Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Dua CEO, Satu Keputusan Besar
Bulan memasuki kantor Global Teknologi dengan langkah hati-hati, berusaha tampil setenang mungkin meski jantungnya masih terbayang bagaimana Bhumi mengecup punggung tangannya beberapa menit sebelumnya. Gedung kantor masih ramai dengan karyawan yang baru datang, aroma kopi pagi mengisi udara, dan suara keyboard terdengar dari berbagai sudut. Namun suasana itu langsung buyar begitu Liora muncul dari balik meja resepsionis dengan mata membelalak lebar.
Liora memandangi Bulan dari atas sampai bawah, perlahan seperti sedang memindai detail seorang kriminal tampan, lalu akhirnya meletakkan kedua tangannya di pinggang.
“Oke, gue mau tanya satu hal,” katanya sambil mendekat, tatapannya tajam seperti detektif. “Kenapa lo glowing banget pagi ini? Dan jangan bilang lo pakai skincare baru, karena ini bukan glow skincare, Bul… tampang lo kaya anak gadis yang pertama kali jatuh cinta.”
Bulan langsung memerah. “Li…” gumamnya pelan, memalingkan wajah, pipinya bersemu merah cantik.
“Jangan pura-pura polos,” Liora mencondongkan tubuh, suaranya diturunkan tapi vibe kepoan-nya tetap memancar terang. “Gue lihat tadi, ada BMW hitam yang nganter lo sampai depan situ. Dan gue tau itu punya siapa. Lo jangan coba coba bohong sama gue, Bul. Tolong, kita sahabatan hampir sepuluh tahun. Gue gak buta warna tapi gue gak buta tentang cinta.”
Bulan memeluk tas kerjanya di dadanya seolah itu bisa menyembunyikan wajahnya yang merah. “Nggak ada apa-apa kok… cuma… ya begitulah.”
“‘Ya begitulah’ apanya?!” Liora memekik tanpa suara, menyikut lengan Bulan pelan. “Tolong jelaskan kenapa lo datang dengan baju lengkap dari butik mehong, rambut rapi seperti habis di-styling profesional, dan wajah merah malu-malu yang gak bisa lo sembunyiin meski lo tutupin pake map sekalipun?!”
“Liora… please,” keluh Bulan sambil menunduk, tapi senyum tipis di bibirnya membuat Liora hampir berteriak kegirangan.
Liora mendekat, berbisik nakal. “Kalian ngapain aja semalem?”
“Liora!” Bulan mencubit lengannya dan Liora cekikikan tanpa dosa. “Aku ketiduran, itu aja!”
Liora mengangkat alis tinggi. “Ketiduran di mana?”
“…di kamar Mas Bhumi.”
Liora langsung terjatuh dramatis di kursi resepsionis sambil mengibas-ngibaskan udara, seolah berita itu terlalu panas.
“Bul, sumpah ya… kalau gue bisa, gue udah gelar tikar di sini buat liat relationship lo. Tuhan maha adil banget, cowok sekelas Bhumi Jayendra naksir sahabat gue sendiri.”
Bulan menutupi wajahnya lagi. “Udah, ayo kerja…”
“Tapi pipi lo tuh…” Liora mencubit lagi. “Merah banget Bulan. Gemes banget sihhh.”
Tawa Bulan dan Liora masih menggema saat mereka berjalan menuju lift untuk menuju ke lantai lima, lantai dimana ruangan mereka berada. Bahkan sampai lantai lima pun, Liora tidak berhenti menggoda Bulan.
**
Sementara itu, di lantai tiga puluh Arjuno Grand Hotel, Bhumi duduk di ruang kerjanya. Cahaya pagi yang masuk dari jendela besar memantul di meja kayu hitam, tapi sama sekali tidak mengurangi aura gelap yang menggantung di wajahnya.
Arsen berdiri di depannya sambil memegang tablet, tubuhnya tegak, rapi, namun jelas berhati-hati menatap ekspresi atasannya.
“Ini laporan tambahan mengenai Farhan Pahlevi, Pak,” ujar Arsen sambil menyerahkan tablet.
Bhumi menerimanya tanpa kata. Ia membaca sekilas, ekspresinya tetap datar—tetapi jarinya, yang mengetuk permukaan meja kayu dengan ritme pelan dan teratur, menunjukkan bahwa pikirannya tidak tenang.
“Tidak ada catatan buruk sebelum ini,” jelas Arsen hati-hati.
