Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.
Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.
Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Empat
Samudera akhirnya berhenti tepat di depan sebuah hotel kecil yang terlihat bersih dan cukup sepi. Bukan hotel mewah, tapi jelas bukan tempat murahan juga. Lampunya hangat, pintunya otomatis, dan resepsionisnya tampak mengantuk sambil memainkan pulpen.
Kirana menatap bangunan itu dengan dahi berkerut. “Hotel?” tanyanya pelan.
Sam mendengus sambil melepas helm. “Masa mau tidur di lapangan parkir? Tadi bilangnya ikut aja terserah aku.”
Kirana menelan ludah. Oke, dia memang bilang begitu. Tapi dia tidak benar-benar berpikir sejauh ini.
“Ya udah,” gumam Kirana akhirnya.
Di dalam lobi, Sam langsung berjalan ke resepsionis. “Satu kamar, Mbak.”
Resepsionis itu langsung mengangkat alis saat matanya berpindah ke Kirana. Mungkin sedang menebak-nebak drama apa yang terjadi di antara mereka.
Kirana memelototi Sam. “Satu kamar?”
“Lah, mau dua? Sayang buang-buang uang aja, Mbak,” ucap Samudera ketus. “Udah ikut, jangan banyak protes.”
“Sam ....”
“Terserah! Mau ikut atau tidur di lobi?" tanya Sam sambil menerima kunci kamar.
Lift menuju lantai tiga terasa terlalu sunyi. Hanya suara mesin lift dan napas keduanya yang terdengar.
Saat pintu kamar terbuka, Kirana berjalan masuk duluan. Ruangannya tidak besar, tapi bersih. Satu ranjang queen bed, satu sofa panjang di samping jendela, TV, meja kecil, dan aroma lemon dari pengharum ruangan.
Kirana berbalik. “Sam ...."
Tapi Sam malah melempar jaketnya ke kursi dan langsung menjatuhkan diri ke ranjang, menguap panjang.
Wajah Kirana langsung memerah. “Hei! Kenapa kamu duluan yang tidur di situ?!”
Sam membuka satu mata. “Lah, mau lomba siapa yang naik kasur duluan?”
“Sam!”
“Astaga, Mbak … tenang. Aku cuma rebahan. Belum mati kok.”
Kirana mendecak, tapi pipinya panas karena kesal campur malu. Ia menatap ranjang itu, lalu menatap sofa. Sofa itu panjang, tapi bukan yang nyaman-nyaman banget. Yang kalau ditiduri semalaman bisa bangun dengan punggung patah lima titik.
Sam menatapnya sebentar. “Tidur aja di kasur. Aku di sofa.”
“Kenapa nggak dari tadi ngomong gitu?”
“Soalnya seru liat Mbak panik.”
Kirana langsung mengambil bantal dan melemparkannya ke wajah Sam. “Kamu tuh ya ....”
Sam menangkap bantal itu dengan mudah dan tersenyum lebar. “Akhirnya marah. Kirana balik ke mode normal.”
“Aku nggak marah, Samudera!”
“Ya, ya .…” Sam duduk dan menepuk bantal. “Udah, tidur. Malem makin larut.”
Kirana berdiri kaku. “Tapi sebelum itu… aku kasih tau dulu.”
Sam menatapnya santai. “Apa?”
“Awás,” kata Kirana sambil menunjuk dirinya sendiri, “kalau kamu berani sentuh tubuh aku. Aku teriak satu lantai.”
Sam mengerjapkan mata. Lalu dia menunjuk Kirana balik. “Mbak … nggak akan.”
Nada itu sangat santai. Sangat percaya diri. Dan agak menjengkelkan.
“Aku nggak tertarik sama cewek kurus dan dada rata kayak kamu.”
Kirana terpaku. Mulutnya sampai terbuka.
Lalu menutup. Lalu terbuka lagi.
“A… APA?!” suaranya meninggi satu oktaf.
Sam menghela napas dramatis, seolah masalah dunia ini sangat berat. “Ya mau gimana, Mbak. Kalo disuruh nyentuh juga … duh. Males. Kayak megang papan triplek.”
“Samudera GENTAAA!”
Kirana langsung melempar bantal kedua. Kali ini bantalnya menghantam muka Sam tepat sasaran.
Sam tertawa sampai condong ke belakang. “Ya ampun, lucu banget.”
“Kamu itu ya ....”
“Udah, udah. Sini bantalnya. aku mau tidur?"
Dengan santai Sam mengambil bantalnya, berjalan ke sofa, dan meletakkan bantal itu.
Namun sebelum dia merebahkan tubuh, dia menunjuk ke Kirana lagi.
“Sama ya. Jangan sentuh aku juga.”
“HEH?!”
Sam mengelus dadanya sendiri. “Takut kenapa-napa. Aku kan brondong menggoda. Mbak yang minta dikawinin tadi juga kan? Takutnya kesengsem.”
