Seorang pemuda berusia 25 tahun, harus turun gunung setelah kepergian sang guru. Dia adalah adi saputra.. sosok oemuda yang memiliki masa lalu yang kelam, di tinggalkan oleh kedua orang tuanya ketika dirinya masih berusia lima tahun.
20 tahun yang lalu terjadi pembantaian oleh sekelompok orang tak di kenal yang menewaskan kedua orang tuanya berikut seluruh keluarga dari mendiang sang ibu menjadi korban.
Untung saja, adi yang saat itu masih berusia lima tahun di selamatkan okeh sosok misterius merawatnya dengan baik dari kecil hingga ia berusia 25 tahun. sosok misterius itu adalah guru sekaligus kakek bagi Adi saputra mengajarkan banyak hal termasuk keahliah medis dan menjadi kultivator dari jaman kuno.
lalu apa tujuan adi saputra turun gunung?
Jelasnya sebelum gurunya meninggal dunia, dia berpesan padanya untuk mencari jalan hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 restoran yunda
"Bocah, katakan padaku siapa namamu?"
Dengan tatapan menyipit, pria berperut buncit itu bertanya.
"Kamu adalah manajer di restoran ini?" rayan menghentikan aktivitas makannya dan bertanya balik pada pria itu.
"Ya. Jadi, bagaimana kamu akan membayar semua makanan ini? Jangan sampai aku menggunakan kekerasan terhadapmu karena tak mampu membayar," ucap pria berperut buncit itu. Ia masih bersikap menahan diri. Sebagai orang yang memiliki pengalaman luas, meskipun ia meragukan pemuda di hadapannya karena pakaian yang dikenakannya, pria itu masih berpikir mungkin saja pemuda yang disebut gelandangan oleh pelayan itu adalah orang kaya tersembunyi.
"Aku memang tidak memiliki uang untuk membayar semua makanan ini." rayan menjeda ucapannya, mengamati reaksi dari pria itu. Benar saja, ekspresi pria itu langsung berubah. Namun, sebelum ia sempat berkata-kata, rayan kembali melanjutkan ucapannya.
"Aku memang tidak memiliki uang tunai untuk membayar, tetapi aku memiliki sesuatu yang mungkin bisa digunakan untuk membayar." Sambil meletakan dua koin emas di atas meja dengan tanpa ekspresi.
"Itu?! Apakah kamu bodoh?! Ini adalah zaman modern! Bagaimana bisa kamu menggunakan koin seperti itu untuk membayar?"
"Apalagi koin yang kamu tunjukkan bukanlah koin rupiah! Apakah kamu orang dari masa lalu yang membawa koin kuno untuk membayar?"
Melihat ada tiga koin berwarna emas diletakkan oleh rayan, para pelayan—kecuali Lili—langsung tertawa dan menatap pemuda itu dengan bodoh. Mereka sedikit tahu tentang koin, yang digunakan sebagai alat tukar menukar barang di zaman dulu. Tetapi di zaman modern seperti ini, koin tidaklah berguna. Selama mereka hidup, mereka belum pernah melihat seseorang menggunakan koin untuk membayar sesuatu, apalagi koin yang pemuda ini tunjukkan sangatlah asing bagi mereka.
"Pffftttt..." Tawa para pelayan itu cukup keras hingga membuat para pengunjung lain langsung mendekat. Mereka yang sudah dari tadi memperhatikan pemuda itu langsung tertarik untuk melihat koin seperti apa yang dikeluarkan Rayan.
"Huh! Tidak apa-apa kamu menganggap kami bodoh, tetapi berani sekali kamu menganggap Tuan Manajer bodoh!" ucap pelayan itu kembali.
"Tuan Manajer, kami hanyalah pelayan wanita yang lemah. Kami tidak memiliki kemampuan untuk memberi pemuda itu pelajaran. Mohon Tuan Manajer maafkan kami karena telah salah membawakan semua menu di restoran ini untuknya. Kami... kami hanya kasihan pada Lili karena harus membawa begitu banyak pesanan," ucap pelayan lain dengan wajah menyesal. Dari awal mereka melihat pemuda itu, mereka memang sudah meragukannya.
