Flower Florencia hidup dalam tekanan—dari keluarganya yang selalu menuntut kesempurnaan hingga lingkungan universitas yang membuatnya merasa terasing. Di ambang keputusasaan, ia memilih mengakhiri hidupnya, namun takdir berkata lain.
Kim Anderson, seorang dokter tampan dan kaya, menjadi penyelamatnya. Ia bukan hanya menyelamatkan nyawa Flower, tetapi juga perlahan menjadi tempat perlindungannya. Di saat semua orang mengabaikannya, Kim selalu ada—menghibur, mendukung, dan membantunya bangkit dari keterpurukan.
Namun, semakin Flower bergantung padanya, semakin jelas bahwa Kim menyimpan sesuatu. Ada alasan di balik perhatiannya yang begitu besar, sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat. Apakah itu sekadar belas kasih, atau ada rahasia masa lalu yang mengikat mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
"Flower, Mama tahu kalau kamu marah dan kecewa pada kami," ucap Sammy dengan suara lirih, matanya memohon pengertian. Ia menggenggam tangan Flower dengan harap-harap cemas. "Kami ingin menebus kesalahan kami, apa pun yang kamu minta. Flower, beritahu Mama… apa yang kamu inginkan. Kami akan mengabulkannya."
Flower menatap ibunya dengan sorot mata yang tajam, penuh luka yang tak terucapkan. Matanya yang berkaca-kaca menahan amarah yang telah lama ia pendam. Ia menarik tangannya pelan, lalu berkata dengan nada getir,
"Apa yang aku inginkan? Sudah terlambat, Ma. Aku memiliki keluarga yang lengkap, tapi sayangnya… masa kecilku tidak bahagia sama sekali. Yang aku dapat hanya rasa sakit dan luka. Tidak ada yang percaya padaku. Saat aku dibully oleh teman sekolah, kedua kakakku diam saja. Mereka tidak peduli. Kalian hanya memperhatikan Cici. Dia menangis sedikit saja, dan kalian langsung mencurahkan seluruh perhatian untuk menghiburnya dengan seribu cara."
Flower suaranya pecah menahan emosi.
"Sedangkan aku? Aku ketakutan sendirian. Siapa yang melindungi dan menghiburku? Tidak ada. Keluarga ini menjadi asing untukku. Semua aset yang kalian tawarkan… tidak akan pernah bisa menyembuhkan rasa sakit yang telah kalian tanam selama bertahun-tahun. Masa kecilku sudah hancur. Yang kalian wariskan padaku hanyalah trauma yang tak pernah hilang."
Sammy menunduk, air matanya jatuh tanpa mampu dibendung. Namun Flower belum selesai.
"Kalau bukan karena perbuatan Cici terungkap… apakah kalian masih akan menganggapku sebagai bagian dari keluarga ini? Kalian baru datang sekarang, setelah semuanya terbongkar. Kalian meminta maaf, berharap aku bisa melupakan semua ini begitu saja. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak butuh semua aset itu. Aku sudah lama hidup tanpa keluarga. Aku tumbuh sendiri. Menangis sendiri. Takut dan kesepian dalam diam. Kalian hanya ada untuk Cici—anak yang kalian banggakan."
Flower bangkit dari duduknya, hendak melangkah pergi, tapi Alan buru-buru berdiri, mencoba menghentikannya.
"Flower, jangan kembali ke rumah dokter itu lagi," ucap Alan dengan nada cemas. "Dia tidak punya hubungan darah denganmu. Kalau orang-orang tahu, para tetangga akan bicara buruk tentangmu!"
Flower menatap Alan tajam, matanya tak lagi sekadar marah—kini penuh luka yang mendalam dan kepedihan yang tidak bisa lagi ia pendam.
"Apakah kamu tahu kenapa aku ingin kembali ke sana?" tanyanya dengan suara bergetar. "Karena di rumah itulah aku merasakan kasih sayang dan perlindungan yang tidak pernah aku dapatkan di sini. Kakak Kim memang bukan saudaraku. Dia bukan ayahku. Tapi dia adalah pria yang tulus, menyenangkan, dan membuatku merasa nyaman. Dia lebih memperhatikanku daripada kalian semua. Jadi, apakah kalian masih merasa pantas melarangku pulang ke tempat di mana akhirnya aku merasa dicintai?"