“Secara administrasi, dia bersih. Prestasinya pun cukup bagus. Itu yang membuatnya terpilih menjadi direksi pusat. Dan… memang benar dia sempat pindah kampus ke Kanada, Pak. Tapi selama di sana, datanya bersih. Tidak ada kejanggalan.”
Bhumi tidak mengangkat wajah dari layar. Suaranya rendah, dingin, seperti seseorang yang sedang berusaha keras menjaga amarahnya.
“Bagus atau tidak, aku tidak peduli.”
Arsen menelan ludah, tidak berani berkomentar lebih dulu. Yang terdengar hanya detak jam di dinding.
“Yang saya pedulikan,” lanjut Bhumi perlahan, “hanya satu.”
Ia menutup file di tablet, meletakkannya di meja, lalu bersandar di kursi dengan gerakan yang sangat terkontrol.
“Kenapa seseorang seperti itu muncul kembali di hidup Bulan?”
Ruangan itu seolah membeku. Arsen mengalihkan pandangan, tidak tahu harus menjawab apa. Bhumi mengusap pelipisnya perlahan, napasnya ditahan sebentar.
“Kamu bilang tidak ada laporan internal yang janggal?”
“Benar, Pak.”
“Dan tidak ada catatan konflik?”
“Tidak ada.”
Bhumi menatap Arsen, matanya tajam. “Catatan Farhan selama kuliah di Indonesia juga bersih?”
Arsen mengangguk cepat. “Tidak ada apa pun, Pak. Saya sudah cek dua kali.”
Dalam diam, Bhumi menajamkan sorot matanya.
‘Tidak mungkin bersih.Seharusnya ada catatan. Peristiwa sebesar di kampus ternama, itu tidak mungkin hilang begitu saja. Atau… sudah dibersihkan. Dengan sengaja.’
Bhumi tidak mengucapkan pikirannya, tapi ketegangan di garis rahangnya sangat jelas.
Arsen sedikit menunduk. “Saya akan terus pantau pergerakan Farhan, Pak.”
Bhumi tidak menatapnya, tetapi suaranya tegas dan tidak terbantahkan.
“Pantau.” Hening sebentar. “Tapi jangan sampai Bulan tahu.”
Arsen mengangguk mantap. “Baik, Pak Bhumi.”
**
Sementara itu, di kampus Lintang, suasana pagi berjalan seperti biasa. Mahasiswa lalu-lalang dengan buku di tangan, beberapa berlari kecil karena telat kelas, café kampus mulai penuh dengan antrean kopi, dan tawa-tawa pecah di udara seperti musik latar khas kampus teknik.
Lintang berjalan santai sambil menggigit croissant, rambutnya masih agak berantakan karena angin pagi.
Namun beberapa langkah kemudian, ia merasakan sesuatu yang aneh. Perlahan—tanpa sadar—alisnya mengernyit.
Ada pria berjaket hitam berdiri di pojok dekat papan pengumuman. Diam. Pandangan lurus ke arah tertentu. Lintang melirik ke kiri, ada pria lain bersandar di dekat tangga fakultas seolah sedang main HP, padahal jarinya sejak tadi tidak bergerak.
Lintang memperlambat langkah, lalu menoleh kanan, satu lagi berdiri di dekat parkiran motor. Pose-nya cuek, tapi aura “security profesional” terlalu jelas untuk disembunyikan.
Lintang memicingkan mata, wajahnya berubah dari bingung… menjadi waspada.
“Apa gue… diikutin?” gumamnya pelan sambil menelan cepat croissant-nya.
Ia mempercepat langkah. Pria di pojok itu ikut geser beberapa langkah. Ia berhenti mendadak. Pria itu juga berhenti. Lintang langsung panik.
“OH NO.” Ia lari kecil ke arah taman kampus, menyelinap di antara mahasiswa lain. Pria yang di parkiran ikut berjalan cepat, matanya tak lepas dari Lintang.
Lintang mengendap endap masuk ke samping gedung perpus, lari kecil seperti kucing basah yang ketahuan nyolong ikan. Ia merogoh tasnya dengan tangan gemetar dan mengambil ponsel.
“Ka, tolong jawab… tolong jawab…” Telunjuknya mengetuk-ngetuk lantai.
Setelah dering ke dua —“Lintang? Ada apa, Lin?” suara Bulan tenang seperti biasa.
“KA, AKU DIIKUTIN!!” bisiknya panik setengah mati.
