Satu kesalahan di lantai lima puluh memaksa Kirana menyerahkan kebebasannya. Demi menyelamatkan pekerjaan ayahnya, gadis berseragam putih-abu-abu itu harus tunduk pada perintah Arkan, sang pemimpin perusahaan yang sangat angkuh.
"Mulai malam ini, kamu adalah milik saya," bisik Arkan dengan nada yang dingin.
Terjebak dalam kontrak pelayan pribadi, Kirana perlahan menemukan rahasia gelap tentang utang nyawa yang mengikat keluarga mereka. Di balik kemewahan menara tinggi, sebuah permainan takdir yang berbahaya baru saja dimulai. Antara benci yang mendalam dan getaran yang tak terduga, Kirana harus memilih antara harga diri atau mengikuti kata hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Kebenaran yang Menghancurkan
Lantai lorong ventilasi yang dipenuhi debu tebal itu tiba-tiba bergetar hebat saat sebuah ledakan susulan menghantam bagian luar gedung. Kirana terlempar ke arah dinding besi yang dingin, membuat keningnya membentur tepian tajam hingga darah segar mulai merembes membasahi bulu matanya. Ia meraba sakunya dengan jari yang gemetar, memastikan liontin perak pemberian Arkananta masih tersimpan aman di balik kain jas mewah yang kini sudah kotor.
"Indra, tolong bantu saya berdiri, saya harus melihat foto itu sekali lagi untuk memastikan mata saya tidak salah lihat!" jerit Kirana di tengah kegelapan yang menyesakkan.
Indra merangkak mendekati Kirana dengan napas yang tersengal-sengal akibat debu yang masuk ke dalam pernapasannya secara paksa. Ia menyalakan korek api gas miliknya, memberikan secercah cahaya kekuningan yang menari-nari di atas telapak tangan Kirana yang terluka. Di bawah cahaya yang temaram itu, foto masa kecil tersebut tampak semakin nyata, menunjukkan dua anak kecil yang sedang tertawa bahagia di bawah pohon melati.
"Anak laki-laki ini... dia memiliki tanda lahir berbentuk sabit di pergelangan tangannya, sama seperti milik Tuan Arkananta, Indra!" isak Kirana dengan suara yang sangat parau.
Indra terdiam seribu bahasa, wajahnya yang penuh luka tampak semakin tegang saat menyadari bahwa rahasia terbesar keluarga Dirgantara kini telah terbongkar. Ia mengambil liontin tersebut dan memperhatikannya dengan sangat teliti, seolah sedang mencari celah dari sebuah kebenaran yang sangat pahit. Keheningan di dalam lorong ventilasi itu terasa jauh lebih menyiksa daripada suara tembakan yang masih terdengar sayup-sayup dari arah luar.
"Jika dia adalah kakak saya, lalu kenapa dia memperlakukan saya seperti musuh yang paling ia benci di dunia ini?" tanya Kirana sambil memukuli dadanya yang terasa sangat sesak.
Tiba-tiba, suara derap langkah kaki terdengar sangat dekat dari arah lubang ventilasi, diikuti oleh suara gesekan logam yang sangat memekakkan telinga. Kirana dan Indra segera memadamkan cahaya korek api, mencoba menyatu dengan kegelapan agar tidak terdeteksi oleh siapa pun yang sedang berada di luar sana. Bayangan seseorang muncul di balik kisi-kisi besi, membawa sebuah lampu sorot yang cahayanya menembus celah-celah lorong dengan sangat tajam.
"Keluar dari sana, Kirana, atau saya akan melepaskan gas beracun ke dalam saluran udara ini sekarang juga!" ancam sebuah suara wanita yang sangat familiar.
Clarissa berdiri di depan lubang ventilasi dengan senyuman yang sangat menjijikkan, ia memegang sebuah tabung gas kecil yang siap dibuka kapan saja. Ia tampaknya telah mengetahui keberadaan ruang rahasia dan lorong pelarian ini melalui rekaman kamera pengawas yang masih berfungsi sebagian. Kirana merasakan amarahnya bangkit kembali, melupakan sejenak rasa haru dan sedih yang tadi sempat melumpuhkan seluruh urat sarafnya.
"Anda tidak akan pernah mendapatkan apa pun dari saya, meskipun Anda harus membunuh saya di dalam lubang ini!" teriak Kirana dengan penuh keberanian yang nekat.
Clarissa tertawa mengejek, ia mulai memutar katup tabung gas tersebut hingga suara desisan halus mulai terdengar memenuhi ruangan yang sempit itu. Kirana mulai merasakan pusing yang luar biasa, sementara Indra mencoba menahan pintu ventilasi agar Clarissa tidak bisa memasukkan lebih banyak gas ke dalam. Namun, kekuatan Indra sudah sangat melemah akibat kehilangan banyak darah dari luka tembak yang ia terima sebelumnya di atas dermaga.