"Benar, Tuan Manajer. Jika Tuan ingin menyalahkan, salahkan saja Lili. Dia yang telah begitu mempercayai orang bodoh itu. Jika saja kami tahu dari awal, kami akan langsung mengusirnya!" Pelayan keempat ikut bicara. Mereka tidak mau disalahkan atas semua pesanan yang sudah pasti akan merugikan restoran.
"Tu-Tuan, saya...?" Pelayan Lili ingin membela diri, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Seketika raut wajah sedih terpancar di wajahnya.
"Kalian diamlah!" ujar sang Manajer. Ia langsung mengambil salah satu koin itu dan memeriksanya. Entah kenapa ia merasa tidak asing dengan bentuk dari koin emas itu.
Setelah beberapa saat, ekspresi wajahnya pun langsung berubah dan berseru tanpa sadar,
"Ini! Ini adalah koin emas zaman kekaisaran! Ini adalah emas murni!"
Seru sang Manajer. Kemudian, ia menatap ke arah Rayan dengan penuh penasaran. "Kamu, kamu dari mana kamu mendapatkan koin emas ini?"
"Katakan saja, apakah koin itu sudah cukup untuk membayar semua makanan ini?" ucap Rayan acuh tak acuh.
"Ten—tentu saja! Ini bahkan lebih dari cukup! Kamu hanya perlu memberi saya satu koin, dan aku akan memberikan kamu sekitar sepuluh juta rupiah. Eh, tidak! Maksudku, aku akan memberikanmu dua puluh juta rupiah jika kamu mau memberikan ke dua koin ini pada saya!" ucap sang Manajer, matanya berbinar memandangi dua koin emas di tangannya,
"Ap—apa? Emas asli? Bagaimana mungkin?"
"Tuan Manajer, apakah Anda yakin?" Para pelayan terkejut mendengarnya.
"Bodoh! Apakah kalian meragukan penglihatanku, atau kalian semua akan saya pecat?!" ucap sang Manajer pada para pelayan itu. Ia, yang berasal dari keluarga kusuma cukup tahu barang-barang berharga termasuk koin kuno dari zaman kekaisaran.
"Tuan, kami...?" Kelima pelayan itu langsung menatap ke arah Rayan penuh kebingungan. Jika saja bukan Tuan Manajer mereka sendiri yang mengatakan koin itu adalah koin emas dari zaman kekaisaran, sulit bagi mereka untuk mempercayainya. Bahkan, semua pengunjung di sana juga terkejut. Sebagian dari mereka bahkan berasumsi pemuda itu pasti mencurinya dari seseorang.
"Astaga, jadi itu adalah koin kuno dari zaman kekaisaran! Sial, pantas saja Tuan Yunda mau membayarnya begitu mahal. Koin itu adalah harta langka, bahkan belum tentu bisa ditemukan di pelelangan," seruan salah satu pelanggan yang menatap rayan dengan iri. Yunda adalah nama dari sang Manajer itu.
"Anak muda, dari mana kamu mendapatkan koin emas itu? Ataukah kamu mencurinya dari seseorang?" ucap salah satu pengunjung.
"Ya, benar! Kamu pasti mencurinya dari seseorang!" pengunjung lainnya ikut menimpali.
Mereka semua tidak percaya jika pemuda itu memiliki koin emas dari zaman kekaisaran. Apalagi, tidak ada satu pun dari mereka yang mengenali siapa pemuda itu. Melihat pakaian yang pemuda itu kenakan, jelas mereka memiliki pemikiran yang sama.
"Tuan Yunda, sebaiknya Anda mencari tahu kebenarannya, karena mungkin saja pemilik asli dari koin itu sedang mencarinya," lanjut pengunjung lainnya.
"Nak, aku sarankan kamu untuk mengaku dan memberi tahu kami dari mana kamu mendapatkan koin emas itu." Satu per satu para pengunjung itu mulai menuduh rayan dan menatap semakin menghina.
