"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ Bab 28
Pagi berikutnya, aula besar istana yang biasanya lengang kini penuh dengan aktivitas. Para pelayan sibuk membawa peti berisi kain sutra, peralatan makan perak, hingga bunga segar yang dikirim dari rumah kaca kerajaan. Suara palu dari tukang kayu bercampur dengan gesekan biola saat musisi istana mencoba akustik ruangan.
Camilla berdiri di tengah aula, mengenakan gaun kerja sederhana berwarna biru muda. Matanya tajam memerhatikan setiap detail.
“Lampu gantung itu harus dipoles lagi. Aku tidak ingin ada bercak noda sedikit pun saat tamu masuk.”
“Lantai marmer bagian timur, bersihkan sekali lagi. Tamu kehormatan akan masuk dari sana.”
Suara perintahnya tegas, tanpa keraguan. Para pelayan bergegas, meski wajah mereka lelah.
Annette yang baru masuk bersama rombongannya tersenyum tipis. “Oh, kau tampak sibuk sekali, Camilla. Seperti pengawas pasar, bukan calon Permaisuri.”
Camilla menoleh sekilas, tidak terintimidasi. “Lebih baik menjadi pengawas pasar yang bekerja daripada hiasan dinding yang hanya tahu tersenyum.”
Ucapan itu membuat beberapa pelayan menahan tawa kecil. Annette merona, namun segera menegakkan dagunya. “Aku hanya datang untuk memastikan para tamu dari keluarga bangsawan barat disambut dengan benar. Lagipula, tidak semua orang menyukai caramu yang terlalu keras.”
Seraphina, yang berdiri tak jauh dari mereka, akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang, tapi menusuk. “Aku sudah memeriksa daftar keamanan. Ada kemungkinan beberapa bangsawan yang diundang akan membawa pengawal tambahan tanpa izin. Kalau itu terjadi, kau siap menanggung risikonya, Camilla?”
Camilla melipat tangan di dada, matanya menatap Seraphina lurus-lurus. “Aku sudah siapkan peraturan ketat. Siapa pun yang melanggar akan dikeluarkan dari aula, bahkan jika itu bangsawan besar sekalipun.”
Annette mendengus. “Kau terlalu percaya diri. Kau pikir punya kuasa sebesar itu?”
“Kalau tidak, aku tidak akan duduk di sini sebagai Putri Mahkota,” jawab Camilla dingin.
Suasana menegang. Para pelayan yang bekerja pura-pura sibuk, berusaha tidak ikut terjebak dalam percikan api di antara tiga wanita itu.
Menjelang siang, musisi istana mulai memainkan beberapa pilihan lagu untuk pesta. Camilla duduk bersama kepala musisi, mendengarkan satu per satu.
“Tidak. Lagu ini terlalu lambat, orang akan bosan. Yang ini terlalu riuh, tidak sesuai dengan pesta debutan. Coba mainkan nomor ketiga.”
Musisi itu mengangguk, lalu memberi aba-aba. Nada elegan mengalun, membawa suasana ringan tapi tetap anggun. Camilla menutup mata sebentar, lalu tersenyum. “Ya, yang ini. Catat untuk saat para tamu bangsawan memasuki aula.”
Ketika ia berdiri, Annette kembali melontarkan komentar manis berbisa. “Kau bahkan memilih musik? Bukankah itu terlalu kecil untuk seorang Putri Mahkota? Biasanya Permaisuri yang menentukan hal-hal seperti ini.”
Camilla menoleh dengan senyum tipis. “Dan lihat hasilnya, tahun lalu banyak yang mengeluh acaranya membosankan. Aku tidak ingin mengulanginya.”
Kepala musisi menunduk dalam-dalam. “Putri Mahkota, pilihan Anda luar biasa tepat. Musik ini akan meninggalkan kesan mendalam.”
Annette terdiam, rahangnya mengeras.
Di luar aula, Seraphina memeriksa barisan prajurit yang ditugaskan menjaga keamanan. Ia berjalan perlahan, memerhatikan posisi mereka. Ketika melihat Camilla datang, ia berkata, “Pengamanan masih lemah di sisi utara. Kalau ada penyusup, itu titik paling rawan.”
Camilla mengangguk. “Aku setuju. Tambahkan dua regu tambahan di sana. Aku ingin Eleanor merasa aman, tidak peduli siapa yang hadir.”
