Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab29
Tangis kecil Ardina sudah mereda. Dona masih duduk di samping ibunya, memeluk ibunya erat-erat, seolah takut jika detik berikutnya wanita itu kembali menghilang dari hidupnya lagi.
"Ibu, cepat sembuh ya, Dona rindu, dengan kebersamaan kita dulu," ungkap anak itu.
Ardina memejamkan mata sekejap, ia tahu selama tiga tahun ini sudah membuat anaknya bersedih dan mencari nafkah sendiri, namun di tengah-tengah guncangan kejiwaannya yang tidak stabil, ia tidak pernah meninggalkan sang anak.
"Maafkan Ibu, sudah buat Dona sedih, sudah buat Dona hidup susah," ucapnya dengan tatapan mata kosong tapi teduh.
Regi berdiri beberapa langkah dari ranjang, memerhatikan keduanya dengan perasaan campur aduk lega, bersalah, sekaligus takut kehilangan.
"Dina, yang dikatakan anakmu itu benar, kau harus sembuh," imbuh Regi.
Ardina tidak menjawab namun tatapannya bertemu sejenak, getir seolah luka itu masih belum hilang, namun ia kembali mengusap punggung putrinya pelan. Suaranya lebih lembut, meski masih terdengar rapuh.
“Dona tumbuh besar, ya… Ibu nggak lihat banyak hal.”
Dona tersenyum kecil sambil menyeka pipinya. “Nanti Ibu lihat semuanya kalau Ibu pulang.”
Ardina kembali menatap Regi. Tatapan itu tidak lagi sekejam tadi, lebih ke lelah, tapi sadar.
“Bantu aku sembuh,” katanya pelan.
“Agar aku bisa kembali untuk anakku.”
Regi mengangguk mantap. “Aku akan ada di sini, Din. Apa pun yang kamu butuh.”
Ardina memandang Dona kembali.
“Besok… datang lagi, ya?”
Dona mengangguk cepat, mata membesar karena senang. “Iya, Bu! Dona datang!”
Perawat mengetuk pintu, memberi tanda bahwa waktu kunjungan sudah hampir habis.
Regi menunduk sopan. “Din, kami pamit. Istirahat yang banyak.”
Ardina tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sambil terus memeluk Dona sebelum akhirnya melepaskannya perlahan.
Dona berjalan kembali ke arah Regi, dan sebelum keluar, ia sempat menoleh dan melambai kecil.
Ardina tersenyum lembut… senyum pertama yang muncul tanpa retakan delusi.
Sementara Regi menghela napas panjang begitu pintu tertutup. Ada harapan kecil tumbuh rapuh, tapi nyata.
"Kau pasti akan sembuh," gumam Regi sambil menggandeng tangan anaknya keluar dari kamar Ardina.
☘️☘️☘️☘️☘️
Sementara itu, di rumah besar keluarga Halik, suasana kontras bagaikan dua dunia berbeda.
Halik duduk di kursi kerjanya, ditemani kopi yang sudah dingin. Matanya menatap tajam selembar surat pemecatan yang ia keluarkan sebelumnya. Baginya, itu hanya langkah pertama.
Di ruangan lain, Nindi—istrinya—sedang menyiapkan bekal Halik. Ia mendengar suara langkah kaki pria itu mendekat dan tahu betul mood suaminya sedang buruk.
“Bang, kau dari tadi mondar-mandir. Ada masalah?” tanya Nindi hati-hati.
Halik menarik napas keras, meletakkan berkas di meja makan.
“Nindi, aku sudah pecat Regi.”
Nindi berhenti mengaduk teh, memandang suaminya dengan wajah khawatir.
“Kau… yakin itu bijak? Dia ayah dari cucu kita.”
“Justru itu,” sahut Halik tajam. “Aku tidak akan biarkan anak itu hidup dalam keluarga Ardina.”
Nindi tahu betul dendam suaminya terhadap orang tua Ardina dalam-dalam.
“Apa kau mau mengajukan banding?” tanyanya pelan.
“Aku sudah hubungi pengacara,” jawab Halik, suaranya dingin seperti logam. “Aku ingin hak asuh itu lepas dari tangan Regi.”
Nindi menelan ludah.