"Apa yang kalian bicarakan?! Berani kalian menuduh Tuan Muda ini?! Apakah kalian memiliki bukti yang kuat?" Tuan Kusuma, sang Manajer, langsung mengubah sikapnya pada rayan. Ia memarahi para pengunjung itu karena telah menuduhnya. Saat ini, bagi Yunda, tidak peduli dari mana pemuda itu mendapatkan koin emas itu. Yang jelas, jika ketiga koin emas itu menjadi miliknya, ia sendiri tidak bisa membayangkan berapa harga koin emas itu jika dijual di pelelangan.
"Tuan Yunda, Anda jangan tertipu olehnya! Bagaimana kalau koin emas itu benar-benar hasil curian dari seseorang yang memiliki kedudukan tinggi di kota ini? Anda sebaiknya memikirkannya kembali!" ucap salah satu pengunjung kembali.
"Siapa yang menyuruhmu bicara? Memangnya kenapa jika koin ini hasil curian? Memangnya keluarga siapa yang memiliki kedudukan tinggi di kota ini? Apakah keluarga itu melebihi kekuatan keluarga Kusumaku?" Yunda menatap tajam pengunjung itu. Kemudian, ia beralih menatap rayan dan berkata,
"Anak muda, jangan pedulikan omongan mereka. Tidak peduli dari mana kamu mendapatkan koin emas ini, yang jelas aku akan membayarmu dua puluh juta rupiah jika kamu mau memberikan dua koin itu."
Rayan tampak masih diam mendengarkan ocehan orang-orang itu. Ia menatap ke arah sang Manajer sedikit menyipit. Baru saja orang ini mempertanyakan hal yang sama dengan para pengunjung itu, tetapi kini pria ini malah membelanya.
"Baiklah, terserahmu saja," ucap rayan. Ia tak ingin berlama-lama di sana, terlalu malas mendengar ocehan orang-orang yang memandang rendah dirinya.
Sang Manajer tersenyum mendengar jawaban dari rayan. Ia pun buru-buru mengeluarkan kartu berisikan dua puluh juta rupiah dari saku jasnya dan memberikannya pada rayan.
"Anak muda, di dalam kartu ini ada sekitar dua puluh juta rupiah. Kebetulan aku baru membuat kartu ini dengan kode...?"
Baru saja Yunda hendak membisikkan kode kartu tersebut, rayan menghentikannya.
"Tidak perlu. Berikan saja aku uang cash," ujarnya.
"Ba-baik, baik! Kalau begitu, mohon Tuan Muda tunggu sebentar," ucap Yunda, segera memberi perintah pada salah satu pelayan untuk mengambilkan uangnya. Tak berselang lama, pelayan pun datang membawa segepok uang lalu diserahkan pada Yunda.
"Silakan Tuan Muda menghitungnya terlebih dahulu." Yunda pun memberikan uang itu pada rayan.
"Tidak perlu. Aku percaya Tuan Manajer bukan orang yang suka menipu hanya karena uang," ucap rayan. Ia kemudian bangkit, pergi dari sana. Yunda terdiam tanpa kata. Ucapan pemuda itu sedikit menyinggungnya.
"Terima kasih atas kepercayaan Tuan Muda. Datanglah kembali jika Tuan Muda merasa puas dengan makanan di restoran ini," ucap Yunda sambil menatap kepergian pemuda itu. Bibirnya sedikit melengkung ke atas, dua koin di tangannya ini.. Jika ia jual ke seorang kolektor atau pelelangan.. Pasti akan memiliki harga jauh lebih tinggi,
Bahkan semua orang di sana pun, menatap pemuda itu jelas membingungkan mereka. Selain sikapnya yang dingin, pemuda itu bahkan tidak memperdulikan perkataan orang-orang di sekitarnya.
"Baiklah, sebaiknya aku sekarang mencari tempat tinggal terlebih dahulu, baru aku merencanakan apa yang harus aku lakukan ke depannya," pikir rayan setelah keluar dari restoran itu. Kebetulan hari sudah mulai gelap dan lampu-lampu jalanan sudah mulai menyala.
Rayan berjalan tak tentu arah, menyusuri kota, melihat kesana kemari mencari sebuah tempat yang bisa ia tinggali.
"Akhhh... Bajingan, lepaskan! Apa yang kalian lakukan!"
"To-tolong! Ada penjahat!"
Tiba-tiba saja, suara seseorang meminta tolong terdengar di telinganya yang tajam.