Bagi Heskala Regantara, kehidupannya di tahun 2036 hanya soal kerja, tanggung jawab, dan sepi. Ia sudah terlalu lama berhenti mencari kebahagiaan.
Sampai seorang karyawan baru datang ke perusahaannya — Aysha Putri, perempuan dengan senyum yang begitu tipis dan mata yang anehnya terasa akrab.
Ia tak tahu bahwa gadis itu pernah menjadi bagian kecil dari masa lalunya… dan bagian besar dari hidupnya yang hilang.
Lalu, saat kebenaran mulai terungkap, Heskal menyadari ...
... kadang cinta paling manis lahir dari kesalahan yang paling tak termaafkan.
•••
"The Sweetest Mistake"
by Polaroid Usang
Spin Of "Gairah My Step Brother"
•••
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Polaroid Usang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 21
•••
Tahun 2036
•••
Rumah minimalis itu masih tertutup rapat, gorden menutupi dinding kaca itu, lampu depan masih hidup dipagi hari yang telah terang ini.
Sudah dua jam lebih Heskal memantau rumah itu dari dalam mobilnya. Sedangkan keempat sahabatnya memilih menunggu kabar di Cafe Dennara.
Hingga akhirnya, dia turun dari mobil, melangkah pelan memasuki halaman dan berdiri didepan pintu. Tangannya terangkat, lalu turun lagi. Terangkat. Turun.
Padahal, dalam hidupnya, Heskala Regantara nyaris tidak pernah ragu-ragu dalam hidupnya. Dia selalu santai, melakukan apapun yang disuka, mengejar apapun yang bisa membuatnya bahagia.
Tapi kali ini berbeda.
Di balik pintu itu ada perempuan yang dulu dia lindungi. Dan dua anak yang ... hampir pasti adalah darah dagingnya.
Dia menunduk, menarik nafas dalam. Dan akhirnya, bel itu ditekan.
Pandangannya menunduk, bibirnya digigit untuk menekan rasa gugupnya. Beberapa saat itu terasa begitu lama bagi Heskal. Hingga akhirnya pintu itu terbuka, melihatkan sepasang sendal bulu berwarna cream.
Perlahan, Heskal mengangkat pandangannya.
Mata mereka bertemu.
Tidak ada keterkejutan. Tidak ada keresahan. Mata cantik itu hanya menatapnya datar.
Membuat Heskal merasa semakin kecil dalam sekejap.
•••
Heskal berdiri di sana.
Lebih tirus, lebih pucat. Rambutnya tidak serapi ingatan Zeline, jatuh menutupi jidat tanpa tertata. Matanya terlihat lelah dengan cara yang tidak bisa dipalsukan.
Mereka saling menatap.
Heskal terlihat membeku, karena itu akhirnya Zeline berucap lebih dulu.
"Ada perlu apa, Pak?"
Pak. Bahkan diluar jam kerja.
Heskal menelan ludah. "Gue— Ak— Sa-saya… boleh masuk?" Heskal ingin mengutuk dirinya sendiri saat suaranya memasuki pendengarannya.
Zeline ragu sepersekian detik. Lalu membuka pintu lebih lebar dan menyingkir setengah langkah.
"Masuk, Pak."
Satu kata. Dingin. Formal.
Heskal melangkah masuk, dan dunia Zeline terasa bergeser sedikit dari porosnya.
Ruang tamu itu sederhana, sofa abu-abu muda, mainan anak-anak tersusun rapi di sudut. Heskal melihatnya, dan dadanya berdenyut nyeri tanpa bisa ditahan.
"Aysha, kamu… tinggal di sini?" Tanyanya, bodoh.
"Iya." Jawab Zeline singkat.
Dia berdiri dengan jarak aman. Tangannya saling menggenggam di depan tubuh. Bahunya tegak. Wajahnya tenang.
Terlalu tenang.
"Duduk, Pak. Saya buatin minuman dulu." Zeline berucap pelan, lalu langsung berjalan menuju dapur.
Sampai disana, tubuhnya melemas seketika. Tangannya gemetar, air mata yang ditahan langsung berjatuhan. Tangannya meremas baju di dadanya, menekan titik nyeri disana. Kepalanya mulai terasa berat.
Zeline tahu, entah bagaimana Zeline tahu. Bahwa Heskal sudah mengetahui semua yang ia sembunyikan.
