihannya itu sibuk bekerja namun tetap bisa menyenangkan hati mertua.
Arman pun kembali ke rutinitas sebagai PNS. Dalam benaknya, semua sudah terkendali. Diva telah pergi namun Arman, Raya sudah resmi menjadi istrinya, dan pekerjaan tetap berjalan lancar. Ia merasa aman... terlalu aman. Tak pernah terpikir olehnya bahwa ketenangan itu hanyalah jeda sebelum badai yang lebih besar datang menghantam.
—
Diva kini disibukkan dengan tokonya sendiri. Kesibukan itu menjadi pelarian sekaligus penguat dirinya. Meski batinnya masih menyimpan luka, hari-hari di toko perlahan mengobati. Ia mulai belajar untuk tidak lagi membiarkan rasa sakit mengendalikan hidupnya.
Di balik wajah yang mulai tenang itu, rencana tetap berjalan. Ia telah mengirimkan rekaman pernikahan Arman dan Raya ke atasan Arman. Tak perlu banyak bicara, cukup bukti yang berbicara.
“Dua minggu lagi surat dari pengadilan agama akan keluar. Kita lihat nanti, Man… kamu datang atau tidak,” gumam Diva pelan, sembari memandangi kalender kecil di meja tokonya. Mata tajamnya tak lagi menyiratkan kesedihan kini hanya ada tekad dan ketegasan.
—
Keesokan paginya, suasana kantor tempat Arman bekerja mendadak riuh. Dari parkiran, Arman sudah merasa ada yang aneh tatapan orang-orang padanya sinis, seolah menyimpan sesuatu. Saat ia masuk ke ruangan, beberapa rekan kerjanya langsung menghampiri.
“Gawat, Man... coba kamu lihat ini deh,” ujar salah satu dari mereka, menyodorkan ponsel yang memutar video pernikahannya dengan Raya.
Arman membeku. Wajahnya memucat. “Sial… siapa yang ngerekam ini?” batinnya kalut.
“Udah sampe ke Kabid belum, ya?” tanya Arman dengan suara tertahan.
“Udah, Man… barusan malah beliau liat langsung dari grup WA staf,” jawab salah satu temannya pelan.
“Matilah aku…” gumam Arman, menelan ludah.
“Yang sabar ya, bro. Siapin aja mental…,” ucap teman lainnya mencoba menyemangati, meski nada suaranya juga berat.
Arman tahu, badai besar sudah di depan mata dan ini baru awal dari semua balasan Diva.
Siang itu, dengan langkah berat dan keringat dingin, Arman mengetuk pintu ruangan Kabid. Setelah dipersilakan masuk, ia duduk di hadapan atasannya dengan jantung berdebar hebat.
“Arman, saya mau tanya… apakah kamu sudah meminta izin istri pertamamu sebelum menikah lagi?” tanya Kabid tegas, tatapannya tajam menembus wajah Arman.
“Be…belum, Pak…” jawab Arman dengan suara pelan dan gugup.
Kabid menghela napas dalam. “Kenapa tidak izin? Kamu tau, kan, sebagai PNS, ada aturan yang harus dipatuhi. Kamu bisa dikenakan sanksi disiplin berat karena melanggar aturan.”
“Tapi, Pak… istri saya selama tujuh tahun belum bisa memberikan keturunan…” kilah Arman, mencoba mencari simpati.
“Dengar, saya paham itu masalah pribadi. Tapi sebagai abdi negara, kamu tetap terikat pada regulasi. PNS yang menikah lagi tanpa izin istri pertama bisa dijatuhi sanksi disiplin berat, bahkan hingga pemecatan,” ujar Kabid tegas.
Arman terdiam. Kabid melanjutkan, “Selain itu, kamu juga bisa dikenakan sanksi pidana karena melanggar Pasal 279 KUHP. Melakukan pernikahan kedua tanpa izin pengadilan itu pidana, Man. Hukumannya bisa sampai lima tahun penjara.”
Arman menelan ludah, wajahnya pucat. Ia tak menyangka semua bisa secepat dan seberat ini. Bayangan hidup tenang bersama Raya perlahan runtuh di hadapannya. Badai yang dikira takkan datang, kini sudah tepat di atas kepalanya.
Sore itu, dengan langkah gontai dan wajah lesu, Arman masuk ke rumah. Ibu Susan dan Raya yang sedang duduk di ruang tamu langsung menoleh dengan heran.
“Bang, kamu kenapa?” tanya Raya sambil bangkit menghampiri.
“Duduk dulu… aku buatin minum, ya,” tambahnya, mencoba menenangkan suasana yang terasa aneh.
Namun Arman hanya mengangguk lemah. “Tunggu, Raya… biar aku bicara dulu sama Ibu,” ujarnya pelan.
Raya yang sudah merasa ada sesuatu akhirnya masuk ke dapur untuk menyiapkan minuman, meski hatinya ikut gelisah.
“Ibu…” ucap Arman, menatap wajah ibunya. “Video pernikahan aku sama Raya… udah nyebar. Kantor geger. Aku dipanggil Kabid siang tadi.”
Ibu Susan langsung membelalak. “Apa?! Astaghfirullah…,” ucapnya sambil memegangi dadanya. Wajahnya pucat, tubuhnya nyaris limbung. “Kamu becanda, kan, Man?!”
“Ini serius, Bu. Mereka bilang aku bisa kena sanksi berat… bahkan bisa dipecat,” ucap Arman putus asa.
Raya yang datang membawa minuman pun mendengar kalimat terakhir itu. Tangannya gemetar, gelas nyaris jatuh dari nampan. “Dipecat…?” bisiknya lirih. Wajahnya berubah pucat pasi, semua rencana bahagia yang dibayangkan perlahan buyar bersama kabar buruk itu.
lanjut author..💪💪