Baskara—menantu sampah dengan Sukma hancur—dibuang ke Jurang Larangan untuk mati. Namun darahnya membangunkan Sistem Naga Penelan, warisan terlarang yang membuatnya bisa menyerap kekuatan setiap musuh yang ia bunuh. Kini ia kembali sebagai predator yang menyamar menjadi domba, siap menagih hutang darah dan membuat seluruh kahyangan berlutut. Dari sampah terhina menjadi Dewa Perang—inilah perjalanan balas dendam yang akan mengguncang sembilan langit!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28: HUKUMAN SANG RAJA NAGA
Baskara berdiri diam di tengah puing-puing arena. Di hadapannya, Wibawa yang telah berubah menjadi monster setengah manusia bersiap meluncurkan Pedang Naga Azure. Aura hitam keunguan bergejolak liar, menjanjikan kehancuran.
Semua orang menahan napas, menanti Baskara mengeluarkan pukulannya.
Namun, tangan Baskara bergerak ke arah lain.
Ke pinggangnya.
SRAK! SRAK!
Dua bilah logam meluncur keluar dari sarung tersembunyi.
Sepasang belati pendek. Bilahnya setebal satu jari, panjang empat puluh sentimeter, memancarkan cahaya biru pucat yang dingin dan tajam, seolah terbuat dari pecahan bulan yang membeku.
[Taring Kembar Naga Biru]
(Warisan Orang Tua Baskara)
Arena hening seketika.
Selama turnamen—dari babak penyisihan hingga semi-final—Baskara selalu bertarung dengan tangan kosong.
"Dia punya senjata?!" bisik penonton tak percaya.
"Selama ini dia menahan diri?!"
"Kenapa baru sekarang?!"
Wibawa menatap belati itu dengan mata merah yang bergetar. Hinaan ini membakar sisa kewarasannya.
"Apa... apa maksudnya ini?! KAU MEREMEHKANKU?!"
Baskara tidak menjawab. Ia merendahkan tubuhnya, mengambil kuda-kuda tempur. Belati kiri di depan, belati kanan menyilang di belakang punggung. Posisi pembunuh bayaran sejati.
Baskara tersenyum. Senyum yang membuat darah di nadi Wibawa terasa membeku.
"Mari kita akhiri ini."
WHOOSH!
Baskara melesat. Kecepatannya jauh melampaui babak sebelumnya. Ia hanyalah blur hitam di mata penonton.
TRANG!
Belati kiri menghantam pedang Wibawa. Percikan api biru dan ungu muncrat. Untuk pertama kalinya sejak meminum Pil Ledakan Darah, Wibawa terdorong mundur.
'Bagaimana bisa?! Kekuatanku tiga kali lipat!'
Belati kanan Baskara menyambar leher. Wibawa memblokir panik.
Baskara berputar, belati kiri menusuk pinggang.
Wibawa melompat mundur, ujung belati hanya menggores bajunya.
Baskara terus menyerang. Bertubi-tubi. Cepat. Presisi. Mematikan.
Namun, ada yang aneh.
Beberapa serangannya... meleset.
Tusukan yang seharusnya menembus dada Wibawa, tiba-tiba menyimpang dan menghantam lantai arena.
KRAK! Lantai retak.
Sabetan ke arah lengan, meleset ke bawah, menghantam keramik.
KRAK! Retakan menyebar.
Wibawa melihat ini dan tertawa histeris.
"HAHAHA! KAU AMATIR! SERANGANMU MELESET TERUS! KAU GUGUP?!"
Wibawa menyerang balik, menyapu pedangnya horizontal. Baskara melompat menghindar, namun saat mendarat, ia seolah "tersandung" dan menancapkan belati kanannya ke lantai untuk keseimbangan.
KRAK!
Retakan besar muncul lagi.
"LIHAT?!" Wibawa berteriak penuh kemenangan. "KAU BAHKAN TIDAK BISA BERDIRI TEGAK! KAU HABIS, BASKARA!"
Namun di tribun kehormatan, para Tetua yang berpengalaman mulai mengerutkan kening.
"Ada yang aneh," bisik Tetua Wira.
"Setiap serangan yang 'meleset' itu... menghantam titik simpul energi di lantai," tambah Tetua lain.
