NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34

Bab 34 -

“Jangan berani bermain api denganku jika tidak mau terjadi perang besar,” ujar Ferdian Sandy dengan nada congkak, memperlihatkan seringai penuh kesombongan di wajahnya yang masih dipenuhi luka memar.

Wali Kota Sabra mendengus pelan sambil melipat tangannya di dada. “Wah, benar-benar anak yang merasa paling berkuasa. Luar biasa sekali ya,” ujarnya dengan nada sinis, menatap tajam ke arah Ferdian.

Ferdian menatapnya balik dengan amarah. “Anda jangan main-main dengan saya, Pak Wali Kota. Saya tahu siapa Anda, tapi saya juga tahu siapa diri saya dan siapa ayah saya. Jadi jangan coba-coba menghalangi urusan kami,” ancamnya penuh arogansi.

Pak Cakra, yang berdiri di sisi Sabra, segera menatap tajam ke arah Ferdian. “Cukup ocehanmu, bocah sombong. Borgol dia!” perintahnya tegas.

Pak Guntur, yang sejak tadi ketakutan, tidak bisa berbuat apa-apa. Ia sadar betul kariernya di kepolisian bergantung pada keputusan Sabra—dan kini posisinya terjepit.

Ferdian mencoba memberontak ketika tangannya hendak diborgol, namun karena tak memiliki anak buah—semua sudah tumbang di rumah keluarga Perdana—ia hanya bisa mengerang kesal.

“Kami tidak peduli kau anak siapa,” ujar Gladys, menatap tajam ke arah Ferdian. “Kau sudah melanggar hukum dan akan tetap kami proses. Siapa pun kau.”

Ferdian malah tersenyum miring. “Nanti kau akan tahu sendiri, Nona Gladys yang cantik. Cepat atau lambat, kau akan jadi milikku juga,” katanya tanpa tahu malu.

“Jangan mimpi terlalu tinggi. Kau akan masuk bui,” balas Gladys dingin.

“Keluargaku akan mengeluarkanku kapan pun mereka mau.”

Gladys menatapnya jengah. “Lebih baik kau diam. Semakin banyak kau bicara, semakin berat hukumanmu.”

Ferdian tiba-tiba berteriak, “Tidak ada yang berani melawan Keluarga Sandy!”

Ternyata tanpa disadari, ia sempat menekan nomor ayahnya di ponsel. Permintaan pertolongan sudah dikirim.

Sabra berpikir cepat. Ia tahu ancaman Ferdian bisa saja bukan gertakan kosong. Keluarga Sandy memang punya pengaruh luas di berbagai lini pemerintahan. Ia langsung menoleh ke asistennya.

“Segera buatkan daftar semua pejabat di kota ini yang masih punya koneksi dengan Keluarga Sandy,” perintahnya.

Perintah itu membuat wajah Pak Guntur pucat. Ia sadar hidupnya bisa berakhir hari ini juga. Dulu, ketika ia menerima sogokan dari keluarga itu, ia tahu sedang menjual jiwanya. Tapi demi keselamatan keluarganya, ia tak punya pilihan lain.

Gladys menatap Guntur dan berkata lirih namun tegas, “Kemungkinan besar orang-orang Keluarga Sandy sedang menuju ke sini.”

Pak Cakra mengerutkan kening. “Kita punya cukup pasukan?”

“Untuk menahan di depan, cukup,” jawab Gladys sambil menghitung kemungkinan di pikirannya.

Ferdian terkekeh dari kursinya. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi. Pasukan ayahku akan melumat kalian dalam sekejap. Kalian akan habis sebelum sempat bernafas.”

Gladys mendengus kesal, lalu menempelkan lakban di mulut Ferdian. “Berisik sekali,” katanya datar.

Wali Kota Sabra berdiri tegak di tengah ruangan. “Baik. Hari ini kita bersihkan semua parasit dari tubuh pemerintahan. Perintah Presiden jelas — tumpas para pengkhianat dan mafia hukum dari akarnya. Jangan gentar, apa pun yang terjadi.”

“Bagi yang masih bisa disadarkan, beri mereka kesempatan. Tapi jangan lupakan sanksi,” tambahnya, menatap Pak Guntur dengan tajam.

Guntur akhirnya berlutut. “Saya mohon ampun. Saya akui saya sudah disuap oleh Keluarga Sandy. Tapi saya ingin menebusnya. Tolong lindungi keluarga saya.”

Ferdian yang masih duduk menendang Guntur hingga jatuh. Gladys langsung mengikat kaki Ferdian agar tak bisa bergerak.

“Ceritakan semua dari awal,” perintah Sabra.

Dengan gemetar, Guntur berkata, “Waktu saya baru naik jabatan, keluarga saya diculik oleh orang-orang Sandy. Mereka paksa saya tunduk pada perintah mereka. Setiap kali keluarga itu melanggar hukum, saya harus bebaskan mereka.”

Sabra segera memerintahkan pengawalnya, “Pastikan keluarga Guntur diamankan. Jangan sampai disentuh siapa pun.”

Telepon pun dilakukan cepat, dan Sabra menatap Guntur kembali. “Keluargamu aman. Sekarang, kenapa Aryo Pamungkas sampai kalian tangkap?”

“Itu atas perintah Ferdian. Sebenarnya Aryo hanya membela diri. Saya menyaksikannya sendiri,” ucap Guntur dengan wajah penuh penyesalan.

Gladys langsung menatapnya tajam. “Kalau begitu, bebaskan dia sekarang juga. Aku mau pastikan dia baik-baik saja.”

