Di seluruh alam semesta ini banyak sekali mahkluk hidup, termasuk manusia. Tapi ini bukan tentang kisah manusia melainkan kisah sang NPC Dewa yang berkelana ke berbagai Dimensi dan bertemu banyak makhluk hidup, YA anda tidak salah baca! Disini memang akan menceritakan NPC Dewa.
Kisahnya berawal dari dimensi (dunia) para dewa mulai hancur gegara kekuatan misterius yang membuat retakan besar dan banyak di dimensi para dewa.
Bagaimana para dewa bisa mengembalikan dimensi mereka menjadi utuh kembali?
Segera baca novel ini untuk mendapatkan lanjutannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AHMU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MASALAH MISTERIUS
{Kembali ke Flavio}
Di dalam hutan...
"Gelap juga ya, di sini?" ucap Vio, duduk di atas batang pohon besar yang tumbang.
"Namanya juga malam hari, apalagi ini hutan. Wajar kalau tidak ada penerangan."
"Memang sih... tapi aku kesepian di sini."
"Aku kan ada di sini. Kenapa merasa kesepian?"
"Kau cuma menemani pikiranku, bukan benar-benar berada di sisiku."
"Hehe, yang penting kau punya teman ngobrol."
"Ya sudahlah. Aku lanjut cari jalan keluar dari hutan ini."
Vio berdiri dan mulai menelusuri hutan yang gelap, penuh semak berduri dan suara-suara malam yang samar.
Angin malam berhembus pelan, menggoyangkan daun-daun yang nyaris tak terlihat dalam kegelapan. Flavio menghela napas panjang. Di tengah hutan yang sunyi, suara pikirannya menjadi satu-satunya teman.
Waktu pun berlalu, hingga akhirnya Vio berhasil keluar dari hutan. Begitu keluar, ia terkejut mendapati dirinya berdiri di samping tembok batu tinggi milik sebuah kerajaan. Dinding itu menjulang tinggi dan misterius, membuatnya penasaran.
“Apa yang ada di balik tembok ini?” pikirnya.
Vio berjalan menyusuri dinding itu, satu tangan menyentuh permukaannya yang dingin. Tak lama kemudian, ia sampai di gerbang utama. Di sana, banyak orang mengantre untuk masuk. Hanya mereka yang memiliki tiga koin tembaga yang diperbolehkan masuk.
Sayangnya, semua koin Vio sudah diambil oleh para kloning dirinya—untuk membiayai para istri mereka di desa Succubus. Vio hanya bisa menghela napas dan melangkah pergi dengan kecewa.
Namun, saat hendak meninggalkan tempat itu, terdengar suara seseorang memanggil, "Hei! Apa kau ingin masuk bersama?"
Vio berbalik, menelusuri kerumunan mencari asal suara itu. Tak lama kemudian, sebuah tangan melambai padanya. Seorang perempuan dengan rambut panjang tersenyum dan melangkah mendekat.
"Aku lihat kau baru di sini. Kau nggak bawa uang, ya?" tanyanya sambil merapikan rambutnya.
"Sebenarnya tadi aku bawa, tapi diambil orang..." jawab Vio dengan canggung.
"Kalau begitu, masuk saja bersamaku. Tenang, aku nggak akan minta imbalan," ucapnya lembut.
"Be-benarkah? Terima kasih!"
"Sama-sama. Oh iya, namaku Naoki. Aku seorang petualang." Ia mengulurkan tangan.
"Namaku Flavio. Salam kenal," balas Vio sambil menjabat tangannya.
Keduanya lalu berdiri bersama dalam antrean.
Beberapa menit kemudian...
Keduanya berhasil masuk ke dalam kerajaan. Pemandangan di balik tembok itu jauh dari yang Vio bayangkan.
Jalan-jalan batu tertata rapi. Bangunan dengan atap tinggi berdiri megah, dihiasi lentera kristal yang memancarkan cahaya biru keunguan. Di kejauhan, menara istana menjulang dengan bendera kerajaan berkibar tertiup angin malam.
"Wow..." Vio tak bisa menahan rasa kagumnya.
Naoki menoleh dan tersenyum. "Selamat datang di Kerajaan Elarion. Ini tempat paling ramai di seluruh benua timur. Tapi... juga tempat paling penuh rahasia."
"Rahasia?"
Naoki hanya tersenyum samar. "Kau akan tahu nanti. Tapi untuk sekarang, kita harus cari penginapan dulu sebelum malam semakin larut. Kota ini berubah saat tengah malam."
"Berubah?"
"Percayalah... kau tidak ingin berkeliaran di luar saat itu."
Ia mengikuti Naoki menyusuri kota, tak menyadari bahwa langkah kakinya sedang menuju ke takdir yang jauh lebih besar dari sekadar keluar dari hutan.
Setelah berjalan beberapa menit, Flavio dan Naoki sampai di sebuah penginapan kecil di pinggiran pusat kota. Bangunannya dari kayu tua namun terawat, dengan papan nama bergoyang pelan tertiup angin malam: “Burung Hantu Tidur”.
Naoki mengetuk pintu dua kali. Tak lama, seorang pria tua dengan brewok lebat membuka pintu, matanya menyipit curiga sebelum melihat Naoki dan tersenyum ramah.
"Ah, Naoki! Sudah lama tidak ke sini. Bawa teman rupanya?"
"Teman baru," jawab Naoki sambil menepuk bahu Flavio. "Kami butuh kamar untuk semalam."
