NovelToon NovelToon
Ranjang Berdarah Kamar 111

Ranjang Berdarah Kamar 111

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural / Balas Dendam
Popularitas:908
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Tahun 2005, seorang karyawan hotel bernama Nadira Pramesti, 21 tahun, menjadi korban pemerkosaan brutal oleh tamunya sendiri di kamar 111 Hotel Melati Aruna. Ia ditahan, disiksa, lalu dibunuh dengan cara yang sangat kejam. Mayatnya ditemukan dua hari kemudian—telanjang, penuh luka, dan wajahnya tertutup kain sprei hotel.

Pelaku tak pernah ditangkap. Kasusnya tutup begitu saja.

Sejak hari itu, kamar 111 menjadi teror.

Setiap kali ada pasangan yang belum menikah menginap di kamar itu lalu melakukan hubungan intim, lampu kamar akan padam… suara isakan perempuan terdengar… seprai bergerak sendiri… hingga salah satu dari mereka ditemukan tewas dengan kondisi mirip Nadira.

Sudah 8 pasangan meninggal sejak 2006–2019.
Hotel ditutup selama 4 tahun.
Rumornya, roh Nadira hanya muncul jika “dosa yang sama” terulang.

Namun tahun 2024, hotel direnovasi dan dibuka kembali dengan nama baru:
Hotel Sunrise 111 — tanpa menghapus nomor kamarnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 34 — Bukti Darah Tahun 2005

​Kembali ke Kamar Replik

​Hotel Sunrise 111, Pukul 22.00 Malam, 2024.

​Fira dan Raya tahu bahwa mencari di Ruangan Penyiksaan (pintu besi di lantai 1) akan terlalu berbahaya, karena roh-roh penjaga yang terikat oleh Nadira di sana akan menyerang. Mereka memutuskan untuk mencari petunjuk tersembunyi yang mungkin ada di Kamar 111 replika di lantai 2, tempat yang dipersiapkan untuk menghilangkan jejak, tetapi mungkin menyimpan sisa-sisa trauma Nadira yang tak terhapus.

​Mereka membawa Revan, yang kini berada dalam keadaan semi-sadar dan terus-menerus merintih kedinginan, seperti Nadira. Mereka juga membawa lampu UV portabel yang dibeli Raya, alat yang sering digunakan oleh tim forensik untuk mendeteksi cairan biologis yang tidak terlihat mata telanjang.

​“Nadira bilang Hendra merekam segalanya,” bisik Fira saat mereka menyelinap masuk ke Kamar 111 replika. “Ponselnya hanya berisi rekaman audio sebagai asuransi. Video penyiksaan pasti ada di tempat lain, di kamera tersembunyi.”

​Kamar 111 yang baru ini, dengan dekorasi modern dan bersih, kini terasa sangat dingin. Fira membiarkan Revan duduk di tepi ranjang.

​Revan, yang matanya terpejam, tiba-tiba berbicara dengan suara Nadira yang pelan.

​“Kamar mandi… aku… aku mencoba membersihkan diriku… sebelum mereka membawaku kembali… darah itu… mengalir… tapi tidak hilang…”

​Jejak Darah yang Belum Hilang

​Mendengar petunjuk itu, Fira langsung mengarahkan lampu UV ke lantai kamar mandi.

​Di bawah cahaya ungu yang menyorot, lantai pualam putih itu bersinar dengan pola mengerikan.

​Jejak yang tidak terlihat sebelumnya, kini memancarkan warna biru-putih neon yang jelas—indikasi adanya zat organik, darah yang telah dibersihkan dengan bahan kimia, tetapi tetap meninggalkan jejak molekuler.

​Jejak darah itu bukan hanya cipratan kecil. Jejak itu berupa aliran memanjang dari bak mandi, mengalir di sepanjang lantai kamar mandi, dan keluar ke lantai kamar tidur, berhenti tepat di kaki tempat tidur replika.

​“Ya Tuhan,” bisik Raya, menutup mulutnya. “Dia berjuang. Dia diseret keluar dari kamar mandi.”

​Jejak darah itu bukan hanya bukti, tetapi narasi kekejaman. Nadira sempat mencoba membersihkan dirinya, mungkin dengan harapan masih bisa selamat, sebelum diseret kembali ke Ruangan Penyiksaan untuk dibunuh, dan akhirnya jasadnya dibuang ke Kamar 111 yang asli di lantai 1.

​Fira mengikuti jejak darah itu hingga ke kaki ranjang. Di sana, jejak itu tiba-tiba berubah arah, melingkar ke dinding.

​Fira mengarahkan lampu UV ke dinding di samping ranjang. Di sana, di balik wallpaper modern bermotif bunga, jejak darah itu membentuk sebuah lingkaran kecil di sekitar satu titik.