Bahwa rahasia hidup terbesarnya sudah diketahui oleh sumber kekacauannya.
Dia berusaha menetralkan nafasnya, berusaha menenangkan diri. Tangannya mulai terangkat menghapus air mata lalu tersenyum tipis.
"Zeline."
"Iya, Pak?" Zeline tersentak, refleks membalikkan badan dan menjawab Heskal yang ternyata mengikutinya ke dapur. Tangannya terangkat untuk memastikan sekali lagi bahwa wajahnya tak lagi basah.
"Zeline.."
Saat namanya di panggil untuk kedua kali, barulah Zeline membeku. Netranya bergetar, tubuhnya kaku, tangannya membeku di depan wajah.
Mata Heskal memerah, "Zeline..." Ulangnya serak.
"S-siapa? Bapak panggil siapa?" Zeline berusaha mengelak, bahkan di telinganya sendiri, kalimat itu terdengar bodoh.
Dalam sekejap mata, tubuhnya tertarik kedalam pelukan lelaki itu. Hangat, erat, penuh kerinduan. Tanpa bisa ditahan, air mata Zeline mengalir deras tanpa suara.
"Zel..." Heskal mengeratkan pelukannya, "Zeline..."
"Zeline..." Suaranya makin serak, tangannya mengelus punggung kecil itu dan semakin mengeratkan pelukannya seakan takut perempuan itu akan pergi lagi.
"Zeline—"
Zeline mendorong Heskal, memundurkan langkah menjauh dari tubuh tinggi itu.
"Heskal."
Namanya disebut tanpa embel-embel. Tanpa "Pak", tanpa "Kak".
"Langsung aja. Kamu mau apa?" Tanya Zeline pelan.
Heskal terdiam, menelan ludahnya, dia maju selangkah, dan Zeline juga mundur selangkah.
Bibir Heskal terbuka, dia berucap serak, "Zeline?"
"Iya?"
"Zeline?" Panggil Heskal lagi.
"Iya?"
Heskal menunduk, lalu menengadah dan mengusap wajah basahnya. Mereka terdiam cukup lama, Heskal berusaha menenangkan diri, sementara Zeline menunggu apa yang akan ucapkan lelaki itu.
"Gue udah tau." Ucap Heskal pelan. "Semuanya."
Tidak ada reaksi besar. Tidak ada teriakan. Tidak ada air mata lagi. Zeline hanya mengangguk pelan. Seakan sudah bisa mengontrol dirinya.
"Terus?"
Satu kata itu menghantam lebih keras dari tamparan.
"Gue tau." Ulang Heskal, "Semuanya." Tekannya.
"Terus?" Ulang Zeline lagi, suaranya mulai ikutan serak.
"Gue tau... Tapi mau denger kebenarannya dari mulut lo." Heskal maju, semakin mempertipis jarak hingga Zeline terpojok pada meja. Kedua tangannya bertumpu pada meja, mengurung tubuh kecil itu.
Zeline menelan ludahnya, mengalihkan pandangan sejenak, lalu kembali menatap mata hitam itu tanpa takut. Netra mereka saling mengunci, saling berusaha kuat, saling berusaha tak gentar.
"Iya." Zeline mengangguk.
"Aku Zeline. Noa Shala anak aku..." Ucapnya pelan, netranya bergetar samar.
"...Anak kamu juga." Lanjutnya dengan suara nyaris hilang.
Tubuh Heskal terasa di setrum hingga lemas. Bibirnya bergetar, tenggorokannya tercekik, air mata yang sudah menggenang sejak tadi luruh. Kepalanya jatuh pada bahu sempit Zeline.
Belum tiga detik, Heskal merasakan tubuhnya didorong dan perempuan itu sudah kembali menjaga jarak.
Wajah Zeline itu, benar-benar membuat Heskal sesak. Senyum miris, mata kosong, pipi basah.
"Udah, kan? Jadi silahkan pergi."
"Zel—"
"Aku nggak akan biarin kamu ambil anak aku!" Potong Zeline.
"Gue gak datang buat ambil mereka," lanjut Heskal cepat, panik. "Gue cuma mau ... mau denger dari lo. Gue mau tau kebenarannya. Kenapa bisa... kita...?" Heskal bahkan tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
"Kebenaran versi siapa?" Zeline bertanya dengan senyum miris itu lagi, "Versi kamu? Versi aku? Atau versi yang bikin kamu bisa tidur lebih nyenyak?"