"Masuk, masuk. Masih ada kamar kosong di lantai dua."
Begitu mereka masuk, suasana hangat langsung menyelimuti tubuh Flavio. Bau kayu bakar dan sup hangat memenuhi ruangan. Beberapa tamu duduk di pojok, sebagian mengenakan jubah lusuh, sebagian lainnya bersenjata lengkap.
Naoki membisik, "Itu para petualang juga. Beberapa mungkin berbahaya, jadi jangan terlalu banyak bicara."
Flavio mengangguk, matanya masih menjelajahi ruangan.
Setelah naik ke kamar, mereka beristirahat sebentar. Namun, tak lama kemudian, suara ketukan terdengar dari jendela kamar mereka—padahal mereka di lantai dua.
Naoki langsung berdiri dan membuka tirai. Tapi tak ada siapa-siapa.
"Aneh," gumamnya.
Flavio mendekat dan melihat secarik kertas yang terselip di bingkai jendela. Naoki mengambilnya dan membaca isinya pelan:
"Jangan percaya siapa pun di kerajaan ini, bahkan mereka yang tampak ramah. Mata-mata Raja Kegelapan telah menyusup ke Elarion. Hati-hati, Flavio."
Flavio membeku. "Bagaimana mereka tahu namaku?"
Naoki mengerutkan kening. "Sepertinya ini bukan perjalanan biasa yang kau jalani, Flavio."
"Sepertinya tidak..." Flavio menatap ke luar jendela, ke arah kota yang kini terlihat lebih sunyi dan gelap.
Dari kejauhan, lonceng berdentang tiga kali.
Naoki menoleh dengan cepat. "Kita harus menutup semua jendela. Mulai tengah malam, makhluk-makhluk dari luar kota bisa menembus batas perlindungan kerajaan."
"Makhluk?"
Naoki hanya mengangguk pelan. "Dan biasanya... mereka mencari orang-orang seperti kamu."
Ding... dang... ding...
Tiga dentang lonceng menggema dari menara pusat kota. Udara di luar jendela terasa berbeda—lebih dingin, lebih sunyi, lebih... berat.
Naoki buru-buru menutup tirai dan mengunci jendela. Ia meraih pedang tipis dari dalam tas dan memeriksanya.
"Flavio, jangan buat suara. Apa pun yang terjadi, jangan buka jendela ini, mengerti?"
Flavio mengangguk—tapi ekspresinya sedikit santai, bahkan agak geli. "Tenang saja. Aku ahli dalam hal diam... kalau sedang tidur."
Naoki menatapnya, separuh ingin tertawa, separuh khawatir. Tapi sebelum sempat bicara, suara geretan logam terdengar dari luar.
Seperti kuku raksasa yang menyeret tembok.
Seketika, suasana berubah tegang.
Flavio menempel ke dinding, mencoba mengintip dari celah tirai. "Eh... itu... bayangan ya? Tapi kok jalannya kayak... laba-laba yang kelaperan?"
Naoki berbisik tegas, "Jangan lihat langsung. Makhluk-makhluk itu bukan hanya menyerang secara fisik... kadang mereka menyerang lewat pikiran."
KRRAAAK...
Sebuah suara keras terdengar dari bawah. Jendela kamar sebelah pecah.
Teriakan seseorang memecah keheningan.
Naoki langsung merunduk. "Mereka masuk!"
Flavio bergumam pelan, "Kalau aku yang jadi makhluk itu, aku juga ogah masuk lewat pintu depan sih."
Naoki melirik Flavio dengan heran, tapi tak sempat menanggapi. Ia membuka papan lantai rahasia di sudut ruangan.
"Ada jalan keluar darurat lewat sini. Kita harus cepat."
Namun sebelum mereka sempat turun, sesuatu mencakar jendela mereka dengan bunyi berderit yang memekakkan telinga.
Flavio melangkah mundur, ekspresinya berubah serius. Matanya berkedip sebentar—dan sesaat, Naoki melihat seberkas cahaya ungu samar melintas di iris mata Flavio.
"Naoki," ucap Flavio dengan suara lebih dalam dari biasanya. "Kau duluan. Aku urus ini."
Naoki menatapnya ragu. "Kau yakin?"
Flavio tersenyum. "Tentu. Aku kan jago... entah dalam hal apa, tapi tetap jago."
Seketika jendela meledak terbuka. Sosok gelap menyelinap masuk, seperti kabut yang membentuk tubuh dengan tangan panjang dan mulut menganga, tapi tanpa wajah.
Naoki tak sempat bicara lagi. Ia turun lewat lubang lantai.
Flavio berdiri diam, menatap makhluk itu dengan kepala sedikit miring.
"Hey, kau datang tanpa ketuk pintu? Nggak sopan. Tapi... ya sudah lah."
Makhluk itu melayang mendekat. Tapi sebelum bisa menjamah Flavio, cahaya samar mulai memancar dari lantai—lingkaran aneh muncul di bawah kakinya.
Flavio tersenyum tipis, matanya kembali bersinar.
"Aku juga bisa main kegelapan, tahu."
BRUUUAAK!!
Ledakan cahaya ungu menyebar, memukul mundur makhluk itu ke luar jendela—langsung meleleh dalam kabut hitam yang menghilang di udara.
Flavio tersenyum santai, lalu bersin.
"Eh, kayaknya tadi terlalu keren. Hidungku kaget."
Ia turun menyusul Naoki.