Ada jeda kecil di ujung telepon. Lalu suara Bulan turun satu oktaf, lembut tapi jelas. “Tenang dulu, Lin…”
“KA!! AKU NGGAK MAU DICULIK!!” Lintang setengah berteriak, matanya melotot sambil sembunyi di belakang pot tanaman kampus.
“Lintang, itu bukan penculik.”
“TERUS APA?!” Napasnya tercekat.
“…itu bodyguard.”
Lintang diam. Membeku.
“…apa, Kak?”
“Bodyguard.”
Lintang berkedip. Sekali. Dua kali. Tiga kali.
“…suruhan siapa?”
“Mas Bhumi.”
Lintang terdiam lima detik penuh. Kosong. Tidak bergerak. Lalu—meledak.
“Mas Bhumi siapa Kak?” Bisik Lintang lagi di tempat persembunyiannya.
“Ck, yang punya Arjuno Grup” jawab Bulan santai diseberang sana.
Otak Lintang langsung ngeblang seketika. Satu detik, dua detik, tiga detik.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa Omay gattt !!! TUHAAAN TERIMA KASIH!!!”
“Lintang…” Bulan sudah mulai memijit pelipis.
“Ka! Ada TIGA loh! TIGA!!” Lintang menunjuk-nunjuk ke udara. “Aku kayak princess kerajaan yang lagi dijaga! Ya ampun Kak, hidupku berubah hari ini!!”
“Lintang, tolong… jangan lebay.”
“Kak! gak setiap hari aku diikutin bodyguard CEO terbesar seJawa Timur! Tolong izinkan hamba menikmati momen ini!!”
Bulan ingin marah, tapi akhirnya justru menahan tawa. Lintang memang selalu begitu: panik dulu, lebay kemudian, baru sadar belakangan. Namun tawanya mereda ketika ingatan tentang rapat kemarin membayangi pikirannya.
“Lin…” suara Bulan pelan. “Kakak mau cerita sesuatu.”
Lintang langsung berhenti berjalan. Suaranya berubah serius.
“Kenapa, Ka?”
“Farhan…” Bulan menarik napas.“Dia datang lagi. Dia jadi direksi pusat sekarang.”
Lintang membeku. “Yang… waktu kuliah itu?” suaranya turun jadi bisikan marah.
“Iya.”
Lintang mengepalkan tangan. “KA. AKU DATANG KE KANTOR KAKAK SEKARANG JUGA—”
“Lintang.” Bulan memotongnya tegas. “Jangan.”
“Tapi Ka, dia itu—”
“Kakak tahu. Makanya… Kakak resign.”
Ada keheningan di antara mereka. Lintang menunduk, bahunya naik turun perlahan karena menahan emosi.
“…aku marah,” katanya pelan tapi penuh tekanan. “Aku kesal, karena Kakak gak rundingan dulu saama aku. Tapi kalau itu keputusan Kakak… aku dukung. Selama Kakak aman… itu cukup.”
Bulan tersenyum kecil, meski hatinya masih berat. “Terima kasih, Lin…”
Lintang menarik napas panjang, lalu tiba-tiba bersuara cerah lagi, “Tapi Kak…”
“Hm?”
“Kalo Mas Bhumi mau jaga Kakak sama aku… kasih tau dia ya…” ia berhenti dramatis. “…TAMBAHIN SATU BODYGUARD LAGI, BOLEH? Biar aku makin berasa jadi princess.”
“Lintang!!”
Suara Bulan menggema di seluruh lantai lima, sementara Lintang hanya cengengesan sambil lari kecil kembali ke kelasnya, dijaga tiga bodyguard yang makin bingung dengan tingkah calon adik ipar CEO mereka itu.
**
Pagi menjelang siang di Arjuno Group berjalan dengan ritme efisien seperti biasa, namun suasana di lantai tiga puluh —ruang kerja Bhumi Jayendra—terasa berbeda. Udara di sana lebih berat dari biasanya, seolah seluruh kantor dapat merasakan bahwa hari ini bukan hari biasa. Ruangan itu sendiri luas dan elegan, dengan jendela besar menghadap kota dan meja kayu mahoni yang rapi tanpa satu pun berkas berserakan. Bhumi duduk di belakang meja, memandangi laporan yang Arsen kirimkan semalam. Tatapannya fokus, namun gelap, seperti seseorang yang sedang menyusun langkah besar.
Pintu diketuk dua kali.
Arsen masuk terlebih dahulu, diikuti oleh sosok tinggi berpostur tegas yang langkahnya selalu membuat ruangan otomatis diam. Marvin Nalendra.