Tetua Satriya tiba-tiba berdiri, wajahnya pucat pasi. Matanya menatap pola retakan di lantai arena.
'Tidak mungkin. Dia tidak mungkin tahu...'
Di arena, Baskara menyerang lagi. Tusukan terakhir yang "meleset" menghantam satu ubin spesifik di sudut arena.
KRAAAK!
Retakan terakhir terhubung dengan retakan lainnya. Sebuah pola geometris terbentuk sempurna di lantai arena.
Baskara berhenti.
Ia berdiri tegak di tengah pola retakan itu, menatap Wibawa dengan senyum iblis.
"Aku tahu semua trik pengecut kalian."
Wibawa tersentak. "Apa—"
Baskara mengangkat belati kanannya tinggi-tinggi, lalu menghunjamkannya sekuat tenaga ke pusat retakan.
"PECAH!"
BOOOOOOM!
Lantai arena meledak!
Cahaya biru menyilaukan menyembur dari dalam tanah. Formasi Penindas Aura yang ditanam Tetua Satriya hancur berkeping-keping. Pecahan energi beterbangan seperti kaca pecah.
Saat debu menghilang...
Aura Baskara MELEDAK BEBAS.
Tidak lagi ditekan. Tidak lagi dibatasi.
Tekanan murni dari Ranah Inti Emas Bintang 2 (Puncak), diperkuat dengan esensi Naga, menyapu seluruh arena bagaikan badai.
Penonton barisan depan sesak napas. Kultivator lemah jatuh pingsan. Bahkan Patriark Dharma merasakan dadanya berat.
Baskara menyeringai, mengacungkan belatinya pada Wibawa.
"Sebanyak apa pun cara curang yang kalian siapkan," suaranya bergema mengerikan, "hasilnya tetap sama."
Ia melangkah maju. Lantai retak di bawah kakinya.
"Kau dan keluarga busukmu..."
Satu langkah lagi.
"...akan HANCUR."
Wibawa mundur gemetar. "Tidak... tidak mungkin..."
WUSH!
Baskara melesat. Tanpa hambatan formasi, ia bergerak seperti kilat hitam.
SLASH!
Belati kiri menyambar.
TRANG!
Artefak pelindung—liontin giok di leher Wibawa—bersinar menahan serangan.
Tapi belati Baskara menembusnya.
PYAR! Liontin itu pecah.
Belati kanan menusuk dada.
SRET!
Armor kulit Wibawa robek seperti kertas. Darah muncrat. Wibawa terpental menghantam dinding pembatas.
"UHUK!" Wibawa memuntahkan darah segar. Ia menatap lukanya tak percaya.
Baskara berjalan mendekat perlahan, belatinya meneteskan darah.
"Itu," ucapnya dingin, "untuk saat kau melempariku ke jurang."
"AKU BELUM SELESAI, BAJINGAN!"
Wibawa bangkit, matanya merah gila. Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dengan kedua tangan. Aura merah pekat berkumpul, memadat hingga menyilaukan mata. Urat-urat di tubuhnya pecah, menyemprotkan darah karena tekanan Prana yang berlebihan.
"SURYA PEMBELAH!"
Teknik bunuh diri. Satu serangan untuk mengakhiri segalanya.
[TUAN! BAHAYA! KEKUATANNYA SETARA INTENSI JIWA BARU! MENGHINDAR!]
Baskara tidak mundur. Ia memasang kuda-kuda rendah.
"MATI KAU!"
Wibawa menebas.
Gelombang energi cahaya raksasa—setinggi sepuluh meter—melesat membelah arena, membakar udara, menuju Baskara.
Dan... melewatinya.
Di detik terakhir, Baskara menggunakan jurus pamungkas yang disiapkannya.
“Teknik Bayangan Pemangsa: Gerakan Pertama!”
WUSH!
Baskara bergerak. Tubuhnya membelah menjadi tiga bayangan.
SRET! SRET! SRET!
Gelombang energi tebasan Wibawa tidak berhenti. Ia terus melaju ke arah Tribun Penonton—tepat ke arah tempat Anjani duduk!
"AWAS!" Teriak penonton panik. Segel pelindung tribun retak seketika.
WUSH!
Sesosok pria berambut merah melompat dari tribun belakang.
Bharata.