Kirana berdiri sambil menunjuk dirinya sendiri dengan wajah syok. “Maksa minta dikawinin? Itu karena ....”
“Alasan, alasan,” Sam memotong sambil rebahan. “Semua cewek yang jatuh cinta sama aku juga pake alasan.”
“Hei! Aku nggak jatuh cinta sama kamu!”
Sam memejamkan mata. “Iya, iya. Makanya jangan curi-curi peluk aku pas aku tidur nanti.”
“Sam! Aku sumpah ....”
Tapi, Sam sudah pura-pura mendengkur keras-keras.Kirana rasanya ingin melempar sandal. Atau remote TV. Atau dirinya sendiri.
Namun menyerah juga akhirnya. Ia naik ke kasur, menarik selimut, dan menghela napas panjang. Kamar menjadi hening. Hanya suara AC yang berdengung.
“Sam?” panggil Kirana pelan.
“Hm?” jawab Sam tanpa membuka mata.
“Makasih.”
Sam terdiam sesaat. Lalu, masih dengan mata tertutup, dia menjawab lirih, “Iya, Mbak.” Dan ia rasa itu cukup.
Pagi harinya Samudera bangun duluan. Entah jam berapa, tapi sinar matahari sudah masuk dari celah tirai. Kirana masih tidur, tubuhnya meringkuk seperti kucing, rambutnya acak-acakan tapi terlihat damai.
Samudera tidak sengaja tersenyum kecil. “Nggak keliatan menyebalkan kalau lagi tidur,” gumamnya.
Setelah mandi cepat dan berpakaian, ia memesan sarapan hotel. Kirana baru bangun ketika suara pintu diketuk.
“Sam?” Kirana mengucek mata, napasnya masih berat. “Itu makanan?”
“Iya. Bangun. Sarapan dulu baru pulang.”
Kirana duduk sambil merapikan rambutnya yang super kusut. “Kamu pesen dua ya?”
“Iyalah. Satu buat aku, satu buat Mbak. Aku nggak mau makan bekas orang.”
“Hei!” Kirana memukul bahunya pelan. “Bisa nggak omongan kamu tuh sekali aja nggak nyebelin?”
“Nanti aku coba kalo aku udah mati.”
Kirana mendengus. Tapi dia memaka sarapan itu hingga ludes. Samudera ikut makan sambil menonton Kirana dengan cara yang membuat gadis itu risih.
“Apa?” tanya Kirana akhirnya.
“Tumben nggak bawel.”
“Kamu yang bawel.”
“Setidaknya aku cute kalau bawel.”
Kirana spontan hampir tersedak roti. Setelah sarapan selesai, Samudera merapikan barang-barang dan memakai helm.
“Ayo, pulang,” ajak Samudera.
Dan perjalanan pulang terasa lebih sunyi. Bukan canggung, tapi lebih ringan daripada sebelumnya.
Beberapa saat kemudian mereka sampai. Motor berhenti di halaman rumah cukup besar bergaya modern. Rumah itu tampak tenang, tapi Kirana merasakan dadanya langsung sesak hanya dengan memandang pintunya.
Samudera melepas helm dan menyerahkannya pada Kirana. “aku cuma antar sampai sini. Masuknya urusan lo.”
Kirana mengangguk pelan. “Makasih ya, Sam.”
“Hm.”
Ia turun dari motor. Kakinya baru menyentuh lantai garasi ketika pintu rumah terbuka keras.
Seorang pria paruh baya dengan wajah dingin berdiri di sana. Papanya Kirana. Napas gadis itu langsung tercekat.
Papanya menatap Kirana dari ujung kepala sampai kaki. Matanya tajam, penuh penilaian, penuh sesuatu yang membuat dadanya merasa sesak.
“Dari mana kamu,” suara Papa terdengar berat dan menggema, “Semalaman nggak pulang?”
Kirana menelan ludah. “Pa … aku ....”
“Apa yang kamu lakukan di luar sana? Mau jadi apa kamu ini?!” bentaknya lantang. “Lihat Tissa! Adikmu itu nggak kayak kamu!”
Kirana membeku. Jantungnya berdegup terlalu keras. Tenggorokannya kering. Badannya gemetar.
Samudera yang masih di motor perlahan menoleh, mendengar suara bentakan itu. Ekspresinya berubah. Tidak lagi santai. Tidak lagi cuek. Matanya mengeras.
Kirana hanya berdiri, tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata papanya menusuk terlalu dalam.
Dan tepat saat ia menarik napas yang terasa seperti batu di dada, menghimpit hingga membuat sesak, Papanya melangkah mendekat.
“Kamu jawab, Kirana!”
Udara terasa semakin tipis. Samudera masih di motor. Tidak bergerak. Tapi tatapannya tajam menembus. Rasanya ingin membela gadis itu. Entah mengapa dia tak bisa terima melihat Kirana diperlakukan begitu, padahal mereka baru saja kenal.
jatuh cinta .wa ea aa
ditunggu lanjutannya
mami pikirannya udah menjurus kesana🤭