Ia masuk tanpa banyak suara, mengenakan setelan abu-abu tua yang jatuh sempurna di tubuhnya. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya tenang—terlalu tenang—dengan mata tajam yang hanya dimiliki oleh orang yang terbiasa memimpin ruang penuh petinggi dan ratusan karyawan.
Arsen tahu diri, ia membungkuk sedikit lalu menutup pintu, meninggalkan dua raksasa industri itu sendirian di dalam ruangan.
Marvin meletakkan ponselnya di meja Bhumi tanpa duduk terlebih dahulu. “Semua sudah siap,” katanya singkat. “Bodyguard untuk Liora sudah di tempat.”
Bhumi mengangguk kecil sebagai bentuk apresiasi. “Bagus.”
Baru setelah itu Marvin duduk. Kursi kulit itu tampak seperti menyesuaikan dirinya—atau mungkin memang Marvin-lah yang membuat ruangan mana pun terasa seperti miliknya.
Suasana hening beberapa detik. Keduanya tidak perlu basa-basi. Mereka bukan tipe yang membicarakan hal remeh sebelum masuk ke inti.
Bhumi membuka pembicaraan, suaranya rendah namun mantap. “Gue sudah memikirkan ini semalaman. Dan gue rasa… satu-satunya cara agar Bulan dan Liora benar-benar aman adalah dengan tindakan konkret. Bukan hanya pengawasan sementara.”
Marvin memiringkan kepala sedikit, memberi isyarat agar Bhumi melanjutkan.
Bhumi menyilangkan jari-jari tangannya di atas meja, matanya menatap lurus ke arah Marvin. “Gue mau Bulan tetap di posisinya. Tetap bekerja. Tetap memimpin cabang seperti sebelumnya. Liora juga.”
Marvin mengusap dagunya pelan. “Tapi itu tidak mungkin selama Farhan memegang kendali kantor pusat.”
“Benar.” Bhumi mencondongkan tubuh sedikit, intensitas suaranya naik dengan sangat halus namun tegas. “Hanya ada satu cara untuk menjauhkan mereka dari Farhan dan Aldo.”
Marvin tidak bergerak, tapi tatapannya menjadi lebih tajam.
Bhumi menarik napas pelan. “Gue ingin kita berdua membeli PT Global Teknologi cabang Surabaya.”
Ruangan itu langsung berubah atmosfernya, seolah udara menegang dalam sepersekian detik. Tidak ada suara lain yang terdengar kecuali AC yang bergumam lembut.
Marvin tidak langsung merespons. Dua detik pertama ia hanya menatap Bhumi dengan mata yang nyaris tidak berkedip, menilai, menghitung, menakar. Lalu perlahan, sebuah senyuman sangat samar muncul di sudut bibirnya—senyum yang terkenal di kalangan pebisnis sebagai pertanda bahwa sesuatu yang besar dan berbahaya baru saja disetujui.
“Kita beli perusahaan itu,” katanya akhirnya.
Bhumi mengangguk sekali, kuat dan pasti. “Cabang Surabaya-nya saja. Kita tarik dari kantor pusat Jakarta. Kita jadikan mereka unit independen, berdiri sendiri di bawah Arjuno Group dan Nalendra Property.”
Marvin terdiam sejenak, memutar ponselnya di antara jarinya. “Dan lo mau Bulan tetap sebagai COO?”
“Ya,” jawab Bhumi tanpa ragu. “Liora tetap jadi CEOnya. Mereka tetap memimpin, seperti sebelumnya. Bedanya… kali ini di bawah pengawasan kita. Aman dari Farhan. Aman dari Aldo. Aman dari semuanya.”
Marvin menatap ke luar jendela sejenak, memandangi gedung-gedung tinggi yang masih berkilau diterpa matahari pagi. Ingatannya terarah pada Liora—cara perempuan itu tertawa, cara ia bicara cepat saat semangat, cara ia tidak pernah peduli pada status sosial orang lain. Dan ingatan itu memunculkan sesuatu dalam dirinya… sesuatu yang ia jarang akui.
Ia kembali menatap Bhumi. “Aku suka cara berpikirmu.”
Bhumi mengangkat satu alis. “Jadi kita satu suara?”
Marvin bersandar ke kursinya, wajahnya tenang namun aura kekuasannya semakin tajam. “Satu suara. Kita beli cabang Surabaya. Kita pisahkan dari pusat dengan alasan restrukturisasi strategis. Tidak ada yang bisa menolak kalau kita datang dengan uang dan analisis operasi.”
