Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelajaran dan senyuman
Cahaya sore menembus pepohonan taman kota, menciptakan bayangan panjang yang menari di jalan setapak. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga dan rumput yang hangat, sementara suara burung dan langkah kaki beberapa orang yang berjalan menambah kesan tenang. Bangku-bangku kosong menanti pengunjung, seolah memberi ruang khusus bagi siapapun yang datang.
Xavier sudah menunggu di bangku dekat jalan setapak. Ia duduk dengan santai, tangan menyentuh buku catatan yang dibawanya, tapi matanya sesekali menatap jalan masuk. Saat melihat Calista mendekat, langkahnya berhenti sejenak, dan senyum tipis muncul di wajahnya—tidak mencolok, tapi cukup membuat momen itu terasa hangat.
"Maaf ya, aku telat," ucap Calista sambil duduk di samping Xavier.
"Gue juga baru datang," jawab Xavier datar, padahal dia sudah menunggu sejam yang lalu.
"Tamannya bagus banget, cocok buat belajar atau piknik keluarga," komentar Calista sambil menatap sekeliling taman yang ramai pengunjung, beberapa keluarga sedang berpiknik di rerumputan.
"Lo baru pertama kali ke sini?" tanya Xavier, sambil menatap Calista. Baginya, pemandangan di taman kota terasa biasa—tapi Calista yang ada di depannya jauh lebih menarik.
Calista mengangguk. "Iya, ini pertama kalinya Calista ke sini."
"Padahal jaraknya dekat dari rumah lo."
"Iya... emang benar. Oh iya, yuk kita belajar," ajak Calista.
"Hmm, tapi gak di sini," sahut Xavier sambil beranjak dari bangku.
"Terus di mana dong?" tanya Calista, ikut berdiri.
"Ikut gue." Xavier segera menggenggam tangan Calista.
"Emang harus ya... pegang tangan?" ucap Calista dengan wajah polos.
"Iya... takut lo dicuri orang," jawab Xavier datar tapi santai.
Mata Calista melebar, tapi tanpa menolak, ia memegang erat tangan Xavier dan mendekatkan dirinya. Xavier diam-diam tersenyum tipis, merasa menang.
"Kita belajar di sini," katanya sambil menyiapkan peralatan piknik di taman. Ia memilih di tempat yang agak sepi dari kerumunan agar lebih nyaman. Di keranjang, Xavier menata buah-buahan dan makanan sehat lainnya dengan rapi.
"Wah, di sini lebih enak belajar dibanding tadi," ucap Calista kagum, duduk di atas karpet sambil mengeluarkan bukunya.
Xavier masih berdiri sebentar, matanya menatap sekeliling. Ketika seorang pengunjung lewat, ia menatap dingin.
"Mbak..." panggil Xavier pada salah satu pengunjung yang lewat.
"Ada apa, dek?" tanya pengunjung itu.
Xavier menyerahkan ponselnya. "Tolong foto kami," ucap datar.
"Boleh," jawab pengunjung itu sambil menerima ponsel Xavier.
Xavier duduk kembali di dekat Calista. "Kita foto dulu," katanya singkat.
Calista sempat bingung, tapi mengangguk dan tersenyum ke kamera.
"Oke... 1... 2... 3... cekrek... cekrek... cekrek... cekrek."
Berbagai pose mereka ambil.
"Wah, kalian kelihatan serasi banget... kayak pasangan sejati deh," komentar pengunjung sambil menatap hasil potret, lalu mengembalikan ponsel Xavier.
Ucapan itu membuat Calista tersenyum kikuk. "Kita bukan pasangan, Mbak... temanan aja."
"Tapi kalian terlihat romantis loh," sahut pengunjung itu.
Sebelum Calista sempat menjawab, Xavier sudah mengambil alih. "Makasih, mbak. Silahkan pergi," ucapnya datar, dan pengunjung itu segera meninggalkan mereka dengan tatapan sinis ke arah Xavier.
"Gak boleh gitu, Vier," tegur Calista, sedikit kesal.
"Biarin aja," jawab Xavier sambil menatap ponselnya. Di layar, foto mereka berdua terlihat manis—Calista tampak lucu dan menggemaskan, membuat Xavier tersenyum tipis.
"Jangan lupa kirim ke aku ya," kata Calista.
"Hmm..." Xavier memasukkan ponsel ke sakunya, lalu mengeluarkan bukunya dari tas untuk mulai belajar bersama.
Calista duduk dengan tenang, buku catatan terbuka di depannya. Ia begitu fokus menjelaskan satu persatu soal kepada Xavier, jari-jarinya menunjuk angka-angka di buku dengan penuh perhatian. Suasana sore di taman terasa tenang, hanya terdengar suara dedaunan tertiup angin dan langkah kaki sesekali pengunjung yang lewat.