Guntur terdiam sesaat, lalu menunduk. “Dia... sudah babak belur. Tapi baiklah, saya lepaskan.”

Belum sempat mencari kunci, seorang petugas datang tergesa-gesa. “Bu Gladys! Mereka sudah datang. Banyak sekali!”

Gladys menatap keluar jendela. Puluhan mobil hitam beriringan di jalan.

“Perintahkan semua aparatmu untuk memutus kesetiaan mereka pada Keluarga Sandy. Siapa yang menolak, copot langsung!” perintah Sabra tegas.

Suara sirine mulai terdengar. Suara langkah kaki bersahut-sahutan. Guntur memberi instruksi melalui pengeras suara agar semua pasukan bersiap.

Tak lama kemudian, iring-iringan mobil besar berhenti di depan halaman kantor kepolisian. Dari salah satu mobil jeep hitam, Ketut Sandy, ayah Ferdian, keluar dengan jas abu-abu dan kacamata hitam, suaranya lantang melalui pengeras suara:

“Lepaskan Ferdian Sandy sekarang juga!”

Sabra keluar dan menjawab dengan nada tenang, “Tidak sampai ia diproses hukum karena telah menyuap aparat negara.”

Ketut tersenyum sinis. “Kita semua tidak ingin pertumpahan darah, bukan? Maka lepaskan saja anakku, dan semua selesai di sini.”

Gladys menjawab cepat, “Jika kami melepaskannya, kalian tidak akan berhenti. Kami tahu permainan kalian.”

Cakra menimpali, “Benar. Tak ada negosiasi lagi.”

Sabra mengangkat suaranya, “Kalau begitu, Ketut Sandy, bersiaplah. Hari ini kekuasaan kotor kalian berakhir!”

Ketut hanya tersenyum dingin. “Kalau begitu, kalian yang memilih jalan ini. Serang mereka!”

Ratusan orang berseragam hitam segera maju, membawa senjata otomatis. Tembakan pun meledak di udara. Suara peluru menyalak tanpa henti. Polisi berlindung di balik mobil patroli.

Gladys menjerit, “Berlindung! Jangan biarkan mereka masuk ke halaman utama!”

Pertempuran sengit pecah. Beberapa polisi tumbang. Cakra terkena hantaman keras dan jatuh tak sadarkan diri, segera dibawa petugas medis. Sabra berlindung di balik pilar beton, sementara Gladys berusaha memukul mundur lima orang sekaligus.

Sementara itu, Guntur menatap monitor CCTV, wajahnya tegang. Ia tahu pasukan Sandy tak mungkin dikalahkan hanya dengan kekuatan yang mereka punya. Ia berlari ke ruang interogasi.

“Aryo Pamungkas!” serunya.

Aryo yang duduk dengan wajah lebam menoleh perlahan.

“Saya minta maaf... saya salah. Tapi sekarang kami butuh bantuanmu,” kata Guntur dengan nada memelas. “Pasukan Sandy menyerang. Tim kami kewalahan.”

Aryo menatapnya dingin. “Apa untungnya untukku?”

“Gladys ada di medan pertempuran,” jawab Guntur cepat.

Hanya kalimat itu yang membuat Aryo berdiri tegap. Luka-luka di tubuhnya terasa sirna. Ia meraih pistol dari tangan Guntur. “Beri aku peluru.”

Tanpa menunggu, Aryo naik ke atap kantor dan mulai menembaki pasukan Sandy dengan presisi luar biasa. Setiap peluru yang ia lepaskan menumbangkan satu lawan. Ketika Ketut mencoba kabur dengan mobilnya, Aryo menembak tepat di lututnya.

Pertempuran pun berakhir. Polisi berhasil memborgol Ketut Sandy dan sisa pasukannya.

Aryo segera mencari Gladys di tengah reruntuhan dan asap. Ia menemukannya dengan luka di bahu.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Aryo cepat.

Gladys tersenyum tipis. “Ini hanya luka kecil. Aku baik-baik saja.”

Aryo menatapnya penuh kagum. Polisi wanita itu begitu kuat, bahkan di tengah darah dan kehancuran.

“Temanmu, Wirda, di ruang sebelah,” ucap Gladys lembut.

Aryo segera berlari. Ia menemukan Wirda Perdana menangis lega dan langsung memeluknya.

“Kamu aman sekarang,” kata Aryo menenangkan. “Keluarga Sandy sudah tumbang. Mereka akan dipenjara.”

Wirda terisak bahagia. “Terima kasih, Aryo...”

Berita mengenai tumbangnya Keluarga Sandy menyebar ke seluruh negeri dalam hitungan jam. Media nasional menyiarkannya tanpa henti.

Beberapa hari kemudian, Aryo datang ke kediaman Keluarga Perdana. Semua orang sudah tahu kebenarannya.

“Sekarang kalian sudah tahu siapa sebenarnya Keluarga Sandy. Biarkan Wirda memilih jalannya sendiri,” ucap Aryo tenang di hadapan keluarga besar itu.

Sebelum pergi, ia sengaja mengitari halaman rumah menggunakan BMW hitamnya. Semua yang hadir hanya bisa terdiam, sadar mereka telah merendahkan orang yang salah.

Wirda menatapnya pergi dengan mata berkaca-kaca. Hatinya lega sekaligus hangat.

“Seandainya status pacar itu... tidak hanya pura-pura,” bisiknya pelan.

Wah ada yang berharap lebih nih.. Hehehe..

Bersambung...

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!