​Kamera Tersembunyi Hendra

​Fira meraba titik itu di dinding. Ada sedikit kejanggalan pada tekstur wallpaper.

​“Di sini,” kata Fira, menarik napas dalam-dalam.

​Raya mengeluarkan pisau kecil dari tasnya. Dengan hati-hati, ia mengupas wallpaper di titik itu.

​Di baliknya, terungkap sebuah lubang kecil, seukuran ujung jari kelingking, yang kini tampak hitam dan kotor. Lubang itu telah ditutup dengan sangat rapi, tetapi jejak darah Nadira di dinding telah mengkhianati lokasi persembunyiannya.

​Fira mengarahkan senter ke lubang itu. Ia melihat refleksi kecil dari logam tua. Lubang itu adalah tempat kamera tersembunyi dipasang—kamera mata-mata kecil yang telah beroperasi pada malam mengerikan tahun 2005.

​Revan, yang masih terbaring di ranjang, tiba-tiba berteriak dengan suara Nadira yang penuh air mata.

​“Lihat! Dia merekam! Dia menonton! Dia melihat semuanya! Dia menikmati kesakitanku!”

​Fira memasukkan jari-jarinya yang ramping ke dalam lubang itu, mengabaikan rasa dingin dan kotoran. Tangannya berjuang, mencoba menarik sesuatu yang tertanam kuat di balik dinding.

​Akhirnya, Fira berhasil menarik keluar benda kecil yang diselimuti debu dan noda: sebuah memory card kamera lama (SD card berukuran mini), terbungkus dalam plastik bening yang telah menguning. Kartu itu sudah sangat tua, tetapi mungkin masih berfungsi.

​Saat Fira memegang memory card itu, aura Nadira memuncak di ruangan itu.

​Cahaya lampu neon di kamar itu mulai berkedip gila-gilaan, dan suhu turun drastis.

​Sosok Nadira tiba-tiba muncul di hadapan Fira dan Raya.

​Dia tidak lagi memudar seperti sebelumnya. Kali ini, wujudnya utuh, mengenakan gaun putihnya yang sobek dan berlumuran darah. Wajahnya pucat, tetapi matanya yang hitam menatap langsung ke memory card di tangan Fira dengan intensitas yang mengerikan.

​Nadira tidak bicara. Dia hanya mengangkat jari telunjuknya yang pucat dan gemetar, menunjuk tepat ke memory card itu.

​Ini adalah tanda yang jelas: Rahasia besar, bukti visual yang tidak bisa dibantah, ada di dalam memory card itu.

​Setelah menunjuk, sosok Nadira lenyap seperti asap, tetapi udara dingin yang ditinggalkannya membuat Fira dan Raya menggigil hingga ke tulang.

​Konsekuensi Keberanian

​Fira kini memegang dua senjata pamungkas: Rekaman Audio Hendra (mengakui penutupan kasus) dan Memory Card (bukti visual penyiksaan).

​Mereka meninggalkan Kamar 111 replika secepat mungkin, membawa Revan yang kini sudah pingsan karena terlalu banyak menerima energi roh.

​Di kontrakan, mereka meletakkan Revan di kamar. Fira menatap memory card itu.

​“Kita harus melihatnya,” kata Fira, suaranya tegang. “Kita harus tahu apa yang dilihat Hendra. Kita harus tahu apa yang terjadi pada Nadira.”

​Raya, yang gemetar, menyambungkan memory card itu ke laptopnya. Laptop itu berbunyi, menandakan kartu itu terdeteksi.

​Namun, Raya terlihat ragu-ragu. “Fira, kita sudah punya bukti audio yang cukup untuk menghancurkan Dharma. Jika kita melihat video ini, apa yang akan terjadi pada kewarasan kita? Dan pada Revan?”

​Fira menatap memory card itu dengan mata kosong. Rasa sakit Nadira yang dipaksakan telah membuatnya imun terhadap rasa takut. Dia tahu bahwa pembalasan Nadira hanya akan lengkap jika kebenaran visual dari penyiksaan itu diungkap ke dunia, sehingga orang-orang yang melihatnya tidak akan bisa berpaling.

​“Kita harus melihatnya, Raya. Kita berjanji pada Nadira. Dan kita harus tahu apa yang kita lawan,” kata Fira, tekadnya bulat.

​Raya menghela napas panjang, lalu mengklik dua kali pada berkas video yang muncul di layar: “111_Final_Clip.mp4”.

1
Apri Andi
knpa belum up kak
SecretS
Ini kisahnya benar atau tidak kak, dan daerah mana kok kisahnya tragis gitu 😮😐
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!