"Selamat tidur, Gadis Kecil, semoga kamu bertemu dengan kakakmu tercinta di alam baka nanti!" seru Clarissa sambil tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba, sebuah tangan besar muncul dari balik bayangan di belakang Clarissa dan langsung membekap mulut wanita itu dengan sangat kencang. Tubuh Clarissa ditarik masuk ke dalam kegelapan koridor sebelum ia sempat menjerit meminta pertolongan kepada para pengawalnya yang berada di lobi. Kirana melihat sosok pria berjubah hitam tadi kembali muncul, namun kali ini ia tidak mengenakan topeng naga emas yang mewah itu lagi.
"Cepat keluar dari sana sebelum gas ini melumpuhkan seluruh saraf otak kalian berdua!" perintah pria itu dengan suara yang sangat dalam dan sangat tegas.
Kirana dan Indra segera merangkak keluar dari lubang ventilasi, menghirup udara koridor yang sedikit lebih segar meskipun masih berbau asap kebakaran. Pria berjubah hitam itu berdiri mematung di depan mereka, menatap Kirana dengan pandangan yang sangat sulit diartikan oleh kata-kata manusia biasa. Ia memegang sebuah suntikan penawar racun dan langsung menancapkannya ke lengan Kirana tanpa memberikan peringatan apa pun sebelumnya.
"Siapa Anda sebenarnya? Kenapa Anda menolong saya setelah tadi mencoba merampas buku catatan ibu saya secara paksa?" tanya Kirana dengan nada bicara yang penuh kecurigaan.
Pria itu perlahan membuka penutup kepalanya, menampakkan wajah yang sangat mirip dengan Arkananta namun tanpa ada bekas luka bakar sedikit pun di kulitnya. Kirana terperanjat mundur hingga punggungnya menabrak dinding beton, ia merasa seolah-olah sedang melihat hantu yang bangkit dari dasar muara sungai yang gelap. Ia menyadari bahwa pria di depannya ini adalah Arkananta yang asli, sementara pria bertopeng di atas gondola tadi adalah sosok lain yang sangat misterius.
"Pria yang tadi itu adalah saudara kembar saya yang selama ini disembunyikan oleh Bagas untuk mengadu domba keluarga kita, Kirana," ungkap Arkananta dengan nada yang sangat lirih.
Arkananta menjelaskan bahwa ledakan di muara semalam adalah rencana mereka berdua untuk menjebak Bagas, namun segalanya menjadi kacau saat Clarissa ikut campur. Ia mendekati Kirana dan mencoba menyentuh pipi gadis itu dengan jemarinya yang sangat dingin, namun Kirana segera menepis tangan tersebut dengan perasaan yang sangat hancur. Kirana menyadari bahwa ia baru saja menjadi pion dalam permainan catur besar antara dua saudara yang saling membenci satu sama lain.
"Jadi, semua ini adalah sandiwara? Cinta Anda, perlindungan Anda, bahkan kontrak kerja itu hanya untuk memancing Bagas keluar dari persembunyiannya?" tanya Kirana dengan air mata yang kembali mengalir deras.
Arkananta tidak menjawab, ia justru menarik Kirana masuk ke dalam lift darurat yang akan membawa mereka langsung menuju ke lantai dasar gedung pencakar langit itu. Saat pintu lift mulai tertutup, Kirana melihat bayangan pria bertopeng naga emas tadi berdiri di ujung koridor sambil memegang sebuah detonator peledak. Pria itu menekan tombol pada detonator tersebut tepat saat lift mulai meluncur turun dengan kecepatan yang sangat tinggi dan tidak terkendali.
"Jika saya tidak bisa memiliki warisan itu, maka tidak ada satu pun dari kalian yang boleh tetap hidup di atas tanah ini!" teriak pria bertopeng itu melalui pengeras suara lift.
Kirana merasakan tubuhnya terhempas ke langit-langit lift saat kabel baja utama putus akibat ledakan yang menghancurkan ruang mesin di puncak gedung. Mereka jatuh bebas di dalam kotak besi yang sempit, menuju kegelapan tak berujung yang ada di dasar fondasi gedung yang kini mulai miring. Di tengah jeritan ketakutan, Kirana merasakan tangan Arkananta memeluk tubuhnya dengan sangat erat, mencoba memberikan perlindungan terakhir sebelum maut benar-benar menjemput mereka berdua secara tragis.