Bhumi mengangguk, matanya mengeras dengan tekad. “Kita lakukan secepatnya. Bulan dan liora hanya punya waktu maksimal dua minggu untuk serah terima jabatan… selama itu pula peluang kemungkinan Farhan mencoba mendekati lagi semakin besar.”
Marvin mengetuk meja sekali dengan jarinya. “Aldo juga bukan tipe yang menyerah. Dia akan terus mencoba mendekati Liora.”
“Makanya kita percepat,” tambah Bhumi. “Sebelum mereka bergerak.”
Ruangan kembali sunyi. Dua CEO itu duduk berhadapan seperti dua jenderal yang baru saja memutuskan strategi perang. Tidak ada yang berlebihan dalam kata-kata mereka, tidak ada janji kosong, tidak ada keraguan. Hanya tekad untuk melindungi dua perempuan yang mereka sayang.
Marvin akhirnya berdiri, merapikan jasnya. “Gue ke ruang meeting sebelah. Gue akan hubungi tim legal, tim keuangan dan konsultan Nalendra Property. Kita siapkan dokumennya,.”
Bhumi ikut berdiri. “Gue akan turun satu jam lagi.”
Mereka saling menatap. Tidak ada jabatan tangan. Tidak ada formalitas.
**
Ruang meeting di lantai dua puluh tujuh Arjuno Grand Hotel tidak pernah dipakai untuk rapat biasa. Ruangan itu memang disediakan hanya untuk pertemuan yang benar-benar bersifat strategis—sejenis pertemuan yang bisa mengubah arah perusahaan dalam skala besar. Lampu gantung kristal memancarkan cahaya lembut, kaca dinding memperlihatkan pemandangan kota yang masih dibungkus sinar matahari pagi, dan meja panjang kayu gelap di tengah ruangan memberikan kesan megah yang tak terelakkan.
Beberapa menit sebelum waktu rapat dimulai, staf-staf Arjuno Group dan Nalendra Property berdatangan satu per satu. Chief Legal Arjuno Group, dengan setelan abu-abu lengkap dan map berisi undang-undang korporasi nasional. Chief Financial Officer dari Nalendra Property membawa laptop dan grafik valuasi. Dua konsultan merger & akuisisi—yang biasanya bekerja hanya untuk klien-klien besar—datang dengan aura serius, seolah mereka sudah tahu ini bukan sekadar akuisisi biasa.
Mereka semua duduk. Namun ruangan tetap terasa kosong—karena dua kursi terpenting belum terisi.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka.
Bhumi Jayendra masuk lebih dulu, mengenakan kemeja hitam dan jas senada. Atmosfer ruangan langsung berubah hanya karena langkahnya. Ia menaruh tablet di meja, mengangguk kepada timnya, lalu duduk tanpa berkata apa pun. Namun tatapannya tegas—tatapan seorang pemimpin yang sudah punya rencana, bukan seseorang yang masih mencari arah.
Tidak lama setelahnya, pintu kembali terbuka.
Marvin Nalendra masuk dengan aura berbeda—lebih dingin, lebih tenang, rambut hitamnya rapi, dan langkahnya seperti seseorang yang terbiasa membuat keputusan yang akan berdampak pada ratusan karyawan. Tidak ada yang berani mengucapkan apa pun. Bahkan suara kursi pun terdengar hati-hati ketika ia duduk berhadapan dengan Bhumi.
Dua pria paling berpengaruh di Indonesia, terutama di Jawa Timur. Dua raksasa bisnis. Dua CEO yang hari ini tidak hanya bertindak sebagai pemimpin perusahaan… tapi sebagai dua laki-laki yang marah karena dua perempuan yang mereka sayangi berada dalam bahaya.
Marvin memecah keheningan dengan suara rendah namun jelas. “Kita mulai.”
Chief Legal membuka map. “Baik. Sesuai permintaan Pak Marvin, Pak Bhumi, kami sudah menyiapkan estimasi valuasi dan opsi struktur akuisisi. Namun perlu saya sampaikan, takeover cabang sebuah perusahaan bukan hal yang lazim. Akan ada resistensi dari kantor pusat.”
“Kami sudah mengantisipasi itu,” jawab Bhumi tanpa sedikit pun keraguan. “Mari langsung ke inti.”
CFO menampilkan grafik di layar besar. “Valuasi cabang Surabaya—berdasarkan revenue, aset, dan liabilitas—berada di angka yang cukup tinggi, namun masih sangat mungkin diambil alih oleh pihak eksternal dengan syarat tertentu. Kita bisa melakukan akuisisi menyeluruh, atau kita bisa memutus cabang itu dari pusat melalui model spin-off.”