Heskal kehilangan kata.
Ia melangkah satu langkah lebih dekat, refleks, ingin meraih tangan Zeline.
Namun sebelum jarinya benar-benar menyentuh—
Zeline menarik tangannya.
Gerakannya cepat. Tapi tidak cukup cepat untuk mencegah satu detik sentuhan kulit.
Satu detik.
Dan dada mereka sama-sama bergetar lagi.
"Bukan salah kamu doang, Kak." Bisik Zeline menunduk.
Heskal tertegun, rahangnya mengeras. Dadanya bergemuruh mendengar panggilan itu setelah bertahun-tahun.
"Jadi, nggak perlu merasa bersalah. Kamu boleh pergi."
"Zeline, gue—"
"Mimia?"
Suara kecil itu datang dari lorong.
Heskal menoleh.
Seorang anak laki-laki berdiri di sana. Rambutnya sedikit berantakan. Mata tajam saat melihat Heskal. Terlalu tajam untuk anak seusianya.
Noa.
Heskal membeku. Wajah itu. Garis rahang kecil itu. Cara menatap yang terlalu familiar. Noa, anaknya. Untuk pertama kalinya, Heskal berani mengakui itu dengan mantap.
Zeline bergerak refleks, berdiri setengah langkah di depan anak itu, seakan ingin melindunginya dari Heskal.
"Mi," Panggil Noa.
Zeline membalikkan badan, menghadap Noa, "Ada apa, Sayang?" Tanyanya lembut, kontras dengan dinginnya tadi.
Noa melirik Heskal. Lama. Seperti sedang menilai.
"Kenapa Om itu dilumah kita?"
Heskal menahan napas.
Zeline tidak langsung menjawab. Tangannya turun, menggenggam pundak Noa dengan protektif.
"Bertamu," Katanya singkat.
Tamu.
Bukan ayah. Bukan siapa-siapa.
"Shala mana?" Zeline bertanya.
"Main dikamar." Jawab Noa, masih menatap Heskal tanpa berkedip.
Heskal pun tak bisa mengalihkan pandangan sedetik pun, kalau bisa, kalau saja boleh, kalau saja diizinkan, Heskal ingin memeluk Noa sekarang juga.
"Om Heskal nangis, Mi." Ucap Noa pelan.
Heskal segera membelakangi Noa, berusaha menenangkan diri, berusaha agar bahunya tak terlihat bergetar.
"Ayo masuk kamar lagi," kata Zeline. "Nanti Mimia nyusul bawain susu."
Setelah Noa pergi, sunyi memenuhi ruang dapur itu.
Heskal membalikkan badan, menunduk. Napasnya bergetar. "Zel… gue—"
Zeline menggeleng. Pelan. Tegas.
"Kalau kamu datang sebagai laki-laki yang bingung," Katanya, "aku gak punya ruang buat itu."
Ia melangkah ke luar dapur, dengan berat Heskal mengikutinya. Zeline membuka pintu rumah, tanpa kata menyuruh Heskal segera pergi.
"Kak," Panggil Zeline pelan, Heskal menatapnya dengan mata merah.
"Aku udah hidup jauh lebih baik. Jadi, tolong... jangan datang lagi dan bikin kacau." Mohonnya.
Mata Heskal semakin merah, air matanya jatuh begitu saja.
"Kamu cuma mau tau , dan sekarang kamu udah tau."
Heskal menatapnya, putus asa. "Kalau gue datang sebagai ayah?"
Zeline terdiam sejenak. Tidak menoleh. Tapi suaranya bergetar.
"Kalau kamu datang sebagai ayah," Katanya, nyaris berbisik, "Kamu telat empat tahun."
Pintu itu tertutup.
Pelan.
Tapi final.
Heskal berdiri sendiri di teras.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya...
...ia benar-benar mengerti arti kata kehilangan.
•••
••••
Like
Comments
Vote
Subscribe
Kayak bisa banget jabarin perasaan tokohnya, bikin kita bener2 ngerasain apa yang tokoh rasain😭😭😭
penulisannya juga rapi, tanda bacanya rapi, enak bgt dibacaaa!!
love bgt pokoknyaaa🥰🥰
DEGDEGANNN