“Regi pasti sedang mengurus Dina di RSJ… Dia sedang sibuk menyembuhkan istrinya…”
“Itu semakin bagus,” Halik menyeringai tipis.
“Semakin lemah dia terlihat, semakin mudah aku menjatuhkannya.”
Nindi terdiam. Ada keraguan dalam tatapannya.
“Tapi… Dona? Dia tetap cucu kita.”
“Cucu atau bukan,” jawab Halik tanpa emosi, “dia tetap anak Ardina. Dan aku tidak mau ada darah Ardina di keluarga ini.”
Nindi menunduk, padahal hatinya justru iba pada cucu kecilnya itu.
Namun ia tahu, saat Halik sudah mulai bergerak… badai hampir pasti menyusul.
☘️☘️☘️☘️☘️
Sementara itu di rumah besar keluarga Halik suasana jauh berbeda, dingin dan menusuk, meskipun cahaya matahari masuk ke ruangan rumahnya.
Halik duduk di kursi kerjanya, ditemani kopi yang sudah dingin. Matanya menatap tajam selembar surat pemecatan yang ia keluarkan sebelumnya. Baginya, itu hanya langkah pertama.
Di ruangan lain, Nindi sedang menyiapkan bekal Halik. Ia mendengar suara langkah kaki pria itu mendekat dan tahu betul mood suaminya sedang buruk.
“Pa, kau dari tadi mondar-mandir. Ada masalah?” tanya Nindi hati-hati.
Halik menarik napas keras, meletakkan berkas di meja makan. "Heeeemb surat pemecatan Regi," katanya datar.
Nindi berhenti mengaduk teh, memandang suaminya dengan wajah khawatir.
“Iya Regi sudah dipecat dengan cara tidak terhormat, apa kamu mau menghancurkan dia kembali?"
“Justru itu,” sahut Halik tajam. “Aku tidak akan biarkan anak itu hidup dalam lingkungan wanita gila itu.
Nindi yang awalnya berpihak pada suaminya, sekarang sedikit mengendur, entah kenapa naluri keibuannya merasa tidak tega melihat anaknya yang terus menerus dihujani kebencian oleh ayahnya sendiri.
"Kau mau lakukan apalagi Pa, sudahi dendammu ini bahkan sampai saat ini anak kita masih bingung menata hidupnya."
Halik menatapnya dengan tatapan tajam, kilatan kemarahan kini mulai terpancar. "Kau jangan coba-coba melawanku, apa mau hidupmu seperti Regi." ancam Halik.
Nindi menelan napas kasar ia tidak tahu harus berbuat apa dalam situasi menjepit seperti ini. “Apa kau mau mengajukan banding?” tanyanya pelan.
“Aku sudah hubungi pengacara,” jawab Halik, suaranya dingin seperti logam. “Aku ingin hak asuh itu lepas dari tangan Regi.”
Nindi menelan ludah. “Regi pasti akan kelimpungan, dia sudah lemah…” kata Nindi menggantung.
“Itu semakin bagus,” Halik menyeringai tipis.
“Semakin lemah dia terlihat, semakin mudah aku menjatuhkannya.”
Nindi terdiam. Ada keraguan dalam tatapannya. “Tapi… dia anak kita?
“Anak atau bukan,” jawab Halik tanpa emosi, “dia tetap melanggar aturan keluarga kita. Dan aku tidak mau keturunan Farid menjadi bagian dari keluarga kita, mereka harus diputuskan segera.”
Nindi menunduk, padahal hatinya justru iba pada anak dan cucunya yang beranjak remaja itu. Namun ia tahu, saat Halik sudah mulai bergerak… badai besar pasti menyusul.
"Ya Allah tolong ... gagalkan semua rencana ini, aku tidak sanggup jika terus menerus melihat anakku tersiksa seperti ini," gumam nindi tentunya di dalam hati.
☘️☘️☘️☘️
Sementara itu tanpa keduanya sadari, di sudut kota lain Regi sedang berusaha untuk pemulihan Ardina, karena ia tahu, kemungkinan besar badai itu akan datang, dan yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah menjaga kesehatan mental Ardina, karena hanya wanita itu yang mampu menyelamatkan anaknya dari cengkraman Halik.
Bersambung ....
Selamat Pagi semoga suka ya!