Ia mendarat di depan gelombang energi itu dengan santai, mengangkat satu tangan.
"Dinding Prana: Benteng Tak Tergoyahkan."
BOOOOM!
Gelombang Surya Pembelah menghantam telapak tangan Bharata dan... berhenti. Meledak menjadi kembang api yang tidak berbahaya.
Bharata menguap kecil. "Hampir saja. Lumayan untuk ukuran Inti Emas."
Penonton ternganga. Siapa monster ini?!
Namun di tengah arena, horor yang sebenarnya baru dimulai.
Wibawa berdiri terengah-engah, Prana-nya habis total. Tekniknya meleset.
"Ba-Baskara..."
Baskara sudah berdiri di belakangnya.
"Kau meleset."
Baskara hendak menoleh, namun tubuhnya tak merespon. Tanpa ia sadari, tiga sayatan dalam terukir di dada dan perutnya.
Sayatan yang meninggalkan luka bakar yang menyebar di tubuhnya.
Sayatan yang mampu menembus aura prana dahsyat yang menyelimuti tubuhnya.
BUGH!
Baskara membanting Wibawa ke lantai. Tulang rusuk Wibawa patah.
Baskara menginjak dada sepupunya itu, menatapnya tanpa belas kasihan.
"Dengar baik-baik," bisiknya. "Ini balasan untuk semua yang kau lakukan pada Larasati."
SLASH!
Belati kiri berayun.
Tangan kanan Wibawa putus dari siku.
"AAAAAAHHHHH!"
SLASH!
Tangan kiri putus.
Darah menyembur seperti air mancur. Wibawa menggeliat seperti cacing kepanasan.
"Tidak... hentikan... SAKIT!"
Baskara berjalan mengelilinginya. Dingin. Kejam.
SLASH! SLASH!
Kedua kaki Wibawa terpotong di lutut.
Tubuh Wibawa kini tak lebih dari batang tubuh yang berdarah-darah.
"BERHENTI!" Wibawa menangis darah. "AKU MENYERAH! AKU MENYERAH!"
Baskara berjongkok, menatap mata Wibawa yang penuh teror.
"Menyerah?" suaranya sedingin kutub utara. "Kau tidak memberiku kesempatan menyerah saat di jurang."
Baskara mengangkat jari telunjuknya. Ujung jarinya bersinar merah gelap.
Ia mengarahkannya ke ulu hati Wibawa. Titik Sukma.
"CUKUP!" Patriark Dharma berteriak dari tribun. "WIBAWA SUDAH MENYERAH! HENTIKAN!"
Baskara tidak peduli.
[Tuan, kematian terlalu mudah baginya. Biarkan dia hidup dalam penderitaan.]
'Aku tahu. Aku akan menjadikannya sama sepertiku dulu.'
Jari Baskara menusuk dada Wibawa.
KRAAAK!
Bukan suara tulang. Itu suara Sukma yang hancur berkeping-keping.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHH!"
Jeritan Wibawa memecahkan gendang telinga. Itu adalah teriakan seseorang yang kehilangan jiwanya. Sumber kekuatannya. Masa depannya.
Lalu hening.
Wibawa tergeletak lemas, matanya kosong.
Lumpuh. Cacat. Tanpa kultivasi.
Sampah.
Baskara berdiri, menendang tubuh Wibawa ke pinggir seperti onggokan sampah.
WUSH! WUSH!
Dua sosok mendarat di arena dengan ledakan debu.
Patriark Dharma (Inti Emas Bintang 7) dan Tetua Satriya (Inti Emas Bintang 5).
Pedang mereka terhunus, menempel di leher Baskara dari dua sisi.
"BAJINGAN!" raung Patriark, wajahnya merah padam. "APA YANG KAU LAKUKAN?!"
Tetua Satriya menatap Baskara dengan niat membunuh murni.
"Kau menghancurkan masa depan keluarga... kau menjadikan dia sampah."
Baskara tersenyum. Senyum yang membuat kedua orang tua itu merinding.
"Ya," jawabnya tenang. "Sekarang dia tahu bagaimana rasanya menjadi aku."
[BERSAMBUNG KE BAB 29]
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
oya untuk tingat ranah bisa kamu jelasin lebih detail thor di komen agak bingung soalnya hehe