Flower membalikkan badan tanpa menunggu jawaban. Langkahnya mantap, meninggalkan keluarga yang pernah ia harapkan bisa menjadi tempat pulang—tapi yang justru menjadi sumber luka terdalamnya.
Semua orang di ruangan itu terdiam. Tak ada yang mampu berkata apa-apa. Hati mereka diselimuti penyesalan yang dalam, terutama setelah mendengar kata-kata Flower yang tajam dan menyayat.
Mereka menunduk, seolah mengakui kesalahan yang telah lama mereka abaikan.
“Uang tidak bisa membeli kebahagiaan,” ujar Wilson akhirnya, suaranya berat menahan rasa bersalah. “Flower benar. Kita telah menghancurkan masa kecilnya. Seharusnya dia bahagia, dikelilingi cinta. Tapi yang kita berikan hanyalah mimpi buruk dan ketakutan.”
Alan mengepalkan tangannya, masih dipenuhi emosi dan kekhawatiran. “Bagaimanapun, aku akan membawa dia pergi dari rumah dokter itu,” katanya dengan nada tegas.
Wilson memandang Alan dengan tatapan serius, lalu berkata tenang namun penuh peringatan, “Dengan cara apa? Memaksa? Atau menculik secara diam-diam? Jangan lakukan sesuatu yang justru membuatnya semakin membenci kita.”
Alan menatap ayahnya tidak percaya. “Apa kau ingin membiarkan adik kita tinggal bersama pria itu? Seorang pria dan wanita tinggal satu atap—apa pun bisa terjadi! Dokter itu hanya berpura-pura baik. Dia pasti ada maksud lain. Dia hanya ingin memanfaatkan Flower!”
“Alan,” sela Yohanes, yang sedari tadi hanya diam memperhatikan, “untuk hal ini… lebih baik jangan dipaksakan. Biarkan Flower tinggal di tempat yang membuatnya merasa aman. Hanya dokter itu yang berhasil membuatnya nyaman dan tersenyum, sesuatu yang bahkan kita tidak pernah mampu lakukan.”
Alan mengerutkan kening, suaranya melemah meski tetap bersikeras, “Pa, sampai kapan kita akan membiarkan mereka tinggal bersama? Aku hanya tidak ingin Flower dirugikan.”
Yohanes menghela napas panjang, lalu menatap putranya dengan mata yang berat oleh kenyataan.
“Kita tidak bisa melarang Flower. Seperti yang dia katakan, kita tidak pernah memperhatikannya. Kita tidak pernah benar-benar hadir untuknya. Jadi sekarang… apakah kita masih punya hak untuk melarangnya memilih jalannya sendiri?”
***
Di bawah langit sore yang mendung, Flower berdiri di pinggir trotoar, menanti lampu merah berganti hijau untuk pejalan kaki.
Tanpa disadari, dari belakang, seseorang mengikuti setiap langkahnya sejak tadi. Cici. Dengan wajah dingin dan sorot mata penuh dendam, ia mendekat perlahan, memastikan tidak ada satu pun orang di sekitar yang memperhatikan mereka. Ia melirik kanan dan kiri, lalu mengepalkan tangannya.
“Sekarang, selamat tinggal,” gumamnya pelan.
Tanpa ragu, Cici mendorong Flower dari belakang dengan sekuat tenaga.
“Aaa—!”
Flower terjerembap ke tengah jalan. Di detik yang sama, suara mesin mobil meraung kencang dari arah kanan.
“Brak!!!”
Tubuh Flower terpental jauh, menghantam keras aspal jalanan. Suara benturan terdengar begitu memekakkan telinga. Darah mengucur dari kepalanya, mengalir membasahi trotoar yang dingin. Orang-orang mulai berteriak histeris, berlarian mendekat, namun semuanya terasa lambat dan terlambat.
Di kejauhan, Cici membeku di tempatnya. Sekilas, ada rasa panik melintas di wajahnya, tapi dengan cepat ia berbalik dan berjalan menjauh, seolah tak pernah berada di sana.
Sementara itu, Flower tergeletak tak bergerak, matanya setengah terbuka dengan pandangan kosong, dan napasnya mulai melemah. Di sela-sela kesadarannya yang menipis, hanya satu nama yang terlintas dalam benaknya:
“Kak Kim…”
terimakasih untuk kejujuran muu 😍😍😍 ..
sally mending mundur saja.. percuma kan memaksakan kehendak...
kim gak mau jadi jangan di paksa
ka Lin bikin penasaran aja ihhh 😒😒😒