Flower Florencia hidup dalam tekanan—dari keluarganya yang selalu menuntut kesempurnaan hingga lingkungan universitas yang membuatnya merasa terasing. Di ambang keputusasaan, ia memilih mengakhiri hidupnya, namun takdir berkata lain.
Kim Anderson, seorang dokter tampan dan kaya, menjadi penyelamatnya. Ia bukan hanya menyelamatkan nyawa Flower, tetapi juga perlahan menjadi tempat perlindungannya. Di saat semua orang mengabaikannya, Kim selalu ada—menghibur, mendukung, dan membantunya bangkit dari keterpurukan.
Namun, semakin Flower bergantung padanya, semakin jelas bahwa Kim menyimpan sesuatu. Ada alasan di balik perhatiannya yang begitu besar, sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat. Apakah itu sekadar belas kasih, atau ada rahasia masa lalu yang mengikat mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
"Aku hanya tidak ingin adikku berhubungan dengan seorang pria yang belum tahu perasaannya sendiri. Flower masih muda, aku tidak ingin dia terjebak dalam urusan percintaan. Andaikan dia memang menganggapmu sebagai kakak dan penyelamat, aku bisa menerimanya. Tapi kalau dia mencintaimu, aku akan membawanya pergi," ujar Wilson dengan tegas, matanya menatap tajam ke arah Kim, seolah memberi peringatan terakhir.
Kim terdiam mendengar ucapan itu. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun, namun sorot matanya menggelap. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia membalikkan badan dan melangkah pergi dengan langkah tenang, tapi penuh tekanan batin.
Wilson menghela napas berat, pandangannya tak lepas dari punggung Kim yang semakin menjauh. "Kim Anderson... pria yang sulit ditebak. Apa alasannya begitu perhatian pada gadis yang tidak ada hubungan dengannya?" gumam Wilson pelan, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Beberapa saat kemudian, di rumah sakit yang berbeda
Flower yang masih belum sadar terbaring lemah di atas ranjang. Selang infus menempel di tangannya, dan detak jantungnya terpantau lewat monitor. Kim berdiri di samping ranjang dengan jas dokternya, wajahnya penuh konsentrasi. Ia baru saja memeriksa kondisi Flower secara menyeluruh, setelah berhasil memindahkannya ke rumah sakit tempat ia bekerja—atas permintaan khusus yang ia ajukan sendiri ke pihak atasannya.
Siang itu, Flower menjalani pemeriksaan lanjutan untuk memastikan tidak ada cedera serius. Kim fokus meneliti hasil rontgen yang telah dicetak, alisnya sedikit berkerut saat membaca lembar demi lembar.
"Untung saja tidak mengalami luka dalam," gumam Kim, suara lirihnya terdengar lega namun tetap profesional. Meski ia berusaha bersikap seperti dokter pada umumnya, sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih—sebuah kepedulian yang tak bisa dijelaskan hanya karena tanggung jawab profesi semata.
Di saat Kim sedang fokus meneliti hasil rontgen Flower, ponselnya yang diletakkan di meja bergetar pelan. Getarannya nyaris tak terdengar, tapi cukup mengganggu konsentrasinya. Ia melirik layar, nama yang tertera membuatnya menarik napas sebelum menekan tombol jawab.
“Halo,” sahut Kim, suaranya datar namun sopan.
“Kim, kami telah tiba. Besok kita berkumpul dan makan siang,” terdengar suara berat seorang pria dari seberang sana—suara yang tak asing, namun selalu membawa tekanan tersendiri bagi Kim.
“Pa, kita akan berjumpa besok,” jawab Kim singkat, berusaha menahan keengganannya.
“Sudah saatnya kau melakukan tugasmu sebagai putra sulung keluarga kita,” suara ayahnya terdengar tegas dan tak bisa dibantah, seperti biasa. Kalimat itu terdengar lebih seperti perintah daripada ajakan.
Kim terdiam sejenak. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menatap langit-langit ruangan sambil menggenggam ponsel lebih erat. “Beri aku waktu,” ucapnya akhirnya, nyaris seperti bisikan, namun cukup jelas.
“Kamu sudah menghabiskan waktu selama lima tahun. Jangan meminta lebih. Ingat tanggung jawabmu!” tegur ayahnya dengan nada tajam, menusuk seperti pisau ke dalam hati Kim.
Kim memejamkan mata sejenak, mencoba menahan emosi yang mendesak. "Besok baru kita bicarakan! Sampai jumpa," jawabnya dengan nada dingin, lalu tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut, ia menekan tombol untuk memutuskan sambungan.
Ponsel itu ia letakkan kembali ke meja dengan kasar. Kim menarik napas kasar, lalu memijit pelipisnya yang mulai berdenyut. Kepalanya terasa berat, seolah beban dunia berada di atas pundaknya
Setelah percakapan dengan ayahnya yang menyisakan tekanan, Kim bangkit dari kursinya dengan langkah berat. Ia meninggalkan ruang kantornya, menyusuri lorong rumah sakit yang lengang.
Setibanya di depan kamar perawatan Flower, Kim menarik napas dalam-dalam sebelum mendorong pintu perlahan. Suara derit halus terdengar saat pintu terbuka, dan aroma khas antiseptik menyambutnya.
Ia melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada sosok gadis yang terbaring lemah di ranjang. Flower masih tak sadarkan diri, wajahnya pucat namun tampak tenang, seperti tengah bermimpi panjang.
Tanpa berkata apa-apa, Kim mendekat dan berdiri di samping ranjang. Ia menatap Flower dalam diam, lama sekali, seolah mencoba menemukan jawaban di balik kelopak mata yang tertutup rapat itu. Tangannya sempat terangkat, hendak menyentuh tangan Flower, namun ia urungkan. Ia hanya mengatupkan jemarinya erat, menahan sesuatu yang sulit ia ungkapkan.
“Flower, apa yang harus aku lakukan?” gumam Kim lirih, suaranya nyaris tak terdengar.