Xavier mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk kecil atau mengulang satu dua kata untuk memastikan ia paham. Sekali-sekali, matanya tak sengaja menatap Calista; bukan karena ingin fokus, tapi juga karena cara ia mengajar terlihat begitu serius dan manis. Ia menahan senyum tipis, mencoba tetap terlihat cuek.
"Hmm... oke, gue ngerti maksudnya."
Calista tersenyum kecil, merasa sedikit bangga meski Xavier hanya memberi respon singkat. Mereka kembali menatap buku catatan, duduk berdampingan, suasan nyaman tapi sederhana itu membuat waktu serasa lebih hangat.
Matahari hampir tenggelam, perlahan digantikan oleh cahaya bulan dan bintang yang mulai muncul. Xavier dan Calista masih duduk di taman, belajar telah usai. Mereka menatap langit sore yang hangat, tapi Xavier justru menatap Calista.
"Calista..."
Calista menoleh, dan tatapan Xavier begitu dalam. "Iya, Vier..."
"Terima kasih lo udah bantuin gue," ucap Xavier dengan nada datar tapi tulus.
Calista tersenyum, pipinya sedikit memerah. "Iya, sama-sama. Aku senang ngajarin orang dengan ilmu aku."
"Kamu cocok jadi guru," kata Xavier singkat namun tulus.
"Itu memang impian aku," jawab Calista pelan sambil menatap langit, senyum samar di wajahnya.
"Pasti akan terwujud," sahut Xavier, menatapnya dengan pandangan hangat.
Calista tersenyum tipis, tapi dalam hatinya ia tahu, waktunya tinggal beberapa bulan lagi dan impian itu terasa jauh.
"Jalan-jalan yuk... boleh gak?" tanya Calista, mencoba mengubah suasana.
"Tentu boleh, untuk Ibu Peri gue," jawab Xavier dengan senyum tipis, bangkit dari duduknya dan menggandeng tangan Calista, mengajaknya berjalan menyusuri taman.
"Vier, kita bersihin dulu ini," ujar Calista, ingin membereskan bekas piknik mereka.
"Gak usah... nanti ada yang beresin," kata Xavier sambil menggenggam tangan Calista lebih erat. Ia menariknya perlahan, ingin memberikan momen sederhana tapi penuh makna—hanya mereka berdua, di bawah langit sore yang mulai berwarna perunggu.
♡♡○♡♡
Calista terbaring di tempat tidurnya, selimut hangat menutupi tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar, tapi pikirannya melayang ke sore tadi di taman kota. Ia tersenyum sendiri, mengingat langkah mereka menyusuri jalan setapak, canda tawa yang terdengar riang, dan suara Xavier yang lebih hangat dari biasanya.
"Xavier... dia nggak dingin lagi ya... tadi dia... terlihat ceria."
Senyum tipis kembali muncul di wajahnya, tanpa ia sadari. Bayangan Xavier jarang ia lihat begitu ramah dan santai membuat hatinya terasa hangat. Momen sederhana itu, berjalan di taman—tertawa bersama—seolah menahan waktu agar tetap lama.
"Aku senang bisa lihat dia kayak gitu..."
Sambil memejamkan mata, ia membiarkan ingatan itu mengalir, merasakan hangatnya sore, tawa, dan kehadiran Xavier yang berbeda—lebih menusiawi, lebih dekat. Sebuah rasa nyaman yang membuatnya menutup mata dengan senyum hangat.
♡♡○♡♡
Xavier duduk di kamarnya, kakinya menyentuh lantai dingin, tapi pikirannya masih tertahan di sore tadi di taman kota. Ia mengingat langkah-langkah mereka menyusuri jalan setapak, tawa ringan Calista, dan caranya menjelaskan soal-soal dengan begitu fokus. Sebelum senyum tipis muncul di wajah Xavier—jarang sekali ia merasa begini tenang.
"Hah... dia... bisa bikin gue senyum gini ya..."
Saat ini, Xavier menyadari sesuatu yang jarang ia akui pada dirinya sendiri: Calista bisa membuatnya rileks. Ia yang biasanya dingin, tampak cuek di luar, tapi sekarang, bersamanya, ia bisa bercanda, tersenyum, dan merasa nyaman.
"Mungkin... gue harus lebih sering begini sama dia."
Xavier menutup mata sejenak, membayangkan momen kecil itu: canda, tawa, dan tatapan hangat Calista. Sesuatu yang sederhana, tapi membuat sore itu terasa... berbeda. Bahkan, rasa sedikit hangat menyeruak di dadanya—sesuatu yang jarang ia akui, tapi tidak ingin ia lupakan.
"Dia... bikin gue merasa... manusiawi."