Seraphina menatapnya sejenak, lalu bertanya dengan nada datar. “Kenapa kau begitu peduli pada adiknya Arthur? Bukankah tugasmu hanya memastikan pesta berjalan lancar?”
Camilla menatap balik, suaranya pelan tapi tegas. “Karena dia adik lelaki yang kucintai. Dan karena aku tahu bagaimana rasanya berdiri sendirian. Aku tidak akan membiarkan Eleanor merasakannya.”
Jawaban itu membuat Seraphina terdiam. Untuk sesaat, ada sesuatu di wajahnya seperti rasa bersalah atau keraguan, sebelum ia kembali bersikap dingin.
Sore harinya, Camilla menerima laporan dari pengelola dapur. Beberapa bahan makanan mewah belum tiba karena cuaca buruk di daerah pengiriman. Jika tidak segera diatasi, menu utama bisa berantakan.
“Kalau begitu, alihkan ke pemasok lain. Gunakan jaringan keluarga Vandell. Mereka pasti punya cadangan,” perintah Camilla cepat.
Pengelola dapur terkejut. “Tapi harga mereka dua kali lipat, Yang Mulia.”
Camilla menatapnya dengan tajam. “Lebih baik membayar mahal daripada mempermalukan keluarga kekaisaran di depan bangsawan. Lakukan.”
Perintah itu segera dilaksanakan. Annette yang mendengar dari kejauhan terkekeh. “Kau benar-benar boros, Camilla. Kalau Permaisuri tahu, dia pasti marah besar melihatmu menghamburkan uang negara.”
Camilla menoleh, matanya berkilat. “Mereka tahu aku akan melakukan apa pun untuk menjaga martabat keluarganya. Kalau kau tidak suka, silakan sampaikan sendiri saat dia kembali.”
Annette terdiam, meski hatinya membara. Ia tahu Camilla tidak takut sedikit pun pada kata-kata pedasnya.
***
Menjelang malam, ketiga wanita itu dipanggil menghadap Ibu Suri untuk melaporkan perkembangan. Aula kecil kediaman permaisuri janda dipenuhi cahaya lilin, aroma bunga lavender menguar lembut.
Ibu Suri duduk di kursi tinggi, sorot matanya lembut tapi penuh wibawa. “Bagaimana persiapan pesta Eleanor?”
Camilla menunduk hormat. “Hampir selesai, Yang Mulia. Dekorasi, musik, makanan, dan keamanan sudah ditangani. Masih ada detail kecil, tapi akan selesai tepat waktu.”
Annette segera menambahkan dengan nada manis. “Namun, Yang Mulia, ada beberapa keputusan yang terasa.. terlalu berani. Anggaran yang membengkak, perintah yang melampaui batas. Saya khawatir hal itu bisa menimbulkan komentar tidak baik dari bangsawan.”
Seraphina juga ikut bicara, lebih hati-hati. “Pengamanan sudah ditingkatkan, tapi ada kemungkinan masalah di sisi utara. Kami sedang menanganinya.”
Ibu Suri mendengarkan tanpa menyela, lalu menatap Camilla. “Camilla, kau tampaknya memikul beban lebih berat daripada yang lain.”
Camilla menunduk dalam-dalam, suaranya mantap. “Beban ini memang berat, Yang Mulia. Tapi aku tidak akan membiarkan nama keluarga kekaisaran ternoda.”
Ibu Suri tersenyum samar, sorot matanya sulit ditebak. “Baiklah. Aku ingin kalian bertiga bekerja sama, bukan saling menjatuhkan. Ingat, pesta ini bukan hanya tentang Eleanor, tapi tentang masa depan kalian juga.”
***
Pesta ulang tahun pun dimulai tepat pukul tujuh. Ribuan lilin menerangi aula perjamuan besar, sementara lampu gantung yang menghiasi langit-langit menambah kemegahannya.
Para tamu yang hadir terpesona oleh pemandangan yang menakjubkan.
Segala sesuatu di sekeliling mereka begitu memukau dan mewah, karpet beludru merah yang melapisi lantai, ukiran-ukiran rumit yang menghiasi dinding dan pilar-pilar, serta bunga-bunga segar yang berjajar rapat di seluruh aula, memancarkan aroma yang menyegarkan.
Di balik rimbunnya semak-semak, orkestra terus memainkan melodi yang memanjakan telinga. Pujian atas kemegahan istana kekaisaran tak henti-hentinya.
“Permaisuri memasuki ruangan!”