Marvin mencondongkan tubuh sedikit. “Aku tidak tertarik spin-off perlahan. Itu akan memberi mereka waktu untuk melawan.”
CFO mengangguk. “Jika begitu, opsi yang paling kuat adalah pembelian langsung seluruh unit operasional. Kami bisa gunakan alasan efisiensi, transfer aset, atau kolaborasi strategis antara dua perusahaan besar.”
Bhumi menautkan jarinya. “Saya tidak ingin alasan spekulatif. Saya ingin jalur legal yang solid dan bersih.”
Konsultan M&A pertama bicara, suaranya tenang. “Kita bisa memakai skema acquisition of business unit. Dalam hukum korporasi, itu memungkinkan pembeli mengambil alih seluruh operasi cabang tanpa harus mengambil alih kantor pusat.”
Marvin mengangguk sekali. “Lanjutkan.”
“Jika kita membuat cabang Surabaya menjadi unit independen setelah akuisisi, maka direksi pusat tidak bisa lagi mengatur orang-orang di sana. Artinya—siapa pun yang bekerja di sana akan berada di bawah struktur baru, bukan lagi di bawah kendali Jakarta.”
Bhumi meletakkan tablet, wajahnya tampak tenang tetapi sorot matanya tajam seperti pisau.
“Jadi setelah kita beli, Bulan dan Liora akan kembali dalam posisi lama mereka. Tidak ada Farhan. Tidak ada Aldo. Tidak ada yang bisa ikut campur.”
Tim legal mencatat cepat, wajahnya penuh konsentrasi.
Marvin menambahkan dengan suara rendah namun kuat, “Dan kita pastikan mereka bekerja dalam lingkungan yang aman. Tidak boleh ada celah bagi siapapun dari kantor pusat untuk masuk kembali. Kita bangun firewall legal setebal mungkin.”
Konsultan kedua berbicara, “Tentu, Pak Marvin. Tapi akan ada konflik dari kantor pusat. Mereka bisa menolak, mengulur waktu, atau mempersulit proses.”
Bhumi tidak bergeming. “Kalau mereka menolak, kita ajukan tawaran yang tidak bisa mereka tolak.”
CFO Nalendra Property menambahkan, “Dua perusahaan sebesar Arjuno Group dan Nalendra Property mengajukan penawaran bersama… akan menjadi tekanan sangat besar bagi mereka. Tidak banyak perusahaan yang mampu menolak itu.”
Marvin bersandar ke kursinya, mengangkat alis sedikit. “Mereka tidak akan menolak. Mereka hanya akan berusaha terlihat kuat sebelum akhirnya menerima uangnya.”
Bhumi masih fokus, tapi nada suaranya kini lebih gelap—terlihat jelas bahwa alasan personal menyusup di balik ketenangannya yang profesional. “Yang penting, cabang itu aman. Dan dua perempuan itu kembali bekerja tanpa ancaman.”
Ruangan hening beberapa detik. Semua orang di sana tahu: ini bukan sekadar bisnis.
Chief Legal akhirnya bertanya, “Pak Bhumi, Pak Marvin… apa tujuan jangka panjang dari struktur baru ini? Hanya untuk keamanan sementara, atau permanen?”
Marvin dan Bhumi saling menatap beberapa detik—komunikasi diam dua pria yang tidak butuh kata-kata.
Bhumi menjawab lebih dulu. “Permanen. Cabang Surabaya berdiri di bawah dua perusahaan kami. Kita integrasikan dengan sistem kita.”
Marvin melanjutkan dengan suara yang jauh lebih dingin namun stabil, “Dan kita pastikan tidak ada satu pun orang berbahaya yang bisa masuk mendekati mereka lagi”
Setelah kalimat itu diucapkan, ruangan seakan mengeras. Tidak satu pun dari tim legal dan keuangan yang berani menyela.
Bhumi menutup map. “Baik. Kita mulai prosesnya hari ini. Semua dokumen disiapkan sebelum sore.”
Marvin berdiri. “Aku akan siapkan jalur dana.”
Bhumi mengangguk. “Aku akan siapkan jalur legal.”
Dua CEO itu berdiri berdampingan. Dua pria yang biasanya memimpin dari kejauhan, hari ini turun tangan langsung—hanya demi menjaga dua hati yang mereka pedulikan.
**
tbc