Mendengar seruan keras sang bentara, para peniup terompet yang berdiri di sampingnya meniup terompet mereka sekuat tenaga. Setiap kali suara nyaring itu menggema di aula, para bangsawan mengalihkan pandangan mereka ke arah pintu masuk.
Sambil memegang tangan Kaisar, ia melangkah masuk dengan hati-hati, lalu dengan anggun menyapa para tamu.
“Permaisuri benar-benar cantik.”
"Gaun itu pilihan yang bagus. Kalung safir itu sangat cocok dengan kulitnya yang cerah."
Para bangsawan yang tersebar di seluruh aula perjamuan berbisik-bisik, menilai para pemuda dan pemudi yang datang ke pesta itu.
Meja tempat keluarga kekaisaran duduk juga sama ramainya.
"Saya belum pernah melihat pesta dansa semegah ini sebelumnya. Kemegahan kekaisaran sungguh tak tertandingi. Pemandangannya begitu mempesona hingga membuat orang buta. Tentu saja, yang paling bersinar dari semuanya tak lain adalah Ibu Suri"
Camilla mendengar itu dengan acuh tak acuh, para menteri seolah mencari muka di hadapan Ibu Suri dan Permaisuri.
Niat mereka jelas. Seolah bersaing mencari dukungan fraksi.
Camilla sendiri kesal, beberapa pemuda melihat kesempatan yang ada, karna Putra Mahkota yang pergi, sehingga mereka ingin mendekati dengan Camilla.
Tentu saja karna fakta bahwa Putra Mahkota yang belum menentukan pernikahan mereka.
Berapa banyak parfum yang telah mereka semprotkan? Aromanya sangat menyengat, membuat ku sakit kepala.
“Putri Mahkota, kalau tidak terlalu banyak yang diminta, maukah Anda menghormati saya dengan berdansa?”
"Aku akan melewatinya."
Tanpa ragu, dia menolaknya.
Seketika, seorang pria lain, yang telah menunggu kesempatannya, melangkah maju dan segera berlutut di hadapannya.
Kalung ini akan sangat cocok dengan gaun anda. Tolong, berikan aku kehormatan untuk mengalungkannya di lehermu.
Berlian biru tua itu berkilauan dengan kilau yang luar biasa. Tak diragukan lagi, itu adalah harta karun yang berharga, dipersiapkan dengan cermat untuk menghiasi wanita yang ingin dirayunya.
Camilla menyeringai lebar menerima itu, setidaknya semua yang melihat itu bisa menganggap bahwa dia menerimanya sebagai hadiah.
“Lihat itu.. Count Erwin benar-benar berani mendekati Putri Mahkota.”
“Kalung itu.. astaga, itu pasti bernilai ribuan emas.”
Nada-nada itu terdengar samar, tapi jelas sampai ke telinga Camilla.
Camilla tersenyum manis, mengulurkan tangan dan menerima kotak beludru hitam tempat kalung itu terbaring. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi agar semua yang hadir dapat menyaksikan kilau permata itu.
“Kalung yang indah,” ucapnya datar, namun matanya berkilau penuh permainan. “Aku menerimanya.”
Seketika, aula menjadi riuh. Ada yang terkejut, ada yang menahan napas, ada pula yang tersenyum sinis melihat keberanian Camilla menerima pemberian pria lain, di saat statusnya sebagai Putri Mahkota belum diikat dengan pernikahan resmi.
Count Erwin, pemuda berambut pirang keemasan dengan senyum penuh percaya diri menundukkan kepala, suaranya bergetar dengan campuran bangga dan gugup.
“Terima kasih, Yang Mulia Putri Mahkota. Aku merasa terhormat.. jika Anda mengenakannya malam ini, semua akan tahu bahwa kecantikan Anda lebih berharga dari segala permata.”
Kalimat itu membuat para tamu semakin gaduh. Sebagian menutup mulut menahan tawa sinis, sebagian lagi menatap iri, sementara para bangsawan muda lainnya menggertakkan gigi, menyesali mengapa mereka tidak lebih cepat dari Erwin.
Namun, Camilla tidak gegabah. Ia menerima kalung itu bukan karena tertarik pada Erwin, melainkan karena ia ingin memainkan permainan mereka dengan caranya sendiri. Ia tahu, semua mata menyorotinya. Ia tahu, berita ini akan segera sampai pada Putra Mahkota.
Dan ia ingin melihat.. apakah Arthur akan tetap bersikap dingin.